Popular Posts

Monday, November 15, 2021

Teori Belajar Humanistik

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. LATAR BELAKANG

Belajar adalah suatu proses perubahan pada diri individu yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuanya, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapanya, kemampuannya, daya reaksinya dan daya penerimaanya.

Dalam suatu pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori dan belajar, secara umum teori belajar dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran meliputi: (1) Teori Belajar Behavioristik, (2) Teori Belajar Kognitif, (3) Teori Belajar Sosial, dan (4) Teori Belajar Humanistik.

Dari keempat teori yang telah disebutkan di atas, di dalam makalah ini akan dibahas salah satu dari teori-teori tersebut yaitu teori humanistik. Teori ini mempelajari perilaku belajar peserta didik dan mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pemahaman tentang pengertian belajar menurut teori humanistik ini dan para tokoh pengamatnya, akan dibahas lebih lanjut di bab selanjutnya.

 

  1. RUMUSAN MASALAH

1.1  Pengertian belajar menurut Teori Humanistik

1.2  Pandangan Kolb terhadap belajar

1.3  Pandangan Honey dan Munford terhadap belajar

1.4  Pandangan Bloom dan Krathwohl terhadap belajar

 

  1. TUJUAN

1.1  Mengetahui dan memahami pengertian belajar menurut Teori Humanistik

1.2  Mengetahui pandangan Kolb terhadap belajar

1.3  Mengetahui pandangan Honey dan Munford terhadap belajar

1.4  Mengetahui pandangan Bloom dan Krathwohl terhadap belajar


 


BAB II

TEORI LANDASAN

  1. TEORI HUMANISTIK

Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapa dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. (Dr. M. Sukardjo& Ukim Komarudin, M.Pd, 2015: 56)

Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik untuk membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. (Dr. M. Sukardjo& Ukim Komarudin, M.Pd, 2015: 56)

Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggidan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk menjadi lebih baik, dan juga belajar. (Dr. M. Sukardjo& Ukim Komarudin, M.Pd, 2015: 56)

  1. TOKOH-TOKOH TEORI PEMBELAJARAN HUMANISTIK

1.      Arthur W. Combs

Makna adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori belajar humansitik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak dapat memaksakan materi yang tidak disukai atau relevan dengan kehidupan mereka.

Untuk itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut, sehingga apabila ingin mengubah perilaku siswa tersebut, guru harus merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.

Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini yang penting ialah bagaimana membawa persipsi siswa untuk memperoleh makna belajar bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut yang menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupannya sehari-hari.

Combs memberikan lukisan persipsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran  (besar dan kecil) yang bertitik pusat satu. Lingkaran kecil adalah gambaran diri persepsi diri dan lingkungan besar adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri, makin berkurang pengaruhnya terhadap prilaku. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, akan makin mudah hal itu terlupakan oleh siswa. (Dr. M. Sukardjo& Ukim Komarudin, M.Pd, 2015: 57)

2.      Abraham Maslow

Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal: (1) suatu usaha yang positif untuk berkembang, dan (2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berprilaku dalam untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Pada diri setiap orang terdapat pelbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia miliki , dan sebagainya.


Tetapi di sisi lain, seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan,keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar, dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri.

3.      Carl Rogers

Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan (pengalaman atau signifikansi). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai, seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil.

Pengalaman atau signifikansi menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar melalui pengalaman ini mencakup: keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogers yang terpenting guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran. (Dr. M. Sukardjo& Ukim Komarudin, M.Pd, 2015: 58)

 

  1. PRINSIP-PRINSIP TEORI HUMANISTIK

Selain itu Teori Humasnistik juga memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:

1.      Manusia mempunyai belajar alami.

2.      Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan.

3.      Siswa mempunyai relevensi dengan maksud tertentu.

4.      Belajar menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.

5.      Tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan apabila ancaman itu kecil.


6.      Bila ancaman itu rendah terdapat pengalaman siswa dalam memperoleh cara belajar yang bermakna diperoleh jika siswa melakukannya.

7.      Belajar akan lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar .

8.      Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberikan hasil yang mendalam.

9.      Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri.

10.  Belajar sosial adalah adalah belajar mengenai proses belajar.  (NurussakinahDaulay,M.Psi,2014:146)

 

  1. TUJUAN TEORI PEMBELAJARAN HUMANISTIK

1.      Tujuan pembelajaran lebih dititikberatkan pada proses belajar daripada hasil belajar .Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :

2.      Merusmuskan tujuan belajar yang jelas.

3.      Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas,jujur,dan positif.

4.      Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.

5.      Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis ,memaknai proses pembelajaran secara mandiri.

6.      Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat ,memilih pilihannya sendiri ,melakukan apa yang diinginkan dan menanggung risiko dari perilaku yang ditunjukan. (NurussakinahDaulay,M.Psi ,2014:145)


7.       


BAB III

PEMBAHASAN

 

  1. Pengertian Belajar Menurut Teori Belajar Humanistik

Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan si yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada penertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar smebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 68)

Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar merupakanasmilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si pelajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam strujtur konitif yang telah dimilikinya. Teori humanstik berpendapat bahwa belajar apapu dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia


yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 68)

Pemahamanan terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat elektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini elektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yatu memanusiakan manusia. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 69)

Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpaku pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangantertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan masong-masing. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 69)

Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut pandangan semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi. Jadi keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama dipandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannya yang elektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk


memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 69)

Secara singkat, pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menekmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketterampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.

Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika pembelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun dirinya  mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandangan pelakunya, bukan dari sudut pandangan pengamatnya.

 

  1. Pandangan KOLB terhadap belajar

Kolb seorang ahli penganut aliran humanistic membagi tahap-tahap belajar menjadi empat, yaitu:

1.      Tahap Pengalaman Konkrit

Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga


belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kamamupan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 70)

 

2.      Tahap Pengamatan Aktif dan Reflektif

Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dilaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap kedua dalam proses belajar. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 70)

 

3.      Tahap Konseptualisasi

Tahap ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berpikir induktif banyak dilakukan untuk memuaskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda, namun memiliki komponen-komponen yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 71)

 

4.      Tahap Eksperimentasi Aktif


Tahap tarakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu untuk mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan kedalam situasi yang nyata. Berpikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep dilapangan. Ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 71)

 

  1. Pandangan Honey dan Munford terhadap Belajar

Honey dan Mumford menggolongkan orang yang belajar kedalam empat macam golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan reflector, kelompok teoris dan golongan pragmatis.

1.      Kelompok Aktivis

Orang-orang yang tergolong dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah untuk diajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain dan mudah percaya. Namun dalam melakukan tindakan sering kali kurang mempertimbangkan secara matang dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru. Namun mereka cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 72)

 

2.      Kelompok Reflektor


Mereka yang termasuk kelompok ini kecendrungan berlawanan dengan kelompok Aktivis. Dalam melakukan tindakan, orang-orang tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan baik-buruk, untung-rugi, selalu diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga cenderung bersifat konservatif. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 72)

 

3.      Kelompok Teoris

Orang-orang tipe theorist memiliki kecenderungan yang sangat kritis. Mereka suka menganalisis, berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan memutuskan sesuatu kelompok teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptif dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 72-73)

 

4.      Kelompok Pragmatis

Orang-orang tipe pragmatis memiliki sifat-sifat yang praktis. Mereka tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis. Sesuatu hanya bermanfaat jika dipraktikkan. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat dalam kehidupan. (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 73)

 

  1. Pandangan Bloom dan Krathwohl terhadap Belajar

Bloom dan Krathwohl juga termasuk penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah brhasil memberikan ispirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini pula para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom adalah sebagai berikut: (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 74-75).

1.      Domain koognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu :

1.1  Pengetahuan (mengingat, menghafal)

1.2  Pemahaman (menginterprestasikan)

1.3  Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)

1.4  Analisis (menjabarkan suatu konsep)

1.5  Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh

1.6  Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dsb.)

(DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 75)

2.      Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :

1.1  Peniruan (menirukan gerak)

1.2  Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak

1.3  Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)

1.4  Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)

1.5  Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)


(DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 75)

3.      Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :

1.1  Pengalaman (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)

1.2  Merespon (aktif berprtisipasi)

1.3  Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu)

1.4  Pengorganisasan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)

1.5  Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya) (DR. C. Asri Budiningsih, 2004: 75)


BAB IV

PENUTUP

  1. SIMPULAN

Menurut Teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori Humanistik cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.

Beberapa tokoh aliran Humanistik diantaranya adalah:

1.      Kolb, dengan konsepnya tentang empat tahap dalam belajar, yaitu; pengalaman konkret, pengamatan aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperinmentasi aktif.

2.      Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi empat golongan, yaitu; aktifis, reflektor, teoris, dan pragmatis.

3.      Bloom dan Krathwohl, dengan 3 kawasan tujuan belajar, yaitu; kognitif, psikomotor, dan afektif.


DAFTAR PUSTAKA

 

C. Asri Budiningsih. 2004, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.

 

M. Sukardjo dan Ukim Komarudin. 2015, Landasan Pendidikan Konsep & Aplikasinya, Jakarta: Rajawali Pers.

 

Nurussakinah Daulay. 2014, PENGANTAR PSIKOLOGI & PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG PSIKOLOGI, Jakarta: Phenadamedia Group

No comments:

Post a Comment