A. Latar
Belakang
Abad ke-21 ini, sistem pendidikan nasional
menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang mampu bersaing di era global. Upaya yang tepat untuk
menyiapkan SDM yang berkualitas dan satu-satunya wadah yang dapat dipandang dan
seyogyanya berfungsi sebagai alat untuk membangun SDM yang bermutu tinggi
adalah pendidikan.
“Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses
dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman,
dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan” (Syah, 2010:10).
Pendidikan Nasional pada saat ini bertujuan untuk
menciptakan manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang cerdas, sehingga dapat
meningkatkan taraf kehidupan, harkat, dan martabatnya. Searah dengan hal
tersebut di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional BAB II pasal 3 menyatakan bahwa:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2010:6).
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, tentunya
diperlukan manusia-manusia yang berkualitas. Hal ini dapat ditempuh melalui
jalur pendidikan, yaitu dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Melalui
ini anak dapat dididik agar menjadi cerdas dan memperoleh prestasi yang baik,
sehingga akhirnya mereka tergolong menjadi manusia yang berkualitas (Depdiknas,
2008:6).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 74
tahun 2004, yakni kualitas manusia yang dibutuhkan bangsa indonesia pada masa
depan adalah mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain.
Kualitas manusia indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu oleh pendidik profesional.
Tugas pendidik yang berlangsung disekolah adalah
mengembangkan manusia menjadi subjek yang aktif yang mampu mengembangkan
seluruh potensi yang ada dimilikinya agar mereka dapat hidup dan dapat
mengembangkan kehidupannya di masyarakat yang selalu berubah. Semua itu hanya
mungkin terjadi manakala guru sebagai orang yang bertanggung jawab dalam proses
pendidikan di sekolah memahami siswa sebagai makhluk yang unik, yang berbeda
dengan makhluk lainnya dimuka bumi ini (Sanjaya, 2006:252).
Proses belajar mengajar bukan hanya melingkupi aktivitas
dari segi aspek fisik semata yang perlu dikembangkan oleh guru tetapi juga
mencakup aspek mental siswa, dalam belajar siswa dilatih untuk berani bertanya,
mengajukan pendapat, berdiskusi dengan siswa yang lain, selain dari membaca,
menulis dan mencatat hal-hal penting yang disampaikan oleh guru dan mengerjakan
tugas, sehingga aktivitas fisik dan mentalnya dapat dilatih.
Untuk penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, maka
pemerintah dalam hal ini menteri pendidikan nasional mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Lulusan adalah kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan, tidak
terkecuali mata pelajaran IPA pada SD/MI. (Depdiknas, 2006: 58).
Mata Pelajaran IPA (Sains) merupakan salah satu mata
pelajaran yang diajarkan di SD. Secara umum istilah sains memiliki arti sebagai
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sains didefinisikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara sistematis, secara khusus istilah sains
dimaknai sebagai Ilmu Pengetahuan Alam atau “Natural Science”. Menurut conant sains diartikan sebagai bangunan
atau deretan konsep yang saling berhubungan sebagai hasil dari eksperimen dan
observasi Cambell mendifinisikan sains sebagai pengetahuan yang bermanfaat dan
cara bagaimana atau metode untuk memperolehnya (Penyusun, 2007:35).
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk
memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah (KTSP, 2006:106), di
tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran IPA dan diarahkan pada
pengalaman untuk merancang dan memuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA
dan kompetensi bekerja secara ilmiah. Hal ini seperti dinyatakan dalam tujuan
pembelajaran IPA pada standar isi KTSP tahun 2006 pada kutipan berikut, bahwa :
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara
mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya
penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau
prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan
IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri
sendiri dan alam sekitar, sereta prospek pengembangan lebih lanjut dalam
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya langsung
untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga
dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang alam sekitar.
Siswa seringkali mengalami kesulitan pada mata
pelajaran IPA disebabkan karena pembelajaran masih menekankan pada
konsep-konsep yang terdapat di dalam buku, belum memanfaatkan pendekatan, model
dan media dalam pembelajarannya, serta pembelajaran masih bersifat monoton. Hal
ini membuat pembelajaran tidak efektif dan efisien, karena siswa kurang
termotivasi terhadap pelajaran yang disampaikan, maka pengajaran semacam ini
cenderung menyebabkan kebosanan kepada siswa yang menyebabkan menurunnya atau
rendahnya hasil belajar siswa.
Keadaan seperti ini jika dibiarkan akan membawa
dampak negatif bagi siswa, dampak negatif tersebut antara lain siswa kurang
berminat untuk mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh guru, yang akan
mempengaruhi prestasi dan hasil belajar belajarnya. Oleh karena itu
dikhawatirkan mutu dari pendidikan di sekolah akan menurun. Dari masalah yang
ada diharapkan ada model atau metode yang mampu meningkatkan hasil belajar
siswa dengan lebih bisa mendayagunakan siswa untuk aktif dan semangat dalam
mengikuti pelajaran, jadi siswa dapat memperoleh hasil yang diinginkan.
Pembelajaran kooperatif (cooperatif learing)
merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil secara kalaboratif yang anggotanya terdiri dari empat
sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Aktivitas
dan kreativitas yang diharapkan dalam sebuah proses pembelajaran dituntut
interaksi atau komunikasi antara guru dengan siswa, dan siswa dengan guru.
Dalam proses belajar diharapkan adanya komunikasi banyak arah yang memungkinkan
akan terjadinya aktivitas dan kreativitas yang diharapkan. (Rusman, 2012:202)
menurut Shaw satu ciri yang dipunyai oleh semua kelompok yaitu anggotanya
saling mempengaruhi antara satu dengan lain (Suprijono, 2012:57).
Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat
diterapkan guru dalam memecahkan masalah mata pelajaran IPA adalah dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement
Division (STAD) merupakan salah satu tipe dari pembelajaran kooperatif
(berkelompok), dimana guru menyajikan pelajaran, kemudian siswa dibagi menjadi
beberapa kelompok secara heterogen. Siswa yang pandai (sudah mengerti dengan
materi yang dipelajari) mengajari temannya yang belum mengerti. Kemudian diadakan
kuis yang mana setiap siswa tidak boleh saling membantu untuk mengetahui apakah
siswa telah memahami materi yang dipelajari. Sehingga diharapkan dalam
penerapan pembelajaran seperti ini akan meningkatkan pemahaman dan kreativitas
siswa, dan dapat menerima berbagai keragaman dari temannya serta mengembangkan
keterampilan sosial. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas pasal 4 ayat 1 bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa” (Depdiknas,
2010:6). Lebih dari itu, pembelajaran kooperatif tipe STAD ini sesuai dengan
psikologi perkembangan bahwa pengelompokan sosial dan prilaku sosial pada masa
kanak-kanak sering ditandai dengan adanya minat terhadap aktifitas teman-teman
dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu
kelompok.
DAFTAR
PUSTAKA
Agus, Suprijono. (2012).
Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi
Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
untuk Sekolah Dasar / MI. Jakarta
: Depdiknas
Depdiknas. (2008). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta : Dikmenum Depdiknas.
Depdiknas. (2010). Model Pembelajaran IPS. Malang : Pusat
Kurikulum Baltibang Depdiknas.
Rusman. (2012). Model – Model Pembelajaran. Depok : PT
Rajagrafindo Persada.
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Syah, Muhibbin. (2010).
Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan
Baru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Tim Penyusun KBBI. (2007).
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
No comments:
Post a Comment