BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Belajar adalah sebuah proses yang
terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan bergerak untuk memahami
setiap kenyataan yang diingikannya untuk menghasilkan sebuah prilaku , pengetahuan
, atau teknologi atau apa pun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut.
Saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama
pada proses pembelajaran. Salah satu
inovasi tersebut adalah konstruktivistik. Pemilihan pendekatan ini lebih
dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang
ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas
masih dominan menggunakan metode ceramah dan
tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret.
Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak
demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasilkan menanamkan konsep yang
benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar
bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan
sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana
mungkin konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus
membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian
konsep untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar
konstruktivistik ini bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan
yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena
dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa
peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
menciptakan karakteristik manusia masa depan ?
2.
Apa pengertian
konstrtuksi pengetahuan ?
3.
Bagaimana
proses belajar menurut Teori Konstruktivistik ?
C.
Tujuan
Penulisan
Dari rumusan
masalah di atas, tujuan yang dapat di capai adalah :
1.
Untuk
mengetahui karakteristik manusia masa depan
2.
Untuk
mengetahui pengertian dari konstruksi pengetahuan
3.
Untuk
mengetahui proses belajar menurut Teori Konstruktivistik
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
TOKOH-TOKOH DALAM TEORI
KONTRUKTIVISTIK
1.
Jean
Piaget
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal
berkaitan dengan teori belajar konstruktivistik adalah teori perkembangan mental
Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama yang menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang
akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru
yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada
sehingga cocok dengan rangsangan.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui
tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh
mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan,
perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang
keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget
tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap
tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan
belajarnya menurut pandangan konstruktivisme,
Driver dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1) Siswa
tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
2) Belajar
mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
3) Pengetahuan
bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal,
4) Pembelajaran
bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
5) Kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran
seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skema yang
dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata
sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar
tersusun secara hirarkis.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara
faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan,
sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut
adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
a. perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan
yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan
dengan urutan yang sama,
b. tahap-tahap
tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan,
pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
c. gerak
melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman
(asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
2. Vygotsky
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif
ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa
belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik.
Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks
sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Beberapa ahli konstruktivisme yang
terkemuka berpendapat bahwa pembelajaran yang bermakna itu bermula dengan
pengetahuan atau pengalaman sedia ada murid. Rutherford dan Ahlgren
berpendapat bahawa murid mempunyai ide mereka sendiri tentang hampir semua
perkara, di mana ada yang betul dan ada yang salah. Jika kepahaman dan
miskonsepsi ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, kepahaman atau
kepercayaan asal mereka itu akan tetap kekal walaupun dalam pemeriksaan mereka
mungkin memberi jawaban seperti yang dikehendaki oleh guru.
John Dewey menguatkan lagi teori
konstruktivisme ini mengatakan bahawa pendidik yang cekap harus melaksanakan
pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman
secara berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam
setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Dari persepektif epistemologi yang
disarankan dalam konstruktivisme fungsi guru akan berubah. Perubahan akan
berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penyelidikan dan
cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah
kaedah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kejayaan murid meniru
dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru kepada kaedah pengajaran dan
pembelajaran yang menumpu kepada kejayaan murid membina skema pengkonsepan
berdasarkan kepada pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan
penyelidikan daripada pembinaan model daripada kaca mata guru kepada
pembelajaran sesuatu konsep daripada kaca mata murid.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Belajar
Kontruktivistik
Teori
Belajar Kontruktivistik merupakan suatu teknik
pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif
pengetahuannya dengan
menggunakan pengetahuan yang ada dalam diri mereka masing-masing. Peserta akan
mengaitkan materi pembelajaran baru dengan materi pembelajaran lama yang telah
ada.
B.
Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharapkan
Upaya
membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan
masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang
dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan,
kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan,
mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus
untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses (to)
learn to be. Mampu melakukan kaloborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan
kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya
Kepekaan, berarti ketajaman baik
dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di
dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lainsampai
dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan sang pencipta.
Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir sendiri di
samping proses dan hasil berpikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai
dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu.
Tanggungjawab,
berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan
sendiri.
Student
active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam
pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa
di dalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya
manusia-manusia masa depan yang diharapkan.
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi
manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya
diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek
strategispendekatan yang tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain, pendidikan ditantang untuk memusatkan
perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik.
C.
Konstruksi Pengetahuan
Untuk
memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana belajar dan
bagaimana cara mengajarnya. Ke dua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara
manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan
peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan
menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya.
Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka
sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian
ini akan dibahas teoi belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman
tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahan, serta hubungan
antara pengetahuan , realitas, dan kebenaran
Apa pengetahuan itu
? Menurut pedekatan konstruktivistik,
pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang
dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek,
pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada
dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah
sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat
mengalami reorganisasi karena adanya pengalaman-pengalaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang
yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan
kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru
bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu
kepada sisw, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh
siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan.
Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan mnggunakan indranya. Melalui
interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar,
menjamah, membau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu.
Pengetahuan bukanlah sesuat yang sudah
ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak seseorang
berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemahamannya akan
objek tersebut akan meningkat dan lebih
rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S.,
1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses
mengkontruksi pengetahuan, yaitu; 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan
kesamaann dan perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman
yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor
yang juga mempengaruhi proses mengkontruksi pengetahuan adalah kontruksi
pengetahuan sesorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur
kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah
dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan
datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam
membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada
suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan
yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur
kognitif dalam dirinya.
D.
Ciri-ciri
Pembelajaran Teori Belajar Kontruktivistik
Adapun ciri-ciri pemebelajarn
kontruktivistik adalah sebagai berikut :
1.
Menekankan pada proses belajar,
bukan proses mengajar.
2. Mendorong
terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.
3.
Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses,
bukan menekankan pada hasil, penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja
dan pemahaman siswa.
4. Mendorong
siswa untuk mampu melakukan penyelidikan.
5. Menghargai
peranan pengalaman kritis dalam belajar.
6. Mendorong
berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.
7. Mendasarkan
proses belajarnya pada prinsip-prinsip teori kognitif.
8. Sangat
mendukung terjadinya belajar kooperatif.
9.
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun
pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata, dalam
kata lain Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata.
E.
Proses Belajar Menurut Teori
Konstruktivistik
Pada
bagian ini akan dibahas proses belajar dan pandangan kontruksivistik, dan dari
aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.
Proses
belajar konstruktivistik.
Secara
konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan
sebagai pemerolehan infomasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri
siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang brmuara pada pemutakhiran struktur
kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada
segi pemerolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses
tersebut berupa “... ..constructing and
reconstructing of knowledge and skills (schemata) within the individual in a
complex network of increasing conceptual consistency... ..” Pemberian makna
terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara
sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial
yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh
sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa
dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dalam dan
lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi atau belajarnya
yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijazah, dan
sebagainya.
2.
Peranan
Siswa (Si-belajar).
Menurut
pandangan konstruktivistik, belajar merupakan sesuatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang
hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa
untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar.
Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat
belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya
kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.Paradigma konstruktivistik memandang
siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari
sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi
pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih
sangat sederhana atau tidak ,sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima
dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
3.
Peranan
Guru
Dalam
belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses
pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancer. Guru tidak
menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa
untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami
jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim
bahwa satu-satunya cara yang tepata adalah yang sama dan sesuai dengan
kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi
pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi;
a.
Menumbuhkan kemandirian
dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
b.
Menumbuhkan kemampuan
mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
c.
Menyediakan sistem
dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
4.
Sarana
Belajar
Pendekatan
konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama
dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberikebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya
tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan
terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri,
kritis, kreatif, dan mampu mempertanggungjawabkan pemikirannya secara rasional.
5.
Evaluasi
Belajar
Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi
pengetahuan ,serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar
konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan
behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan Konstruktivistik.
Pembelajaran yang di programkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis,
sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajardiscovery lebih mengarah pada
konstruktivistik.
Pandangan
Konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang.
Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya.
Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan
yang digunakan untuk menginterprestasikan objek dan peristiwa-peristiwa.
Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting
dalam mengenterprestasikan kejadian,objek,dan pandangan terhadap dunia nyata,di
mana interprestasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara
individual.
Teori belajar
konstrukivistik mengakui bahwa siswa akan dapat mengenterprestasikan informasi
ke dalam pikirannya,hanya pada kebutuhan,latar belakang dan minatnya.Guru dapat
mebantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia
eksternal.Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual,bagaimana
mengevaluasinya?
Evaluasi belajar
pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan
belajar.Sedangkan pandangan
konstruktivistik menggunakan goal-free
evaluation ,yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada
tujuan spesifik.Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi
informasi tentang tujuan selanjutnya.Jika tujaun belajar diketahaui sebelum
proses beljar dimulai,proses belajar dan evaluasi mengakibatkan pengatauran
pada pembelajaran.Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan
mengontrol aktiftas belajar siswa.
Pembelajaran dan
evaluasi yang mengguanakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/
behavioristik,yang tidak sesuai bagi teori konsrtuktivistik.Hasil belajar
konstruktivistik lebih tepat dimualai metode evaluasi goal-free.Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar
kostruktivistik,memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan
konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik
dapat daiarahakan pada tugas-tugas autentik,mengkonsttuksi pengetahuanyang
menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi sepertitingkat “penemuan” pada
taksonomi Merrill,atau “strategi kognitif” dari Ggne,serya “sentesis” pada
taksonomi Bloom.Juga mengkonstruksi pengalaman siswa,dan mengarahkan evaluasi
pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
F. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik
Pada dasarnya tidak terdapat pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola
mengajar yang paling baik untuk semua materi pelajaran, yang ada adalah sesuai
atau tidak dengan materi pelajaran pada waktu dan kondisi pelaksanaannya. Oleh
karena itu guru diharapkan menguasai berbagai macam pendekatan, strategi,
metode, gaya atau pola mengajar sebab setiap pendekatan, strategi, metode, gaya
atau pola mengajar memiliki kelebihan dan kekurangan.
1. Kelebihan
Adapun kelebihan dari pembelajaran
berdasarkan konstruktivistik adalah sebagai berikut:
a. Memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa
siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan
penjelasan tentang gagasannya.
b. Memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan
disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka
tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga
siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang
menantang siswa.
c. Memberi siswa kesempatan untuk
berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif,
imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan
gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
d. Memberi kesempatan kepada siswa
untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan
diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang
baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
e. Mendorong siswa untuk
memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta
memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
g. Memberikan lingkungan belajar
yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan
menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
2. Kekurangan
Adapun kekurangan dari pembelajaran
berdasarkan konstruktivistik adalah sebagai berikut:
a. Siswa mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok
dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
b. Konstruktivistik menanamkan agar
siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang
lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
c. Situasi dan kondisi tiap
sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang
dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan,
madiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta
mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan
yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan
praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkan. Pandangan
kontruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna
oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju
pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada tujuan
tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan
kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa.
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu
kontruksi pengetahuan dalam menuju pada kemutahiran struktur kognitifnya.
Guru-guru kontruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri
manusia/siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuan sendiri, kegiatan
pembelajaran yang dilakukan akan diarahkan agar terjadi aktivitas kontruksi
pengetahuan oleh siswa secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, D.
A. 2004. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: Pt. Rineka Cipta.
Lapono, N. 2009. Belajar Dan
Pembelajaran SD 2. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Mariana, R. 2010. Pengelolaan
Lingkungan Belajar . Bandung: Katalog Dalam Terbitan ( KDT ).
Prastowo, A. 2014. Pembelajaran
Konstruktivistik. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Trianto. 2010. Model
pembelajaran terpadu. jakarta: Pt. Bumi Aksara.
No comments:
Post a Comment