BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mata pelajaran bahasa Inggris
secara resmi bisa diajarkan di sekolah dasar sejak tahun ajaran 1994 sebagai
mata pelajaran muatan lokal. Walaupun dalam kenyataan ada sekolah dasar yang
sudah memprogramkan pelajaran bahasa Inggris bagi siswanya sebelum tahun
tersebut, terutama sekolah-sekolah swasta yang mampu menyediakan pengajar dan
bahan ajarnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang,
maka masalah diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:
C. Tujuan
Berdasarkan masalah di atas,
maka tujuan kami adalah:
D. Manfaat
1. Sebagai tambahan pengetahuan,
wawasan dan penerapan ilmu pengetahuan bagi penulis.
2. Sebagai informasi
kepada pembaca agar lebih memahami pembelajaran bahasa Inggris
di sekolah dasar.
3. Sebagai masukan bagi calon
guru tentang pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
BAB II
ISI
A.
KEBIJAKAN
PEMBELAJARAN EYL
Dalam era informasi dan
globalisasi ini, pemerintah menyadari pentingnya peran bahasa Inggris dan
sumber daya manusia yang memiliki keandalan berkomunikasi dalam bahasa Inggris,
yang di Indonesia merupakan bahasa asing. Sebagai kebijakan yang berorientasi
ke depan, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional diikuti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 yang menyebutkan tentang pengembangan sumber
daya manusia.
Pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM) dalam dunia pendidikan, antara lain dalam bentuk pengembangan dan
peningkatan kualitas kemampuan dan keterampilan guru, siswa, dan tenaga
kependidikan yang terkait. Selain itu, terdapat kebijakan mengenai mata
pelajaran muatan lokal di sekolah dasar, yaitu Kebijakan Depdikbud Republik
Indonesia Nomor 0487/14/1992 Bab VIII yang menyatakan bahwa sekolah dasar dapat
menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, dengan syarat pelajaran itu tidak
bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Mata pelajaran tambahan
biasanya merupakan mata pelajaran yang memang dibutuhkan oleh sekolah dan
masyarakat sekitarnya. Karena itu, mata pelajaran muatan lokal sangat
bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Hal ini terlihat dari adanya
mata pelajaran bahasa daerah dan mata pelajaran kesenian.
Setahun kemudian, kebijakan ini
disusul oleh Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993
tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris lebih
dini sebagai satu mata pelajaran muatan lokal. Mata pelajaran ini dapat dimulai
di kelas 4 SD sesuai anjuran pemerintah.
Dalam hal ini, pengertian
“lokal” dapat berarti pada tingkat provinsi, kabupaten atau kota, kecamatan,
bahkan tingkat sekolah. Mata pelajaran muatan lokal sebenarnya ditetapkan oleh
kebijakan daerah, para pakar pendidikan, penyusun bahan ajar, dan anggota
masyarakat lainnya. Perlu juga dipertimbangkan kondisi lingkungan alam, sosial,
dan budaya serta tersedianya tenaga pengajar bahasa Inggris yang kompeten.
Kebijakan tentang program
bahasa Inggris di sekolah dasar ini, selanjutnya ditindak lanjuti oleh beberapa
provinsi dengan menanggapi dalam bentuk kebijakan juga, misalnya provinsi Jawa
Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dengan
mengeluarkan surat keputusan dan mengembangkan kurikulum muatan lokal. Kepala
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi (DIKNAS) Jawa
Timur mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1702/105/1994 tanggal 30 Maret 1994
yang menyatakan bahwa di Jawa Timur mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata
pelajaran muatan lokal pilihan berubah menjadi mata pelajaran muatan lokal
wajib.
Kebijakan ini ditanggapi secara
positif dan luas oleh masyarakat, terutama oleh sekolah-sekolah dasar yang
merasa memerlukan dan mampu menyelenggarakan pembelajaran bahasa Inggris. Dalam
proses pengembangannya di beberapa daerah, bahasa Inggris yang semula sebagai
mata pelajaran muatan lokal pilihan menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib.
Kurikulum mata pelajaran muatan lokal ini tidak disusun oleh Pusat Kurikulum
Depdiknas, tetapi dikembangkan oleh Depdiknas tingkat Provinsi. Karena itu,
kurikulum muatan lokal di Jawa Timur berbeda dengan yang ada di Jawa Tengah,
Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, baik mengenai tujuannya maupun
materinya. Hal ini teridentifkasi dari temuan penelitian yang dilakukan oleh
Suyanto, Rachmajanti, dan Rahayu (2001).
Dari hasil analisis kurikulum
bahasa Inggris sebagai muatan lokal yang ada di lapangan, bila benar-benar kita
cermati masih banyak kelemahannya. Tujuan yang merupakan salah satu komponen
penting dalam pengajaran bahasa Inggris, kurang sesuai dengan perkembangan anak
usia 6-12 tahun. Kurikulum muatan lokal bahasa Inggris yang pernah dikaji pada
empat provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa
Yogyakarta, menunjukkan adanya perbedaan dalam pendekatan pengembangan, tujuan,
dan topiknya. Mungkin untuk isi atau bahan ajar bisa berbeda sesuai dengan apa
yang ada di lingkungannya. Sedangkan untuk tujuan, secara nasional mungkin
perlu dipertimbangkan sesuai dengan kebijaksanaan, situasi, dan kondisi yang
ada.
Kenyataan yang menunjukkan bahwa
pada saat kebijakan diberlakukan, para pembuat kebijakan terkesan kurang atau
tidak melakukan analisis kebutuhan secara cermat sebelumnya. Seharusnya sebelum
kebijakan berlaku sudah diperkirakan hal-hal sebagai berikut.
-
Apakah
tenaga di lapangan sudah siap?
-
Apakah
kurikulum atau silabus sudah ada?
-
Apakah
bahan pengajaran yang sesuai sudah ada?
Walaupun disebutkan bahwa
bahasa Inggris di sekolah dasar bukan merupakan mata pelajaran wajib dan tidak
harus diajarkan bila memang belum siap, tetapi banyak sekolah yang memaksakan
diri untuk melaksanakan program ini. Permintaan masyarakat, terutama orang tua
murid yang menginginkan agar anaknya juga belajar bahasa Inggris seperti yang
ada di sekolah lain. Di samping itu, adanya perintah atau keputusan dari Dinas
Pendidikan setempat yang mewajibkan sekolah untuk memberikan pelajaran bahasa
Inggris sebagai pelajaran muatan lokal wajib. Hal ini yang membuat pelajaran
bahasa Inggris terkesan dilaksanakan seadanya.
Pada kenyataannya, pengembangan
suatu program baru (dalam hal ini program pengajaran bahasa Inggris) tidaklah
mudah. Sebenarnya, perlu ada alasan yang tepat untuk melandasi program tersebut
dengan dasar pemikiran yang kuat mengapa program bahasa Inggris perlu
dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Dasar pemikiran ini harus beranjak dari
kebutuhan yang kemudian dikembangkan, misalnya apakah memang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan atau sebagai prioritas untuk bidang tertentu agar sejajar
dengan sekolah lain.
Menurut Curtain dan Pesola
(1994), Dewan Sekolah dan Persatuan Orang Tua Murid perlu memberikan alasan
kuat dan bukti nyata sebelum sekolah membuat keputusan atau kebijakan. Perlu
dipertimbangkan tentang waktu yang tersedia, dana, dan jenis program ini.
Program bahasa Inggris ini perlu mengetengahkan manfaat dari pembelajaran
bahasa, pilihan bahasa mana yang harus diajarkan, jenis kegiatan pembelajaran
yang akan dipakai, dan sebagainya. Dasar pemikiran yang meyakinkan dan
perencanaan yang mantap akan dapat membantu perlunya keberadaan pelajaran
bahasa asing di sekolah dasar.
Kebijakan lain yang perlu
dipahami adanya pengelompokkan mata pelajaran, khusunya pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu mengetahui bagaimana
posisi mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Dari Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum yang ada saat ini dapat dilihat pada Pasal 7 ayat 7 bahwa
pelajaran bahasa Inggris di SD/MI termasuk kelompok mata pelajaran estetika.
Mata pelajaran bahasa Inggris yang termasuk mata pelajaran muatan lokal
memerlukan kegiatan bahasa yang relevan dengan tingkat pembelajarannya.
Kebijakan-kebijakan yang telah
dituangkan dalam bentuk surat keputusan atau peraturan pemerintah merupakan pegangan
yang dapat dipakai sebagai dasar untuk mengembangkan mata pelajaran bahasa
Inggris, terutama di Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah. Landasan seperti
ini penting untuk diketahui terutama bagi pengembang dan pengelola program mata
pelajaran bahasa
Inggris sebab program bahasa Inggris sebagai bahasa asing untuk anak memerlukan
banyak pertimbangan satu dan hal lain yang saling berkaitan.
Kebijakan tahun 2006 yang perlu
kita ketahui berkaitan dengan mata pelajaran muatan lokal adalah Peraturan
Menteri Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006. Muatan lokal merupakan
kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri
khas atau potensi daerah, termasuk keunggulan daerah yang materinya tidak dapat
dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Menurut kebijakan ini,
substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan. Selain itu, juga
dinyatakan bahwa jam mata pelajaran muatan lokal dialokasikan dua jam, berarti
2 x 35 menit. Selain itu jelas dalam peraturan menteri bahwa mata pelajaran
muatan lokal diprogramkan di kelas 4, 5, dan 6 Sekolah Dasar.
Selain kebijakan yang sifatnya
nasional seperti yang disebutkan di atas, ada pula kebijakan yang bersifat
regional dan institusional. Kebijakan semacam ini biasanya diambil oleh pemimpin
atau kepala sekolah setelah dirapatkan dengan staf guru dan komite sekolah.
Mata pelajaran muatan lokal seperti pelajaran bahasa Inggris di SD/MI merupakan
wewenang sekolah untuk menentukan apakah mata pelajaran bahasa Inggris perlu
diberikan di sekolahnya. Jika diperlukan, dimulai di kelas berapa, dan seminggu
berapa jam. Bila sudah ada keputusan maka perlu persiapan yang cermat, yaitu
berkaitan dengan tenaga pengajarnya dan bahan ajarnya.
Kebijakan berikutnya adalah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006, yaitu tentang
standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, Standar
Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKLSP) dikembangkan berdasarkan tujuan
setiap satuan pendidikan. Untuk mata pelajaran bahasa Inggris sebagai muatan di
SD/MI sebagai berikut.
1.
Mendengarkan
Memahami
instruksi, informasi, dan cerita sangat sederhana yang disampaikan secara lisan
dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar.
2. Berbicara
Mengungkapkan
makna secara lisan dalam wacana interpersonal dan transaksional sangat
sederhana dalam bentuk instruksi dan informasi dalam konteks kelas, sekolah,
dan lingkungan sekitar.
3. Membaca
Membaca
nyaring dan memahami makna dalam instruksi, informasi, teks fungsional pendek,
dan teks deskriptif bergambar sangat sederhana yang disampaikan secara tertulis dalam konteks kelas, sekolah,
dan lingkungan sekitar.
4. Menulis
Menuliskan
kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek sangat sederhana dengan ejaan dan
tanda baca yang tepat.
B.
DASAR
PEMIKIRAN DAN TEORI PSIKOLOGI EYL
Mata pelajaran bahasa Inggris
yang dimulai di kelas 4 SD dan MI perlu ditetapkan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Untuk mengetahui landasan apa yang menjadi
dasar pemikiran, harus mengkaji teori psikologi perkembangan yang relevan dan
terkait dengan pembelajaran bahasa, termasuk bahasa asing. Berikut ini adalah
teori yang dikemukakan oleh Piaget, Vigotsky, dan Bruner yang dapat dihubungkan
dengan perkembangan anak. Teori-teori tersebut menekankan adanya tingkat-tingkat
perkembangan kognitif yang dialami anak, perlunya interaksi sosial dan perlunya
bantuan orang dewasa dalam mendorong anak belajar.
1.
Jean
Piaget (1986-1980)
Piaget mengemukakan suatu teori
psikologi perkembangan yang berhubungan dengan unsur kognitif. Menurut Piaget
(1969), anak belajar dari lingkungan di sekitarnya dengan cara mengembangkan
apa yang sudah dimiliki dan akan berinteraksi dengan apa yang ditemui di
sekitarnya. Dalam berinteraksi, mereka akan melakukan suatu tindakan agar bias
memecahkan masalahnya dan di sinilah terjadi proses belajar.
Menurut Piaget, semua anak
adalah pebelajar yang aktif. Pengetahuan yang diperoleh dari tindakannya
merupakan pengetahuan yang dikembangkan sendiri, bukan sekedar menirukan atau
memang sudah dimiliki. Pengetahuan baru merupakan pengetahuan yang secara aktif
disusun oleh anak itu sendiri. Pada awalnya, hal itu terjadi berkaitan dengan
benda-benda konkret yang ada di sekitarnya, kemudian masuk dalam pikirannya dan
diikuti dengan melakukan suatu tindakan, selanjutnya tindakan itu dicerna dan
dipahami. Dengan cara itu, apa yang ada di dalam “pikiran” berkembang dan
tindakan serta pengetahuan anak akan beradaptasi dan terjadilah sesuatu yang
baru.
Menurut Piaget (1969), terdapat
empat fase perkembangan anak, yaitu
1) Sensorymotor stage, dari lahir sampai usia 2
tahun;
2) Preoperational stage, usia 2-8 tahun;
3) Concrete operational stage, usia 8-11 tahun;
4) Formal stage, usia 11-15 tahun atau lebih.
Fase masa perkembangan tersebut
tidak selalu sama bagi setiap anak, baik secara perorangan atau kelompok.
Fase-fase perkembangan dapat terjadi bersamaan waktunya, tetapi perkembangan
untuk setiap tingkat dapat dicapai dalam waktu yang tidak bersamaan, apalagi
untuk setiap jenis pengetahuan juga berbeda.
Dengan memerhatikan keempat
fase perkembangan tersebut, dapat kita lihat berada pada fase mana anak-anak
sekolah dasar di Indonesia, yaitu anak-anak usia 6-12 tahun. Tentunya mereka
berada pada akhir periode preoperational stage sampai dengan concrete
operational stage,
bahkan sampai awal dari formal stage. Berarti anak-anak usia sekolah dasar perlu mendapat perhatian
sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya menuju
ke tahap cara berpikir yang lebih logis dan formal.
Piaget (1963) berpendapat bahwa
cara berpikir anak berkembang melalui keterlibatan langsung dengan benda lain
dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Setiap mencapai fase perkembangan baru,
kemampuan bertambah dan menjadi satu dengan tingkat daya berpikir sebelumnya
karena dua dari empat masa peralihan, masa perkembangan biasanya terjadi pada
waktu anak-anak di sekolah dasar maka guru bahasa sebaiknya dapat bekerja sama
dengan anak-anak didiknya agar selalu dapat mengikuti ciri-ciri dan perubahan
perkembangan fase kognitif mereka.
Pada saat ini, terutama di
kota-kota besar di Indonesia, telah berkembang adanya play
group dan
taman kanak-kanak yang memberikan bahasa Inggris kepada anak usia dini. Mereka
yang terlibat di dalamnya juga perlu memiliki pengetahuan tentang perkembangan
anak.
Hingga usia dua tahun (sensorymotor
intelligence stage),
perilaku anak-anak masih bersifat motorik. Anak belum benar-benar memahami
hal-hal yang terjadi dan belum berpikir secara konseptual. Belajar bahasa
terjadi karena adanya interaksi. Dengan bertambahnya usia, terjadi perkembangan
bahasa dan konsep dengan cepat. Namun, pada saat ini sifat “akunya” juga tinggi
atau mereka masih bersifat egosentris. Anak juga mulai menggunakan logika,
namun masih sering memfokuskan perhatian untuk satu hal saja pada satu saat
tertentu. Misalnya, mereka dapat membedakan warna dan ukuran, tetapi masih
sulit bagi mereka untuk membedakan warna dan ukuran sesuatu secara bersamaan.
1. Lev Vygotsky: Zone
of Proximal Development (ZPD)
Teori Vygotsky dikenal sebagai
teori yang berfokus pada faktor sosial dan juga sering disebut sebagai sociocultural
theory. Pada
hakikatnya, beliau tidak mengabaikan perkembangan kognitif individual. Diakui
pula bahwa perkembangan bahasa pertama atau bahasa ibu seorang anak pada usia
dua tahun berfungsi untuk membantu suatu perubahan dalam perkembangan kognitif.
Vygotsky ialah seorang ahli
jiwa dari Rusia, ia berpendapat bahwa anak adalah pebelajar aktif. Beliau
mempunyai pandangan yang berbeda dengan Piaget, terutama pada proses belajar
bahasa pada anak. Teori yang dikembangkannya dikenal sebagai teori yang
berfokus pada aspek sosial. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan
orang lain, terutama dengan orang dewasa akan menimbulkan terjadinya ide-ide
baru dan meningkatkan perkembangan intelektual pebelajar.
Perlu kita ketahui bahwa
sebenarnya bahasa merupakan alat bagi anak untuk membuka peluang guna melakukan
sesuatu dan untuk menata informasi melalui penggunaan kata-kata. Karena itu,
tidak mengherankan kalau sering kita temukan anak yang berbicara pada dirinya
sendiri ketika bermain sendiri, hal itu sering disebut sebagai bahasa pribadi (private
speech).
Semakin bertambah usia, kalau
anak-anak itu berbicara suaranya semakin kurang keras. Dalam tingkat
perkembangan ini dia mulai mampu membedakan antara social
speech untuk
orang lain dan private speech untuk dirinya sendiri
(Cameron, 2001). Anak-anak yang baru mulai belajar berbicara pada umumnya
mengucapkan satu kata, yang sebenarnya satu kata itu membawa arti atau pesan
yang utuh. Bila masanya tiba, keterampilan berbahasa anak akan berkembang dan
selanjutnya dalam berkomunikasi dia akan menggunakan bahasa dengan lebih dari
satu kata. Sejalan dengan perkembangan biologis dan pikiran serta keterampilan
bahasa anak tersebut, mereka akan menggunakan beberapa kata atau kalimat pendek
ketika mengungkapkan pikirannya. Oleh Vygotsky (1962), keterampilan berbicara ini
dibedakan antara berbicara yang diucapkan dan berbicara dalam hati atau yang
hanya ada dalam pikiran anak tersebut.
Perkembangan dan proses belajar
bahasa terjadi dalam suatu konteks sosial, yaitu dalam komunitas yang penuh
dengan orang yang berinteraksi dengan anak tersebut. Orang-orang yang ada di
sekitar anak-anak ini penting perannya dalam membantu mereka untuk belajar
menggunakan bahasa, anak merupakan pebelajar aktif yang hidup di antara orang
lain sejak masih bayi. Melalui interaksi sosial, orang dewasa bertindak sebagai
perantara dengan dunia sekitar anak. Dengan bantuan orang dewasa, anak-anak
dapat melakukan dan memahami lebih banyak daripada kalau mereka belajar seorang
diri.
Bila kita memahami teori Piaget
maka kita akan mengerti bahwa memang ada perbedaan antara kedua teori tersebut.
Piaget berpendapat bahwa anak sebagai pebelajar aktif, sibuk dengan dunianya
yang penuh dengan benda-benda di sekitarnya. Bila seorang anak tidak dapat
melakukan sesuatu, berarti dia belum waktunya mencapai fase perkembangan untuk
melakukan itu. Sebaliknya, Vygotsky lebih memfokuskan pada hubungan sosial yang
dapat membantu anak untuk lebih cepat belajar menggunakan bahasa.
Salah satu contoh yang
diberikan oleh Vygotsky, yaitu ketika seorang anak menggunakan sendok untuk
mengambil makanannya. Anak itu mungkin dapat mengambil makanan dengan sendok,
kemudian memasukkan ke mulutnya. Akan tetapi, mungkin dia tidak benar-benar
memenuhi sendoknya dengan makanan, mungkin hanya ada di ujung sendoknya. Dalam
hal ini, bantuan orang dewasa akan sangat diperlukan. Misalnya, dengan memegang
tangan anak dan membimbing bagaimana cara menyendok makanan agar sendok bisa
terisi penuh. Dengan cara ini, anak tersebut bersama-sama dengan orang dewasa
(mungkin ibu, kakak, atau gurunya) memperoleh suatu pengetahuan yang semula
tidak dapat dilakukan oleh anak itu sendiri. Anak perlu mendapat latihan
bagaimana menyendok makanan dengan yang benar (Cameron, 20001: 6).
Menurut Vygotsky, orang dewasa
dapat membantu anak dengan berbagai cara. Sambil mengajari melakukan sesuatu,
juga bisa menghemat waktu anak yang sedang belajar dan juga untuk menghindari
hal-hal yang kurang menyenangkan. Bantuan orang dewasa sebenarnya untuk
mendorong memperlancar pencapaian daerah perkembangan anak yang dikenal sebagai zone
of proximal depelopment (ZDP). Orang tua lebih tahu bantuan
apa yang seharusnya diberikan kepada anak untuk melakukan berbagai tindakan
sebab merekalah yang paling banyak berinteraksi setiap hari. Oleh karena itu,
guru bahasa Inggris yang terampil dan kreatif seharusnya dapat membantu
siswanya dengan berbagai cara di kelasnya, dengan jumlah siswa yang banyak dan
dengan ZPD yang berbeda.
Pokok pikiran dan konsep
Vygotsky terhadap aspek sosial dalam proses belajar inilah yang merupakan
konsep ZPD. Pebelajar memiliki dua fase perkembangan, yaitu fase perkembangan
yang sebenarnya (actual development) dan fase perkembangan
potensial (potential development). Fase perkembangan sebenarnya adalah fase ketika kemampuan
berpikir dan belajar sesuatu berhasil atas upaya sendiri. Namun, dalam
kenyataannya setiap anak dapat mencapai tingkat perkembangan kemampuan tersebut
dengan bantuan orang lain.
Dalam hal ini, Vygotsky
menggunakan istilah ZPD untuk memberi makna pada tingkat kecerdasan atau intelegensi
tersebut. Menurut beliau, intelegensi sebaiknya diukur dengan apa yang dapat
dilakukan seorang anak dengan bantuan yang tepat. Belajar untuk melakukan
sesuatu dan belajar untuk berpikir dapat digalakkan dengan cara berinteraksi
dengan orang lain yang lebih dewasa, seperti orang tua, orang sekitar, guru,
dan lainnya.
Sebenarnya ada tiga hal pokok
yang ditekankan oleh Vygotsky dalam Arends (1998). Ketiga hal ini adalah
sebagai berikut.
1) Kemampuan berpikir
(intelektual) berkembang ketika orang dihadapkan pada pengalaman baru, ide-ide
baru, dan permasalahan, yang kemudian dihubungkan dengan apa yang telah
diketahui sebelumnya (prior knowledge).
2) Interaksi dengan orang lain
akan memacu perkembangan intelektual atau cara berpikir anak untuk menemukan
sesuatu yang baru.
3) Peran utama seorang guru adalah
sebagai pembantu yang baik untuk memberikan pertolongan kepada anak yang sedang
dalam proses belajar.
Sumbangan pendapat dari ahli
ilmu jiwa perkembangan kognitif ini penting sekali untuk dipertimbangkan dalam
mempersiapkan program EYL, terutama dalam hal bagaimana daya berpikir dan bekerja pebelajar,
dan bagaiman pebelajar memperoleh dan memproses informasi yang baru didapat.
Pandangan Vygotsky dan ahli lainnya penting untuk dipahami guru agar dapat
memaksimalkan penggunaan berbagai strategi belajar. Pandangan-pandangan mereka
menekankan peran prior knowledge dalam proses belajar.
Selain untuk membantu guru memahami apa yang disebut pengetahuan dan
jenis-jenisnya, juga akan membantu menjelaskan bagaimana orang memperoleh
pengetahuan dan memprosesnya dalam sistem daya intelektual manusia.
Pada waktu mempelajari sesuatu
yang baru, terjadilah proses menghubungkan antara apa yang sudah diketahui
sebelumnya dengan hal baru melalui berbagai pengalaman belajar. Dengan kata
lain, seolah-olah ada suatu “jembatan pengalaman” di mana pebelajar mulai
dengan apa yang sudah dikenal atau dimiliki (prior knowledge) kemudian ia melewati jembatan
tersebut dengan berbagai pengalaman belajar, setapak demi setapak, akhirnya
sampai pada “belajar sesuatu yang baru” (new knowledge).
2. Jerome Bruner: Discovery
Learning and Scaffolding
Bruner ialah seorang pakar
psikologi yang juga merupakan salah satu pemuka dalam reformasi kurikulum pada
tahun 50-an dan 60-an. Sebenarnya, beliau tidak menekankan pentingnya pemberian
bantuan kepada siswa untuk memahami struktur atau ide pokok suatu ilmu
pengetahuan. Namun, yang penting adalah melibatkan siswa secara aktif sejak
awal proses belajar, dan sangat penting pada waktu pembelajaran terjadi karena
ditemukan sendiri oleh anak tersebut. “… true leraning comes through
personal discovery”.
Bruner (1983-1990) berpendapat
bahwa yang paling penting untuk perkembangan kognitif adalah bahasa. Untuk itu
beliau menyelidiki bagaimana orang dewasa menggunakan bahasa untuk
menghubungkan dunia nyata kepada anak-anak dan membantu mereka untuk memecahkan
masalahnya. Berbicara dengan anak-anak sambil melakukan kegiatan merupakan
suatu bentuk bantuan verbal terhadap mereka. Kegiatan semacam itu dialihkan ke
kelas dalam bentuk kegiatan berbicara antara guru dan siswa. Kegiatan seperti
itu sering disebut sebagai scaffolding untuk menyangga atau menunjang proses belajar siswa.
Dalam penelitiannya, Bruner
dkk. (1976) melakukan percobaan tentang para ibu dan anaknya. Ternyata orang
tua dapat membantu dan menunjang tugas-tugas anak secara efektif, antara lain
dengan melakukan hal-hal sebagai berikut.
a. Membuat anak tertarik pada
tugasnya.
b. Menyederhanakan tugas-tugas,
misalnya dengan membagi-bagi menjadi tugas atau tahap-tahap yang lebih kecil.
c. Selalu mengingatkan maksud dan
tujuan tugas.
d. Menunjukkan kepada anak bagian
mana yang penting untuk dikerjakan dan memberitahu cara-cara lain untuk
mengerjakan bagian-bagian tugas tersebut.
e. Menjauhkan anak dari rasa
frustasi ketika mereka melakukan tugas.
f.
Mendemonstrasikan
satu bentuk tugas yang ideal, misalnya bagaimana minta maaf, pamitan, dan
sebagainya (Cameron, 2001: 8).
Perlu diketahui bahwa scaffolding dapat dilakukan guru
melalui berbagai cara. Misalnya, guru dapat membantu anak agar dapat memahami
apa yang dipelajari, yaitu dengan cara memberi saran, menyebutkan pentingnya
hal yang dipelajari, mengingatkan sesuatu, memberi contoh, dan lain sebagainya.
Semua usaha ini oleh Bruner disebut sebagai hal yang selalu diulang setiap kali
atau routine.
Ini merupakan berbagai bentuk peristiwa yang memungkinkan terjadinya scaffolding.
Salah satu contoh routine yang diteliti oleh Bruner
adalah ketika orang tua membacakan cerita kepada anak ketika mereka masih
kecil. Dalam penilitian ini, routine dilakukan setiap hari pada saat yang sama. Biasanya anak
duduk di pangkuan orang tuanya dengan membuka sebuah buku cerita yang bergambar. Orang tua dan
anak bersama-sama membuka halaman demi halaman. Pada mulanya anak akan banyak
bertanya, bapak atau ibunya mengulang kata-kata atau kalimat sambil menunjuk
gambar yang sesuai dengan isi cerita. Anak yang masih kecil sering kali
menirukan apa yang diucapkan bapaknya, ibunya, atau orang-orang yang ada di
sekitarnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai kebijakan yang
berorientasi ke depan, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional diikuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 yang menyebutkan tentang pengembangan
sumber daya manusia. Selain itu, terdapat kebijakan mengenai mata pelajaran
muatan lokal di sekolah dasar, yaitu Kebijakan Depdikbud Republik Indonesia
Nomor 0487/14/1992 Bab VIII yang menyatakan bahwa sekolah dasar dapat menambah
mata pelajaran dalam kurikulumnya, dengan syarat pelajaran itu tidak bertentangan
dengan tujuan pendidikan nasional. Setahun kemudian, kebijakan ini disusul oleh
Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25
Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris lebih dini sebagai
satu mata pelajaran muatan lokal. SKLSP untuk mata pelajaran bahasa Inggris
sebagai muatan di SD/MI adalah mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Menurut Piaget (1969), terdapat empat fase perkembangan anak,
yaitu
1.
Sensorymotor
stage, dari
lahir sampai usia 2 tahun;
2.
Preoperational
stage, usia
2-8 tahun;
3.
Concrete
operational stage,
usia 8-11 tahun;
4.
Formal
stage, usia
11-15 tahun atau lebih.
Ada tiga hal pokok yang ditekankan oleh Vygotsky dalam Arends
(1998). Ketiga hal ini adalah sebagai berikut.
1.
Kemampuan
berpikir (intelektual) berkembang ketika orang dihadapkan pada pengalaman baru,
ide-ide baru, dan permasalahan, yang kemudian dihubungkan dengan apa yang telah
diketahui sebelumnya (prior knowledge).
2.
Interaksi
dengan orang lain akan memacu perkembangan intelektual atau cara berpikir anak
untuk menemukan sesuatu yang baru.
3.
Peran
utama seorang guru adalah sebagai pembantu yang baik untuk memberikan
pertolongan kepada anak yang sedang dalam proses belajar.
Orang
tua dapat membantu dan menunjang tugas-tugas anak secara efektif, antara lain
dengan melakukan hal-hal sebagai berikut.
a.
Membuat
anak tertarik pada tugasnya.
b.
Menyederhanakan
tugas-tugas, misalnya dengan membagi-bagi menjadi tugas atau tahap-tahap yang
lebih kecil.
c.
Selalu
mengingatkan maksud dan tujuan tugas.
d.
Menunjukkan
kepada anak bagian mana yang penting untuk dikerjakan dan memberitahu cara-cara
lain untuk mengerjakan bagian-bagian tugas tersebut.
e.
Menjauhkan
anak dari rasa frustasi ketika mereka melakukan tugas.
f.
Mendemonstrasikan
satu bentuk tugas yang ideal, misalnya bagaimana minta maaf, pamitan, dan
sebagainya (Cameron, 2001: 8).
B.
Saran
Kami ingin menyampaikan melalui
makalah ini agar pembaca makalah dapat memahami materi Bahasa Inggris mengenai
Hakikat Pembelajaran English For Young Learners (EYL) ini secara mendalam dan
mendapat pengetahuan lebih banyak lagi tentang Bahasa Inggris.
DAFTAR
PUSTAKA
Suyanto, Kasihani K. E.
2008. English for Young Learners Melejitkan Potensi Anak Melalui English
Class yang Fun, Asyik, dan Menarik. Jakarta: Bumi Aksara
No comments:
Post a Comment