Popular Posts

Tuesday, November 16, 2021

MAKALAH SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI PULAU SULAWESI

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perkembangan Islam di Sulawesi menarik untuk dibahas, karena akan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas. Dengan membahas proses masuk dan berkembangnya Islam di Sulawesi kita dapat mengetahui kerajaan-kerajaan dan raja yang berpengaruh terhadap perkembangan Islam, tradisi dan bukti perkembangan Islam di Sulawesi, beserta cara agama Islam masuk ke Sulawesi. Perkembangan agama Islam di Sulawesi tidak sepesat perkembangan agama Islam di Jawa dan Sumatera. Sebab pertentangan Islam terhadap kerajaan yang belum menganut agama Islam dilakukan demi kepentingan politik. Bersamaan dengan perkembangan agama Islam maka berdirilah kerajaan Islam di Indonesia yaitu Demak, Pajang, Mataram, Banten, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. 

Pada dasarnya secara geografis dan kondisi alam wilayah Sulawesi lebih bersahabat dibandingkan wilayah Kalimantan, karena wilayah Sulawesi hampir sama seperti kondisi Jawa. Meskipun hubungan antar suku di wilayah Sulawesi kurang harmonis, namun dakwah tetap berkembang baik di wilayah Sulawesi Selatan. Kubu yang terkadang bertentangan adalah Bosowa atau Bone Soppeng, Wajo dengan suku Makasar. Perkembangan Islam di wilayah Sulawesi selain Sulawesi Selatan seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara masih perlu ditingkatkan.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah masuknya islam di Sulawesi ?

2.      Bagaimana proses masuknya Islam di Sulawesi ?

3.      Dimana pusat peradaban Islam di Sulawesi  ?

4.      Apa saja kerajaan Islam di Sulawesi ?

5.      Bagaimana Peninggalan sejarah islam di Sulawesi ?

 


C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui sejarah masuknya islam di Sulawesi.

2.      Untuk mengetahui proses masuknya Islam di Sulawesi.

3.      Untuk mengetahui letak pusat peradaban Islam di Sulawesi.

4.      Untuk mengetahui Kerajaan Islam yang ada di Sulawesi.

5.      Untuk Mengetahui Peninggalan sejarah islam di Sulawesi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Masuknya Islam Di Sulawesi

Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I Monggorai Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di sekitar istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri di Sulsel.

Menurut perkiraan, penduduk Makassar pada abad ke-16 sudah memeluk Islam. Mereka sudah ada di masyarakat dan berbaur dengan masyarakat Gowa atau berinteraksi sosial antar individu  dan berintreraksi jual-beli atau hubungan dagang. Itu berlansung lama.Suasana seperti ituberlangsung lama di dalam wilayah Kerajaan Gowa dan di luar pusat Kerajaan Gowa utamanya dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Ternate, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang jauh lebih dahulu memeluk Islam.

Ø  Raja Gowa

Menurut lontara, pada tahun 1605 Masehi, Islam diterima secara resmi di Kerajaan Tallo dan Gowa disusul dengan masuknya Islam Raja Tallo I Sultan Abdullah Awwalul Islam dengan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Dg Manrabbia Sultan Alauddin pada tanggal 22 September 1605 Masehi.

Kedua raja ini masuk Islam pada malam Jumat. Raja Tallo keesokkan hari langsung salat Jumat di Masjid Tallo bersama rakyatnya yang Islam. Menurut catatan Harian Lontarak yang mengizinkan Raja Tallo dan Raja Gowa masuk islam adalah khatib Abdul Makmur Dato Ri Bandang asal Kota Minangkabau. Dua tahun kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil diislamkan. Dengan penekanan dakwa mengembangkan syariat Islam di kalangan rakyat, Dato Ri Bandang berhasil menyebarkan Islan di kalangan karajaan.

Berbeda dengan sahabatnya, khatib yang bungsu bernama Abdul Jawad yang menyebarkan Islam di wilayah bahagian selatan Sulsel utamanya di Bulukumba yang menekankan pelajaran Tasawwuf kepada rakyat sesuai dengan keinginan masyarakat yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat kabatinan. Khatib Abdul Jawad inilah yang menjadi mubalig sampai akhir hayatnya di Tiro Kabupaten Bulukumba, sehingga digelar sebagai Datok Ri Tiro.

 

Ø  Kerajaan Luwu

Khatib Sulaiman yang menyebarkan Islam di Tanah Luwu berhasil mengislamkan Datu Luwu La Patiware Dg Parrebung, kemudian diberi gelar Sultan Muhammad. Khatib Sulaeman menyebarkan agama lebih menenkankan pada pengetahuan tauhid, yang diajarkan kepada masyarakat yang berkaitan pada kepercayaan Dewa Seuwae.

Sebagai ganti Dewa Seuwae masyarakat diajarkan untuk mempercayai adanya Allah SWT. Khatib Suleman meninggal di Luwu Utara dan dimakamkan di Desa Patimang sehingga juga disebut Dato Patimang.

Suasana masyarakat Sulsel pada sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 sibuk mempelajari agama baru, Islam. Kala itu Islam disebarkan dan diajarkan oleh ketiga ulama dari Minangkabau, Dato Ri Bandang, Datok Ri Tiro, dan Dato Patimang. Ketiga penyiar Islam ini berkerja sama dengan bangsawan dan kerabat kerajaan di istana raja. Para bangsawan dan kerabat kerajaan berusaha secara berangsur-angsur mengetahui dan memahami ajaran-ajaran Islam melalui pengajian, pengkajian Al Quran, salat berjamaah, dan diskusi-diskusi.

B.     Proses Masuknya Islam Ke Sulawesi

Ø  Melalui Pedagang

Kalau kita melihat dari sumber sejarah, bahwa penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh para saudagar Muslim yang mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.

Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis padatahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.

Ø  Pengaruh Tionghoa

Sebagaimana dicatat dalam sumber sejarah bahwa, Islam di Jawa juga disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke kepulauan nusantara terutama di Maluku. Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran).

Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang. Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu maupun berkelompok.


Ø  Hak Istimewa

Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau. Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa, Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang

orang-orang asing dari daerah itu. Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan kerajaan-kerajaan yang berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590) bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar Istana Kerajaan Gowa. Islam di Sulsel mencapai puncak keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.

 

C.     Pusat Peradaban Islam Di Sulawesi

Jika kita berbicara lingkup sejarah Islam dengan zone Sulawesi, maka kita akan mendapatkan, bahwa yang menjadi pusat peradaban Islam di sulawesi adalah Kerajaan Gowa.

Kerajaan Gowa secara geografis terletak di dearah Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan saat ini. Kerajaan ini dikenal merupakan kerajaan maritim yang sempat “menguasai” Asia Tenggara. Pelaut-pelaut ulung dari kerajaan Gowa pun sangat kesohor, mereka menjelajah Samudera dengan Perahu Pinisi, mereka sampai ke Eropa, Afrika dan Australia dalam menjelajahi samudera.

Raja Pertama kerajaan Gowa adalah Seorang wanita/ratu yang bernama To Manurunga (orang yang datang dari kayangan). Dinasti To Manurunga ini kemudian menjadi raja  atau dikenal sebagai sombayya secara turun temurun.


Ø  Islam di Sulawesi

Agama Islam masuk ke Sulawesi sejak abad ke-16, pada masa kekuasaan Sombayya Ri Gowa I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin Awwalul islam raja Gowa ke-14, Islam secara resmi diterima sebagai agama resmi kerajaan Gowa pada hari Jumat tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau bertepatan pada tanggal 20 September 1605 Masehi. Sedangkan Raja Tallo bergelar Sultan Abdullah. Di antara para muballigh yang banyak berjasa dalam menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Sulawesi, antara lain:

  • Katib Tunggal,
  • Datuk Ri Bandang,
  • Datuk Patimang,
  • Datuk Ri Tiro
  • Syekh Yusuf Tajul Khalwati Tuanta Salamaka.

Dakwah Islamiyah ke Sulawesi berkembang terus sampai ke daerah kerajaan Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dan lain-lain. Suku Bugis yang terkenal berani, jujur dan suka berterus terang, semula sulit menerima agama Islam. Namun berkat kesungguhan dan keuletan para mubaligh dan pasukan kerajaan Gowa, secara berangsur-angsur mereka menjadi penganut Islam yang setia.

Pelaut-pelaut Bugis/Makaasar berlayar menjelajah seluruh Indonesia sampai ke Aceh. Di antara mereka adalah pembesar Bugis/Makassar bernama Daeng mansur yang di Aceh lebih dikenal dengan panggilan Tengku di Bugis. Salah seorang puterinya bernama puteri Sendi. Ia dikawinkan dengan Sultan Iskandar Muda, raja besar Aceh. Sejak itu hubungan antara Aceh – Bugis sangat erat, sehingga banyak pengaruh budaya Aceh di Bugis. Bentuk rumah dan cara hidup orang Bugis banyak kesamaannya dengan Aceh. Tampaknya hubungan perdagangan yang diperkuat dengan hubungan kekerabatan yang berdasarkan agama Islam itu telah memperkokoh hubungan persatuan antara penduduk di seluruh wilayah Indonesia.

D.    Kerajaan Islam Di Sulawesi

Selain kerajaan Gowa sebagai pusat peradaban Islam di Sulawesi terdapat kerajaan – kerajaan Islam lainnya diantaranya :

a)        Kesultanan Buton

Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton Propinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi .

Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datukri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.

 

Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.

 

Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.

 

Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.

 

Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.

 

Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.

 

Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.

Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.

Ø  Pemerintahan

Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka raja Murhum bergelar Sultan Murhum.

Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.

Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, RatuWaa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat kesultanan buton adalah lambang demokrasi kesultanan buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.

Ø  Politik

Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

Ø  Masyarakat

Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.

Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.

 

Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.

Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.

Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.

Ø  Perekonomian

Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli.

Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

 

b)        Kesultanan Bone

Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Kesultanan Bugis, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.

Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte. Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.

 


E.   Peninggalan Sejarah Islam di Sulawesi

·         Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)

Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah.

·         Mesjid Katangka

Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.

Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.

·         Makam Syekh Yusuf

Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, berbentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau di¬makamkan untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat (1704) baru per¬mintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April 1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang disebut kobbanga oleh orang Makassar.

Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena para peziarah selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh ulama (panrita)dan intelektual (tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.

Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa7, Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia belia ia sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qa¬driyah. Wawasan sufistiknya tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang me-ngembangkan ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.

·         Benteng Tallo

Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2 kilometer Bardasarkan temuan fondasi dan susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding benteng diperkirakan mencapai 260 cm.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bas¬tion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo.


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Islam datang di Sulawesi dan menyebar secara damai dan santun. Pertama hadir pada abad ke-15 Masehi di Kerajaan Gowa di Daerah Mangalekana,  yang dibawa oleh para pedagang muslim dari Arab, Persia, India, Cina, dan Melayu ke Ibukota Kerajaan Gowa, Somba Opu.kemudian disebarkan oleh tiga Datuk dari Sumatera yaitu: Datuk Ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk Ri Bandang. Aliran atau corak yang dibawa adalah sufistik dan tasauf. Karena selain selain mereka ahli dalam bidang sufistik dan tasauf, hal ini pun sesuai dengan masyarakat yang lebih mmenyukai hal-hal yang bersifat kebatinan. Setelah Islam berkembang di Sulawesi  Selatan lambat laun terus menyebar ke seluruh daerah di pulau Sulawesi.

B.     Saran

Untuk lebih menambah wawasan dan memperbaiki makalah ini perlulah kiranya saran yang membangun dari para teman-teman maupun dari kalangan yang berkomitmen terhadap Sejarah  Islam di Indonesia.


No comments:

Post a Comment