BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah
tempat kita berpijak dan melangsungkan kehidupan, sejak zaman prasejarah
sampai pada zaman sejarah tidak lepas dari bumi ini. Kebiasaan-kebiasaan
dibangun dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan suatu budaya. Manusia yang
berbudaya ini hidup berkelangsungan dalam kelompoknya sehingga menimbulkan adat
istiadat yang menpunyai nilai-nilai dalam menjalani kehidupan bersama.
Wilayah – wilayah tanah adat di Indonesia luas sekali di berbagai macam suku.
Mereka beranggapan tanah itu sesuatu yang sacral , karena telah ada dan di puja
sejak zaman nenek moyang dulu. Dalam berkehidupan kita tidak pernah lepas dari
permasalahan. Sehingga tak jarang sengketa-sengketa mengenai tanah adat milik
suatu suku ini terjadi.
Sengketa-sengketa
tentang tanah adat marak-marak ini terjadi seperti antara tanah adat dan
perusahaan, kepemilikan turun termurun yang diakui sampai juga kasus dimana
permohonan warga suku atas tanah adatnya tentang hak-hak kepemilikannya kepada
Gubernur wilayahnya.
Namun yang menjadi fokus sengketa tanah
adat dalam makalah kami adalah maraknya terjadi sengketa perebutan tanah setra
di Bali belakangan ini telah membuktikan Bali sekarang jauh dari rasa aman.
Dalam hal penyelesaian sengketa yang terjadi, masyarakat di Bali lebih
mempercayakan kepada pimpinan-pimpinan di daerahnya, baik pimpinan dari tingkat
desa dan bahkan sampai pada pimpinan tingkat propinsi. Adakalanya upaya
penyelesaian sengketa yang ditangani salah satu pimpinan tidak berhasil. Banyak
faktor-faktor yang dapat menyebabkan berhasil maupun gagalnya penyelesaian
sengketa. Namun semua faktor itu dapat di lihat dalam penegakan sistem hukum,
yaitu: legal substancy, legal structure dan legal culture.
Untuk itulah diperlukan kaedah – kaedah
yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah di dalam Hukum Adat
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana upaya penyelesaian permasalahan sengketa tanah adat yang ada di
Indonesia ?
BAB
II
PEMBAHASAN
II.I
TEORI TANAH ADAT
Teori
pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal
atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap anggota
persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu
dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus maka tanah
tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.
Menurut
Wignjodipoero, hak persekutuan atas
tanah ini disebut juga hak pertuanan atau hak ulayat, sementara Van Vollenhoven menyebutnya dengan
istilah bescikkingsrecht. Lebih lanjut Wignjodipoero mengatakan bahwa “hak
ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas
tanah yang didiami, sedangkan pelaksanaannya dilakukan atau oleh persekutuan
itu sendiri atau oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan.”
Pengertian
Hak Ulayat
Hak
Ulayat adalah pengakuan bersama oleh seluruh anggota masyarakat dan didalamnya
juga terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh
mempunyai tanah di lingkungan hak ulayat tersebut. Sementara menurut Budi
Harsono hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan
tanah wilayahnya, yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat
untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut.
Lebih
jelasnya tentang hak ulayat ini, Siregar menguraikan ciri-ciri hak ulayat
sebagai berikut:
1) Masyarakat hukum dan
para anggota-anggotanya berhak untuk dapat mempergunakan tanah hutan belukar di
dalam lingkungan wilayahnya dengan bebas, yaitu bebas untuk membuka tanah,
memungut hasil, berburu, mengambil ikan menggembala ternak dan lain sebagainya.
2) Bukan anggota
masyarakat hukum dapat pula mempergunakan hak-hak tersebut hanya saja harus
mendapat izin terlebih dahulu dari kepala masyarakat hukum dan membayar uang
pengakuan atau recognite (diakui setelah memenuhi kewajibannya).
3) Masyarakat hukum
beratnggungjawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkungan
wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal.
4) Masyarakat hukum tidak
dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat untuk selama-lamanya kepada siapa
saja.
5) Masyarakat hukum
mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dimiliki oleh
para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli tanah dan sebagainya.
Pengertian
Tanah Ulayat
Tanah
ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu
kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan
masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan
penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.Disinilah sifat religius hubungan
hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya
ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok
di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan,
tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah
bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Selanjutnya,
anggota persekutuan masyarakat itu juga memiliki hak untuk membuka tanah
(ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan suatu hubungan sendiri
terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan hak pertuanan. Hak
membuka tanah itu menurut hukum adat adalah hanya salah satu dari pada tanda –
tanda munculnya hak persekutuan atau beschikingsrecht dan hanya ada pada
anggota – anggota masyarakat atau tanah – tanah di lingkungan hak pertuanan itu
sendiri. Hubungan hukum seperti dapat diwariskan.
Istilah
bescikkingsrecht menurut Van Vollenhoven
Dalam
redaksi lain disebutkan bahwa hak persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan
(hak masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap tanah tersebut; misalnya hak
untuk menguasai tanah, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari
tumbuh-tumbuhan yang hidup di atasnya, atau berburu binatang-binatang yang
hidup di atas tanah itu. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut juga “hak
ulayat” atau “hak pertuanan”. Dalam literatur oleh C. Van Vollenhoven disebut
dengan istilah “beschikking”, sedangkan tanah sebagai wilayahnya disebut
“beschikkingring”.
Van
Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Siregar mengatakan bahwa hak milik bumi
putera (Inlands bezitrecht) terbagi kepada dua macam yaitu:
1) Communaal bezitrecht
(hak milik komunal) bila hak itu ada pada masyarakat hukum.
2) Ervelijk individueel
bezitrecht (hak milik perorangan) bila hak milik itu ada pada anggota masyarakat
hukum secara perorangan.
Berdasarkan
teori ini maka hak-hak individual dan persekutuan terhadap tanah dan tetap
diakui keberadannya yang mana hak itu diwariskan secara turun temurun terhadap
anggota keturunan masyarakat persekutuan yang mengikatkan dirinya terhadap
persekutuan adat tersebut.
Berlaku
ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan
turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan
yang bersangkutan; hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar
pancang (uang pemasukan) dan kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan
warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan
untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan.
Berlaku
ke dalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga
persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud
dengan memetik hasil daripada tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang
liar yang hidup atasnya.
Hak
membuka tanah berakibat konflik pertanahan adat
Hak
membuka tanah ini tidaklah terjadi atau dilakukan begitu saja. Sering kali ini
menuntut adanya dilakukan acara – acara khusus yang dihadiri oleh para tokoh
adat atau masyarakat setempat dan perlunya membuat tanda – tanda tertentu yang
menunjukkan bahwa lahan atau tanah tersebut telah ada perseorangan yang sedang
mengolahnya. Hal – hal seperti ini akan mempertegas adanya hubungan hukum
perseorangan tersebut terhadap tanah yang dibukanya. Apabila hal itu tidak ada,
maka hubungan hukum antara tanah yang dibukanya dengan dirinya akan begitu
lemahnya, sehingga membuka peluang bagi pihak lain (perseorangan atau individu)
untuk juga mengklaim bahwa itu juga lahan yang dibukanya. Hal seperti inilah
yang akan menimbulkan permasalahan tentang tanah.
Hal
lain yang dapat menimbulkan konflik di bidang pertanahan adalah karena tidak
jelasnya pembatasan daerah atau tanah persekutuan atau beschikkingsrecht. Artinya, ukuran yang digunakan dalam bidang
pertanahan menurut hukum adat adalah konstruksi yuridis yang abstrak. Sehingga
batas – batas pertanahan antara persekutuan hukum adat yang satu dengan yang
lainnya yang bertetangan dan sering kali tidaklah jelas adanya. Sehingga,
ketika satu persekutuan hukum adat mengklaim batas tertentu tanahnya, bisa jadi
itu sudah dianggap melampaui batas yang telah diklaim oleh persekutuan hukum
adat tetangganya.
Hal
lain yang membuat aspek sedemikian itu rawan konflik , adalah karena adanya
prinsip bahwa tanah persekutuan atau pertuanan tersebut tidak dapat
dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid). Artinya pada waktu terjadi perbedaan
pendapat tentang kepemilikan hak antar persekutuan hukum tentang batas – batas
tanah tersebut, masing – masing persekutuan hukum akan membela haknya dengan
segala cara. Mereka tidak akan pernah mengizinkan haknya atas tanah yang telah
mereka klaim, yang mungkin telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas
begitu saja. Ada nilai magis-religi yang terdapat antara tanah persekutuan
dengan masyarakat persekutuan yang membuat prinsip itu berlaku dengan kuat di
antara mereka.
Di
sinilah letak perlunya peran pemerintah atau penguasa yang lebih tinggi untuk
membuat peraturan yang memiliki atau menjamin kepastian hukum dalam bidang
pertanahan, menghindari konflik pertanahan di antara persekutuan hukum adat.
Keterkaitan hukum dan tanah adat di Indonesia
Menurut hukum adat di
Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas tanah, antara lain yaitu:
1. Hak persekutuan,
yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh
sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan
masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut, hak persekutuan ini sering
disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau
beschikingsrecht.
2. Hak Perseorangan,
yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh
seseorang anggota dari persekutuan tertentu.
Hukum Tanah Adat
sebelum berlakunya UUPA Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan
milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka
pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah
itu, para anggita persekutuan berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam
melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu
diketahui atau meminta izin dari kepala adat. Dengan demikian sebelum
berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan hukum,
yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang.
II.II
LANDASAN HUKUM
Dasar
– dasar hukum yang berkaitan dengan tanah adat diantarannya adalah di Indonesia
belakangan dibuatlah suatu peraturan perundang - undangan yang mengatur tentang
pertanahan, yaitu Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan
(UUPA 1960). Undang – Undang ini diciptakan untuk mengadakan unifikasi hukum
pertanahan nasional. Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat
di bidang pertanahan yang ada di dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak
bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada dapat dipergunakan dalam
rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.
Hukum
agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga
terdapat dalam peraturan perundang – undangan lainnya yang mengatur tentang
perjanjian – perjanjian ataupun transaksi – transaksi yang berhubungan dengan
tanah. Misalnya:
1. Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian
2. Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960
tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian.
Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah
adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang – undangan yang
dibuat oleh pemerintah (penguasa).
Selanjutnya dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga
dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23
Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional
tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap
memperhatikan nilai – nilai agama, adat istiadat, dan lain – lain yang hidup
dalam masyarakat .
BAB
III
ANALISIS
MASALAH
Contoh
Kasus Sengketa Tanah Adat dan Penyelesaiannya :
SENGKETA
ADAT DI BALI (STUDI KASUS SENGKETA TANAH SETRA ANTARA DESA PAKRAMAN CEKIK
DENGAN DESA PAKRAMAN GABLOGAN, KECAMATAN SELEMADEG, KABUPATEN TABANAN)
Rabu
19 Desember 2012
Sumber
:
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=72598
Terjadinya
sengketa dari hari ke hari semakin bertambah banyak, baik yang sifatnya
sederhana maupun yang sifatnya kompleks. Sengketa yang sekarang banyak terjadi
antar desa pakraman di Bali adalah sengketa mengenai perebutan tanah setra.
Pentingnya peran tanah setra bagi umat hindu di Bali dan juga tingginya nilai
ekonomi tanah sekarang ini merupakan salah satu pemicu terjadinya sengketa.
Sebagaimana
yang kita ketahui, cara penyelesaian sengketa ada 2 (dua), yaitu secara
litigasi dan non-litigasi (diluar pengadilan). Masyarakat Bali dewasa ini dalam
menyelesaikan sengketa yang terjadi biasanya dengan cara non-litigasi. Apalagi
jika sengketa itu melibatkan antar desa pakraman. Misalnya sengketa yang
terjadi antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan Kabupaten
Tabanan dimana sengketa ini dipicu oleh berbagai faktor sehingga menjadi
kompleks. Adakalanya proses penyelesaian sengketa secara non-litigasi ini tidak
dapat langsung menuntaskan masalah.
Latar
belakang sengketa Sengketa antara Desa
Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan bermula dari adanya keluhan oleh
beberapa warga Desa Pakraman Cekik karena merasa dirugikan dari akibat yang
ditimbulkan dalam proses upacara pemakaman oleh Desa Pakraman Gablogan. Keluhan
ini segera dirundingkan oleh kedua desa pakraman tersebut dan segera dicarikan
jalan keluarnya. Akhirnya Desa Pakraman Gablogan mau menanggung setiap kerugian
yang diderita warga Desa Pakraman Cekik dari akibat ditimbulkan dalam proses
upacara pemakamannya. Namun, selang beberapa tahun Desa Pakraman Gablogan tidak
lagi memberikan ganti rugi kepada warga Desa Pakraman Cekik. Dari situlah mulai
gesekan-gesekan yang dulunya kecil sekarang menjadi masalah hingga menimbulkan
sengketa yang sifatnya kompleks.
Upaya penyelesaian
sengketa antara desa pakraman cekik dengan desa pakraman gablogan
Dalam upaya penyelesaian sengketa yang
terjadi, ada 3 (tiga) upaya yang dilakukan kedua desa pakraman tersebut. Upaya
penyelesaian sengketa yang pertama dilakukan oleh masing-masing perwakilan desa
yang dimediasi oleh Bapak I Nyoman Gunarta yang menjabat sebagai Kepala Desa,
Desa Berembeng. Upaya penyelesaian sengketa pertama ini memang menghasilkan
suatu kesepakatan bersama yang pada intinya Desa Pakraman Gablogan setuju untuk
pindah setra dan membuat setra baru di wilayah desa pakramannya. Berselang
beberapa bulan, belum juga ada tindakan membuat setra dari Desa Pakraman
Gablogan, maka Desa Pakraman Cekik memutuskan melarangnya melakukan penguburan
di setra yang menjadi obyek sengketa. Sampai akhirnya ada kematian di Desa
Pakraman Gablogan, dalam proses penguburan itu kedua desa pakraman hampir
bentrok. Dengan adanya kejadian itu, maka dilakukan lagi upaya yang kedua juga
sama seperti yang pertama. Yang menjadi mediator dalam upaya penyelesaian
sengketa yang kedua ini adalah Bapak Drs. I Nengah Judiana, Msi selaku
Sekretaris Daerah Kabupaten Tabanan. Dalam penyelesaian kedua ini hampir sama
kejadiannya dengan yang pertama tadi, dimana kesepakatan tidak dilaksanakan
sampai ada kematian lagi di Desa Pakraman Gablogan. Upaya penyelesaian sengketa yang ketiga ini
dimediasi langsung oleh Bupati Kabupaten Tabanan yaitu Bapak Nyoman Adi
Wiryatama, S.Sos. bersama dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten
Tabanan. Dengan kewenangan yang dimiliki Bupati, maka diterbitkan suatu
keputusan yang menyatakan Desa Pakraman Gablogan harus pindah setra dan
mempunyai setra sendiri. Setra yang menjadi sengketa berubah status menjadi
tanah quo. Dengan isi keputusan seperti itu, maka Desa Pakraman Gablogan
menyetujuinya, dan isi keputusan tersebut dapat diwujudkan oleh Desa Pakraman
Gablogan setelah empat bulan semenjak keputusan itu dibuat. Pada akhirnya
setelah setra Desa Pakraman Gablogan terwujudkan, maka sengketa yang terjadi
antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan berakhir.
Secara garis besarnya ada tiga faktor
yang berpengaruh dalam penyelesaian sengketa ini, yaitu: legal substancy, legal
structure, dan legal culture. Legal
substancy adalah aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada
dalam sistem hukum itu. Aturan yang dipakai acuan dalam proses penyelesaian
sengketa ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dalam Pasal 18 B angka (1) dan (2), dilanjutkan dengan UndangUndang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam BAB XI tentang Desa, kemudian
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dalam Pasal 15 angka (1)
huruf (k), dan yang terakhir PERDA Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman. Legal structure adalah
berkaitan dengan seluruh institusi penegakan hukum beserta aparatnya. Sengketa
adat yang terjadi awalnya diselesaikan oleh prajuru desa, namun apabila prajuru
desa tidak sanggup mendamaikan, maka ia bisa dibantu oleh aparat pemerintah
mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi. Peranan aparat pemerintah dalam hal ini
sangat penting, karena dengan kewenangan yang tinggi, aparat pemerintah dapat
menekan dan memaksa para pihak yang bersengketa untuk tunduk dan mematuhi
segala keputusannya. Dalam hal ini, kedudukan Bupati Kabupaten Tabanan sangat
penting, karena ia selaku pemimpin di kabupaten juga pemegang kewenangan
tertinggi di kabupaten, maka ia dapat menekan pihak yang bersengketa untuk
tunduk sesuai keputusan yang diterbitkan Bupati. Legal culture adalah adalah
tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum.
Seperti halnya kenapa warga Desa Pakraman Gablogan tidak menerapkan kesepakatan
pertama dan kedua, dan mengapa keputusan yang terakhir dapat dilaksanakan. Ada
dua alasan, pertama warga Desa Pakraman Gablogan dapat menerima keputusan yang
dibuat oleh Bupati Kabupaten Tabanan dikarenakan masyarakat menganggap itu
adalah jalan terakhir, sehingga apa yang diputuskan oleh Bupati, mau atau tidak
mau, keputusan itu harus ditaati, mengingat Bupati adalah pemimpin tertinggi di
wilayah kabupaten. Alasan kedua, mengingat bantuan yang diberikan oleh Bupati
Kabupaten Tabanan lebih dari cukup untuk membuat tanah setra baru, maka warga
Desa Pakraman Gablogan dapat menjalankan keputusan tersebut.
BAB
IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Upaya
penyelesaian permasalahan sengketa tanah adat yang ada di Indonesia dari salah
satu dari sekian banyaknya sengketa tanah adat yang berada di Indonesia yaitu
contoh sengketa tanah adat di Bali. Upaya penyelesaiannya adalah :
1. Ada
3 upaya mediasi yang dilakukan antar dua desa pakraman,
•Mediasi pertama oleh Kepala Desa
Kebendesaan Berembeng yang menghasilkan suatu kesepakatan bersama yang pada
intinya Desa Pakraman Gablogan setuju untuk pindah setra dan membuat setra baru
di wilayah desa pakramannya ,tetapi masih terjadi bentrok.
•Mediasi kedua oleh Sekda Kabupaten
menghasilkan Tabanan diterbitkan suatu keputusan yang menyatakan Desa Pakraman
Gablogan harus pindah setra dan mempunyai setra sendiri. Setra yang menjadi
sengketa berubah status menjadi tanah quo, namum keputusan tidak dilaksanakan.
•Mediasi ketiga oleh Bupati Kabupaten
Tabanan dan sengketa dapat diselesaikan karena kedua warga adat yang
bersengketa beranggapan mediasi ke 3 adalah jalan terakir dan Bupati sebagai
pemimpin tertinggi yang dihormati.
2.
Faktor – factor yang paling berperan dalam menyelesaikan sengketa ini adalah
•Legal substancy adalah aturan-aturan,
norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu
termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu.
•Legal structure adalah berkaitan dengan
seluruh institusi penegakan hukum beserta aparatnya. karena dengan kewenangan dan kekuasaan yang
tinggi, aparat pemerintahan dapat menekan dan memaksakan para pihak untuk berdamai.
•Legal culture adalah adalah tanggapan
umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum.
B. SARAN
Diperlukannya peran aktif pemerintah
dalam memberikan suatu keputusan terakhir, dimana sengketa-sengketa tanah adat
yang sering kali terjadi sulit untuk di putuskan secara tuntas, pemerintah
dalam hal ini seperti Bupati di wilayah sengketa-sengketa tanah adat tersebut. Institusi
penegakan hukum, beserta aparatnya dalam setiap penyelesaian persoalan sengketa
tanah adat maupun sengketa tanah lainnya dapat memberikan suatu landasan hukum
yang sangat berpengaruh terhadap sengketa-sengketa tersebut seperti dalam
berbagai macam peraturan-peraturan pemerintah dan daerah serta undang-undang
yang diberlakukan. Warga adat yang berkonflik tidak tersulut emosi dan berlaku
anarkis dalam setiap permasalahan sengketa yang belum di putuskan.
No comments:
Post a Comment