BAB I
Belajar
merupakan suatu proses usaha sadar dan dilakukan oleh individu untuk suatu
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi ber
sikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak
hanya sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun
bagaimana melibatkan individu secara aktif membuat ataupun merevisi hasil
belajar yang diterimanya menjadi suatu pengalaman yang bermanfaat.
Pembelajaran
merupakan suatu sistem yang membantu individu belajar dan berinteraksi dangan
sumber belajar dengan lingkungan.
Teori
adalah seperangkat asa yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam
dunia nyata. Teori merupakan seperangkat preposisi yang didalamnya memuat
tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri dari satu atau lebih
variable yang saling berhubungan satu sama lain dan dapat dipelajari,
dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya.
Teori
belajar adalah suatu teori yang
didalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara
guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan dikelas
maupun diluar kelas.
- Bagaimana
toeri belajar behavioristik menurut para tokoh?
- Bagaimana
asumsi-asumsi tentang teori belajar behavioristik?
- Mengetahui
teori belajar menurut para tokoh
-
1
A.
Teori Belajar Menurut
Para Tokoh
Menurut nyanyu (khodijah,
2014), tokoh-tokoh behavioristik dan toerinya adalah:
1
Teori Belajar Menurut Thorndike (Teori Connectionism)
Teori connectionism
ditemukandan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Menurut
Thorndike, seluruh kegiatan belajar adalah didasarkan pada jaringan asosiasi
atau hubungan (bonds) yang dibentukantarastimulusdan respons. Karena itu,teori
ini disebut juga S-R bond bond theory atau S-R psychology of learning.
Asumsinya bahwa otak siswa dapat menyerap dan menyimpan jejak-jejak mental
aspek individual dari sebuah situasi. Bila aspek-aspek tersebut dirasakan,
mereka mengaktifkan jejak mental yang berhubungan. Jejak mental tersebut pada
gilirannya secara kolektif dengan respons-respons khusus. Bila asosiasi
tersebut terbentuk utuh, setiap waktu bila seorang siswa dihadapkan pada suatu
situasi maka ia pasti akan menunjukkan respons tertentu.
Tiga hukum belajar
mayor yang dikemukakan oleh Thorndike adalah : (a) law of readiness, (b) law of
exercise, dan (c) law of effect.
a.
Law of readiness
(hukum kesiapan)
|
Belajar
akan terjadibila ada kesiapan pada individu. Manakala organisme, baik manusia
maupun hewan, memiliki kesiapan untuk belajar, maka ia akan mengalami kepuasan,
tetapijika ia tidak siap maka akan terjadi kekecewaan.
b.
Law of exercise
(hukum latihan)
Perilaku sebagai
hasil belajar terbentuk karena adanya hubungan antara stimulus dan respons.
Hubungan tersebut diperkuat dan diperlemah oleh tingkat intensitas dan
durasipengulangan hubungan atau latihan. Implementasinya dalam proses
pembelajaran, guru perlu memberikan kesempatan latihan sebanyak mungkin pada
siswa, sehingga mencapai hasil yang diharapkan. Setelah tahun 1930, Thorndike
merevisi hukum ini. Latihan saja tidaklah cukup, latihanhanya akan membawa
hasil bila diikuti atau disertai oleh hadiah (reward) atau hukuman
(punishment).
c.
Law of effect
(hukum efek)
Jika sebuah respons
menghasilan efek yang meyenangkan,hubungan antara stimulus dan respons akan
semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dihasilkan respons,
semakin lemahpula hubungan stimulus dan respons tersebut, kemudian pada
akhirnya respons tersebut tidak dimunculkan lagi. Implikasinya dalam proses
pembelajaran guru perlu memberikan hadiah bagi prilaku positif yang ditunjukkan
oleh siswa, sebaliknya terhadap perilaku negatif perlu diberikan hukuman.
Setelah tahun 1930, Thorndike juga merevisi hukum ini. Menurutnya, dalam
keadaan di mana aksi simetris mungkin dilakukan, hadiah lebih kuat pengaruhnya
dari pada hukuman.
2
Teori Belajar Menurut Ivan Pavlov (Teori Classical
Conditioning)
Teori Classical
Conditioning berkembang berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Ivam Pavlov
(1849-1936). Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui
bagaimana refleks bersyarat terbentuk dengan adanya hubungan antara conditioned
stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), dan conditiones respons (CR).
Pertama-tama, anjing dioperasi, pada salah satu kelenjar air liurnya diberi
alat penampung yang dihubungkan dengan pipa kecil sehingga air liurnya
keluardapat dilihat oleh peneliti. Sebelum dilakukan eksperimen, anjing selalu
mengeluarkan air liurnya setiap kali melihat makanan, namun ketika hanya
mendengar bunyi bel maka air liurnya tidak keluar. Kemudian dilakukan
eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bunyi bel (CS) bersama-sama
dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah dilakukan
eksperimen secara berulang-ulang, hasilnyaanjingmengeluarkan air liur (CR)
meski hanya mendengar bunyi bel saja (CS) Jadi CS akan menghasilkan CR apabila
CS dan UCS dihadirkan berulang-ulang secara bersamaan. Secara singkat
eksperimen tersebut digambarkan sebagai berikut :
Masalah
selanjutnya yang diteliti oleh Pavlov ialah apakah refleks bersyarat yang telah
terbentuk itudapat dihilangkan. Setelah melakukan serangkaian eksperimen,
akhirnya ia berkesimpulan bahwa refleks bersyarat yang telah terbentuk itu
dapat hilang atau dihilangkan
a.
Refleks
bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang karena stimulus yang mengganggu
(hilang untuk sementara), dan
b.
Refleks
bersyarat itu dapat dihilangkan dengan proses pernyaratan kembali(reconditioning).
Masalah lain
yang diteliti oleh Pavlov adalah tentang daya
diskriminasi anjing, yaitu sejauh mana anjing dapat melakukan
perbedaan antara bermacam-macam stimulus. Untuk itu, Pavlov
juga melakukan berbagai eksperimen, hanya bedanya kali ini ia menggunakan lebih
dari stu stimulus bersyarat. Hasilnya menunjukkan bahwa daya diskriminasi
anjing itu maksimum hanya sampai pada tiga jenis stimulus.
3
Teori Belajar Menurut BF.Skinner (Teori Operant
Conditioning)
Burrhus F. Skinner (1953) menemukan
hubungan antara penguatan dan tingkah laku pengkondisian operan nerupakan
peningkatan kemungkinan suatu respons muncul lagi sebagai hasil penguatan.
Skiner lebih memahami tentang pengaruh lingkungan pada pembelajaran dan tingkah
laku. Menurut Skinner, lingkungan seperti orang tua, guru dan teman , bereaksi
pada tingkah laku kita, baik tingkah laku yang menimbulkan penguatan atau tidak
menghasilkan penguatan. Artinya, suatu situasi (lingkungan) bisa menyenangkan
atau tidak bagi individu. Karena itu lingkungan sekolah perlu ditata dengan
baik agar siswa betah belajar disekolah. (Ansyar, 2010)
Menurut Skinner,
sebagian besar perilaku manusia adalah berupa respons atau jenis perilaku
operant. Kemungkinan modifikasi perilaku tersebut juga boleh dikatakan tak terbatas.
Fokus teori ini adalah bagaimana menimbulkan, mengembangkan, dan
memodifikasiperilaku operant tersebut dengan penguatan (reinforcement).
Menurut Skinner,
perilaku terbentuk olehkonsekuensi yanng ditimbulkan. Konsekuensi yang
menyenangkan (positive reinforcement atau reward) akan membuat perilaku yang
sama akan diulangi lagi, sebaliknya konsekuensi yang tidak menyenangkan
(negative reinforcement atau punishment) akan membuat perilaku dihindari.
Berdasarkan
teori ini, Skinner merumuskan prosedurpembentukkan perilaku. Secara sederhana,
prosedur tersebut terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut:
a.
Identifikasi
kemungkinan reinforcer bagi perilaku yang akan dibentuk.
b.
Analisis
komponen komponen perilaku.
c.
Identifikasi
reinforcer untuk masing-masing komponen perilaku.
d.
Melaksanakan
pembentukan perilaku sesuai dengan urutankomponen perilaku yang telah disusun.
Akan tetapi,
teori behavioristik banyak dikritik karena memiliki beberapa kelemahan dan
sulit diaplikasikan pada proses belajar manusia. Beberapa kritik yang sering
dimunculkan adalah:
a.
Teori
behavioristik seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel
atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat
diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respons.
b.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan
adanya variasi tingkat emosi dan berpikir pembelajar, walaupun mereka
memiliki pengalaman penguatan yang sama
c.
Teori
behavioristk juga cenderung mengarahkan pembelajar untuk berpikir linier,
konvergen, tidak kreatif, dan tidak produktif.
Sedangkan
didalam bahan ajar cetak (lapono, 2009) tokoh lain dalam teori
belajar behavioristik adalah,
Proses belajar yang
bersangkut-paut dengan peniruan disebut belajar observasi (observational
learning ). Albert Bandur (1969) menjelaskan bahwa belajar observasi merupakan
sarana dasar untuk memperoleh perilaku baru atau mengubah pola perilaku yang
sudah dikuasai. Belajar observasi biasa juga disebut belajar sosial (social
learning) karena yang menjadi objek observasi pada umumnya perilaku belajar
orang lain.
Albert Bandur
(1969) mengartikan belajar sosial sebagai aktfitas meniru melalui ) pengamatan
(observasi). Individu yang perilakunya ditiru menjadi model pebelajar yang
meniru. Istilah modeling digunakan untuk menggambarkan proses belajar sosial.
Model ini merujuk pada seseorang yang berperilaku sebagai stimuli bagi respon
pebelajar. Konsep dan prinsip peniruan dalam belajar sosial dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a.
Model yang
ditiru para peserta didik berupa (a) real-life model atau model kehidupan nyata
seperti guru atau orang lain di lingkungan sekitarnya; (b) symbolic-model yang
disajikan secara simbolis lewat pembelajaran lisan, tertulis, peraga dan
kombinasi dan gambar; dan (c) representative model yang penayangannya lewat
televisi dan video.
b.
Belajar sosial
melalui peniruan dapat memberi penguasaan perilaku awal itu bersifat
kontinguitas (kerapatan moment amat dekat dengan kejadian yang diamati), yaitu
rentetan perilaku yang dilihat atau didengar individu lewat pancaindera. Teori
ini biasa juga disebut teori modeling kontiguitas, yang pada prinsipnya
mengkondisikan peserta didik belajar sebaik-baiknya di depan model pada waktu
dan ruang yang tepat.
c.
Faktor yang
mempengaruhi perilaku meniru adalah konsekuensi respon model pada individu
dalam kerangka hadiah dan hukuman; meniru dimudahkan ketika model yang
dikerjakan di hadapan individu, perilakunya diberi penguatan.
John W.Santrock (1981) menyebut pandangan albert
bandura tentang teori belajar sosial sebagai teori belajar sosial kognitif. Hal
ini disebab kan pemikiran bahwa meniru perilaku model melibatkan proses proses
psikokologis yang sangat bersifat kognitif seperti dikemukakan berikut ini
(a)
Perhatian (
attention ) : peserta didik mengamati perilaku model dan proses meniru
dipermudah apabila peserta didik diberi tahu harus mengkinerjakan yang di
demonstrasikan guru
(b)
Ingatan (
retention ) : untuk mengkinerjakan kembali apa yang di demonstrasikan guru
menghendaki agar peserta didik menyimpan didalam ingatan sehingga dapat
tereproduksikan kembali
(c)
Kinerja motorik
( motorik reproduction ) : kinerja peserta didik ditentukan kapasitas ingatan
yang sejalan dengan perkembangan keterampilan motoriknya.
(d)
Kondisi
penguatan dan insentif : Peniruan berlangsung memuaskan bila insentif, baik
dari diri peserta didik sendiri ( rasa puas ) dan dari guru/teman sekelas
berupa kekaguman lisan atau non verbal seperti anggukan dan senyuman tulus.
Bandura
merumuskan perilaku ditentukan konsekuensi hasil tindakan individu sendiri
serta konsekuensi tindakan orang orang lain pada diri individu itu. Oleh sebab
itu, perilaku pebelajar perlu di pahami melalui analisis interaksi timbal balik
antara perilaku dengan kondisi pengendali kondisi itu. Model belajar semacam
ini sering pula disebut vicarious learning ( belajar pengganti ) dengan misal
guru mendemostrasikan senyuman manis pada peserta didik yang menyerahkan tugas
sekolah tepat waktu.
Awal
tahun 1970-an Bandura mengajukan pandangan proses proses kognitif sangat
menentukan dalam upaya memahami pola meniru/modeling.Walter Mischel (1973)
cenderung menggunakan istilah cognitive social-learning theory, karena di
dalamnya terkandung hal hal berikut ;
(a)
Harapan (
expectancies ) : harapan belajar atas perilaku sendiri dan perilaku orang lain
adalah penentu perilaku itu.
(b)
Strategi
memproses informasi dan memaknai stimuli secara pribadi
(c)
Anutan nilai
subyektif diletakan pada stimuli ( subjective stimuli values )
Pada
prinsipnya kajian teori behaviorisme mengenai hakikat belajar berkaitan dengan
perilaku atau tingkah laku.
Sedangkan pada sumber Wikipedia (wikipedia,
2014) teori behavioristik adalah dari beberapa tokoh dibawah ini:
5
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan
belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan
respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang
tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang
behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu
lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman
empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
6
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga
menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh
sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan
biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku
juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
7
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie
yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang
disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh
gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena
gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada
respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekadar hanya melindungi hasil
belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang
baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah
tingkah laku seseorang.
B.
Asumsi-Asumsi
Dasar Behaviorisme
Siswa yang ada disekolah dasar sampai menengah
biasanya siswa-siswa yang memperoleh perhatian terbanyak oleh guru dan siswa di
kelas adalah siswa yang berprilaku tidak pantas, sehingga siswa yang ingin
diperhatikan dengan menonjolkan dirinya diantara kerumunan sehingga dia
berprilaku beda dengan lainnya.
Studi kasus tadi menerangkan asumsi dasar
behaviorisme: orang cenderung mempelajari dan menunjukan perilaku yang
menghasilkan, setidaknya dimata mereka, konsekuensi-konsekuensi yang
diinginkan, dan lebih umum lagi perilaku orang sebagian hasil dari pengalaman
mereka dengan stimulus-stimulus lingkungan. (Omrod, 2008)
1. Perilaku orang sebagian besar
merupakan hasil dari pengalaman mereka dengan stimus-stimulus lingkungan
Banyak tokoh
behavioris percaya, dengan pengecualian pada beberapa reflek sederhana, seorang
lahir sebagai kertas kosong setelah beberapa tahun lingkungan akan menuliskan
pada kertas kosong ini, membentuk secara perlahan atau mengkondinisikan,
individu menjadi seorang yang memiliki karakteristik dan cara berprilaku yang
unik.Sebagai guru kita harus ingat
dampak signifikan dari lingkung masa lalu dan masa kini terhadap prilaku
mereka, kita dapat menggunakan prisnsip dasar ini: dengan mengubah lingkungan
kelas kita dapat mengubah prilaku siswa.
2.
Belajar
dapat digambarkan dalam kerangka asosiasi diantara peristiwa-peristiwa yang
dapat diamati, yaitu asosiasi antara stimulus dan respons.
Kaum behavioris
secara tradisional meyakini dalam diri seseorang tidak dapat diamati secara
ilmiah dan meyakini bahwa sebagai kotak hitam yang tidak dapat dibuka untuk
diperiksa.
Tidak semua
pengaruh aliran behaviorisme memegang teguh kotak hitam beberapa tahun terakhir
banyak telah menggabungkan proses kognitif dan fenomena internal kedalam
penjelasan teori mereka (misalnnya DeGranpre, 2000; Rescorla, 1988). Hal ini
membuktikan semakin kuat bahkan bagi kaum behviorisme sendiri tentang
menghilangkan proses berpikir dari penjelasan tentang belajar dan prilaku.
3.
Belajar
melibatkan perubahan perilaku
Kita
mendifinisikan belajar sebagai perubahan perilaku jangka panjang sebagai hasil
dari pengalaman. Beberapa behavioris tidak setuju dengan definisi ini karena
kita tidak dapat melihat perubahan mental, alih-alih mereka menfinisikan
belajar sebagai perubahan dalam perilaku karena pengalaman. Pertimbangkan
sekenario berikut:
Siswa-siswa anda
melihat anda dengan penuh perhatian saat anda menjelaskan sebuah konsep sulit.
Ketika selesai, kemudian anda bertanya “ada pertanyaan?” anda melihat keseluruh
ruangan dan tidak ada satupun tangan terangkat, “Bagus” Anda berpikir bahwa
mereka sudah mengerti.
Namun apakah
siswa benar-benar sudah mengerti? Berdasarkan apa yang anda amati, anda
benar-benar tidak dapat memastikan apakah mereka mengerti atau tidak, hanya
perubahan perilaku yang dapat diamati mungkin perbaikan tes, frekuensi yang
lebih besar untuk membaca secara mandiri atau kurangnya tindakan agresif yang
dapat memberitahu kita bahwa pembelajaran telah terjadi.
4.
Belajar
Cenderung terjadi ketika stimulus dan respon muncul dalam waktu yang berdekatan
Supaya hubungan
stimulus dan respon berkembang, kejadian-kejadian tertentu harus terjadi
bersamaan dengan kejdian-kejadian lain.ketika dua kejadian yang kurang lebih
sama. Kita katakan ada Kontiguitas diantara
kejadian-kejadian tersebut. Dua contoh berikut menggambarkan adanya
kontiguitas:
Salah
seorang intruktur Anda (Profesor X) mengernyitkan dahi kearah anda sembari
mengembalikan hasil ujian tersebut, dan
lantas merasa kurang nyaman. Ketika lain kali profesor x mengernyitkan
dahi kearah anda lagi, perasaan tidak nyaman yang sama muncul kembali.
Instrktur
lainnya (Profesor Y) tersenyum dan menunjuk Anda setiap kali anda mengangkat
tangan. Walaupun anda kurang aktif di kelas lain, namun anda sering mengangkat
tangan dan berbicara dikelas ini.
Dalam situasi
pertama, Profesor X yang mengernyitkan dahi dan nilai D minus pada nilai ujian
anda dihadirkan kurang lebih stimulan; di sini kita melihat Kontiguitas di
antara dua stimulus itu. Dalam situasi kedua, Respon mengangkat tangan
langsug diikuti dengan penunjukan oleh
Profesor Y sebagai tanda anda diberi
kesempatan memberi tanggapan tentang suatu topik . Dalam kasus ini, kita
melihat adanya kontiguitas antara respon dan stimulus yang menyusul (walaupun
penunjukan anda adalah respon yang dibuat oleh Profesor Y, hal itu merupakan
sebuah stimulus bust anda) , dalam kedua situasi ini respon telah berubah; anda
telah belajar merespon dengan perasaan tidak nyaman setiap kali seorang
instruktur anda mengernyikan dahi kearah anda dan anda belajar mengangkat
tangan dan berbicara lebih sering dalam kelas instruktur yang lain.
5.
Banyak
spesies hewan, termasuk manusia belajar dengancara-cara yang sama
Behavioris
terkenal dengan eksperimen hewan seperti tikus dan merpati. Mereka berasumsi
banyak spesies memiliki proses pembelajaran yang sama, karena itu mereka
menerapkan prisnsip-prinsip belajar diperoleh setelah mengamati suatu spesies
pada suatu pemahan mengenai bagaimana spesie-spesies yang lain (termasuk
manusia) belajar. Kita sebagai manusia terkadang tidak suka cara belajar kita
dibandingkan dengan tikus dan merpati, namun kaum behavioris yang dikembangkan
dari penelitian hewan nonhuman sering
kali menjelaskan perilaku manusia.
Kita akan
berfokus pada dua teori behavioris-kondisioning klasik (classical conditioning) dan kondisioning operant (operant conditioning) yang sebagian
besar berasal pada penelitian tentang hewan namun dapat membantu kita memahami
berbagai aspek perilaku dan pembelajaran manusia.
- Penguatan Positif
Setiap kali sebuah
stimulus khusus dihadirkan setelah sebuah perilaku dan perilaku tersebut
meningkat sebagai hasilnya, maka penguatan positif telah terjadi. Penguatan
pofitif dapat terjadi kalaupun stimulus yang dihadirkan mungkin dianggap tidak
menyenangkan atau tidak diinginkan. Kata positif disini hanya berarti
menambahkan sesuatu pada situasi yang bersangkutan
Contoh-contoh penguatan Positif.
- Penguat Konkret, adalah sebuah
benda nyata, sesuatu yang dapat disentuh (misalnya, makanan ringan,stiker,
mainan)
- Penguat social, adalah sebuah gerak
isyarat atau tanda (misalnya, senyum, perhatian, pujian atau ucapan terima
kasih) yang diberikan kepada seseorang kepada orang lain.
- Penguat aktivitas adalah kesempatan
untuk terlibat dalam aktivitas yang disukai. Siswa sering melakukan
kegiatan bahkan sesuatu yang tidak mereka sukai.
- Terkadang pesan sederhana bahwa
sebuah jawaban itu benar dapat
menjadi penguat. Umpan balik positif paling efektif dilakukan ketika umpan
balik itu memberitahu siswa dalam istilah yang eksplisit dalam hal apa
saja yang mereka bekerja dengan baik dan apa yang mereka lakukan mendorong
performa menjadi lebih bagus lagi.
Penguat-penguat yang
baru saja merupakan penguat ekstrinsik, yang di sediakan oleh lingkungan
lingkungan eksternal. Sebaliknya penguat-penguat intrinsic berasal dari para
siswa sendiri atau bersifat melekat dalam tugas yang sedang dikerjakan.
Dari sudut pandang kita
sebagai guru, umpan balik positif dan rasa senang dan kepuasan yang dihasilkan
oleh umpan balik mungkin merupakan bentuk penguatan dalam kelas yang paling
diinginkan.
- Penguatan negative
Kalau penguatan positif
melibatkan kehadiran sebuah stimulus, penguatan negative menyebabkan
peningkatan suatu perilaku melalui penghilangan sebuah stimulus (biasanya
stimulus yang tidak menyenangkan). Kata negative disini bukan merupakan
pertimbangan nilai, melainkan hanya merujuk pada tindakan menarik, alih-alih
menambah suatu stimulus.
Sebagai guru kita
seyogyanya sesekali saja menggunakan penguatan negative, bila tidak sama
sekali. Idealnya, kita ingin mengembangkan sebuah lingkungan kelas dimana hanya
ada sedikit stimulus yang ingin dihindari siswa. Meski demikian, kita harus
mengakui bahwa penguatan negative memang memiliki dampak pada perilaku.
Beberapa siswa mungkin menyelesaikan tugas sebuah tugas karena ingin
cepat-cepat melepaskan diri dari tugas tersebut dari pada demi kepuasan
intrinsic yang dihasilkannya.
- Pengaruh
stimulus-stimulus dan respons-respons.
a.
pemberian isyarat
Siswa
mungkin berperilaku pantas jika mereka diberikan peringatan. Pemberian isyarat
tersebut kadang-kadang melibatkan sebuah sinyal nonverbal, misalnya membunyikan
bel untuk mengingatkan siswa untuk masuk ke kelas.
b. setting
kejadian
Dalam
pemberian isyarat, kita menggunakan stimulus spesifik sebagai peringatan
terhadap siswa supaya berperilaku dengan cara tertentu. Pendekatan
alternatifnya adalah pembentukan lingkungan
yang mudah mendorong perilaku yang diinginkan. Contohnya kegiatan
kelompok/kerja kelompok, karena berinteraksi dengan teman sebayanya selama
waktu bermain hal ini akan mendorong diskusi sesamanya.
c.
generalisasi
Begitu
anak-anak telah mempelajari bahwa sebuah respons mungkin akan diberikan
penguatan dalam satu rangkaian keadaan, mereka mudah membuat respons yang sama
dalam situasi yang sama. Dengan kata lain mereka menunjukkan generalisasi.
d. diskriminasi
Terkadang
orang belajar bahwa respons diberikan penguatan hanya ketika stimulus tertentu
ada. Ketika orang belajar bahwa respons diberikan penguatan dengan hadirnya
satu stimulus tertentu tapi bukan dengan stimulus lain, mungkin mirip, mereka
telah mempelajari diskriminasi (perbedaan) diantara kedua stimulus tersebut.
e. momentum
prilaku
Dalam
banyak kasus, siswa lebih mungkin membuat respons yang diinginkan bila mereka
sudah membuat respons-respons yang serupa dengan fenomena yang dikenal dengan
momentum prilaku. Secara umum kita dapat mendorong terjadinya momentum perilaku
dengan memberikan tugas yang relative mudah atau menyenangkan yang secara
alamiah pindah ke soal-soal yang lebih rumit dan potensial membuat frustasi.
Behaviorisme
mencoba menenmukan pola tingkah laku sebagai hasil asosiasi antara dorongan (stimulus) dan jawaban (respons)yang menghasilkan pengondisian
tingkah laku. Jika dikaitkan dengan pembelajaran, behaviorisme mencoba
menerangkan bahwa belajar adalah sebagai hasil dorongan even eksternal yang
menimbulkan perubahan pada tingkah laku manusia yang bisa diamati.
Paradigma behavioristik yang menekankan
proses belajar sebagai perubahan relatif permanen pada perilaku yang dapat
diamati dan timbul sebagai hasil pengalaman. Penekanan hanya pada.
penekanan hanya pada perilaku yang dapat
dilihat, tanpa memperhatikan perubahan-perubaha atau proses-prosesinternal
apapun yang terlibat didalamnya.
Saran utama dari teori ini adalah guru
harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus
dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak
boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak
|
|
Ansyar,
M. 2010, kurikulum hakikat, fondasi, desain, dan pengembanagan. jakarta:
Kencana prenadamedia grup.
khodijah,
n..2014. psikologi pendidikan . Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
lapono,
N.2009. belajar dan Pembelajaran . Jakarta: direktorat pendidkan tinggi
departemen pendidikan nasional.
Omrod,
J. E.2008. psikologi Pendidikan . Jakarta: Erlangga.
Wikipedia.2014. teori balajar behavioristik, (Online), (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik,
No comments:
Post a Comment