Popular Posts

Wednesday, September 30, 2015

Politik Hukum Dan Agraria Pembebasan Tanah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Setelah Indonesia merdeka tidak ada peraturan yang mengatur baik pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah. Atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 maka peraturan yang ada dan berlaku pada saat itu tetap dapat diberlakukan sepanjang belum dibuat yang baru dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945. Dengan adanya ketentuan tersebut maka ketentuan pembebasan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang diatur dalam Gouvernements Besluit 1927 sebagaimana telah di rubah dengan Gouvernements Besluit 1932 dan peraturan pencabutan tanah sebagaimana diatur dalam Stb. 1920 nomor 574 dinyatakan tetap berlaku. Pada tahun 1960 dengan lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas mengenai pembebasan tanah. Sedangkan pencabutan tanah secara tegas diatur dalam UUPA. Dalam Pasal 18 UUPA disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Dari ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut maka dapat dikatakan bahwa pencabutan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan sepanjang tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum.
Kewenangan Negara dalam pengambil alihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di Indonesia di derivasikan dari Hak Menguasai Negara Hak menguasai negara memberikan kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi Negara Dan dalam perkecualian untuk kepentingan umum baru dapat mengambil alih hak atas tanah rakyat. Berbeda dengan Hak Menguasai Negara yang dalam UUPA menempatkan Negara sebagai personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukkan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat dan tanah, tetapi hanya bersifat hukum public. Menurut asas ini, Negara tidak dapat memiliki tanah sebagaimana perseorangan, meskipun Negara dapat menguasai tanah Negara Prinsip ini harus ditafsirkan sebagai peran Negara, yaitu sebagai wasit yang adil yang menentukan aturan main yang ditaati oleh semua pihak dan bahwa Negara juga tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri ketika turut berperan sebagai aktor Sebaliknya dengan konsep fungsi sosial hak atas tanah yang juga menjadi legitimasi Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum ini.
Sebagai peraturan lebih lanjut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Lembaran Negara (LN) Tahun 1961 Nomor 288, Tambagan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2324. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut maka ketentuan mengenai pencabutan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana diatur dalam Onteigening sordonnantie (Stb. 1920 Nomor 574) dinyatakan tidak berlaku.
B.    RUMUSAN MASALAH
1.     Apa yang dimaksud dengan pembebasan tanah dan pencabutan hak atas tanah?
2.     Bagaimana tata cara penetapan ganti rugi terhadap pembebasan tanah?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian Pembebasan Tanah
Pembebasan Tanah adalah onteigening yaitu pencabutan hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya oleh pemerintah untuk dijadikan sarana kepentingan umum; pelaksanaan pencabutan hak tersebut disertai pemberian ganti rugi kepada orang atau pihak yang mempunyai hak atas tanah dan benda tersebut sebelumnya, dengan cara yang diatur berdasarkan undang-undang.
B.    Pengadaan Tanah
Berdasarkan Perpres no. 65 tahun 2006 pasal 1, Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
C.    Dasar Hukum
1.     Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
2.     Pasal 10 huruf b Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
3.     Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
4.     Pasal 33 jo. Pasal 32 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
5.     Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
6.     Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
7.     Peraturan Presiden No. 36 th. 2005 ttg Pengadaan Tanah bagi Pelaksnaan Pembangunan utk Kepentingan Umum, sebagaimana telah diubah dengan Perpres No 65 Th 2006
8.     Peraturan Kepala BPN No 3 Th 2007
9.     Pasal 63 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
10.  Pasal 37 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
11.  Pasal 38 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
12.  Peraturan Pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian oleh pengadilan tinggi
13.  Intruksi Presiden nomor 9 tahun  1973 pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya

BAB III
ANALISA MASALAH
A.    PENCABUTAN HAK ATAS TANAH
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri agraria, kehkaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”
Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961. Dan dasar pokok dari UU No 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan  hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut:
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:
1)     Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini.
2)     Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.
3)     Pencabuatan hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang layak. Pencabutan hak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan persyaratan tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar  hukum atau menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah.
B.    PEMBEBASAN TANAH
Dalam prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20 tahun 1961 jarang dipergunakan, artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka pembangunan dan kepentingan umum prosedur yang di tempuh lebih banyak prosedur pembebasan tanah (PMDN No. 15 tahun 1975). Hal itu disebabkan proses pencabutan (UU No. 20 tahun 1961) akan memakan waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat memaksa bagi pemilik tanah; sedangakan prosedur pembebasan (PMDN No. 15 tahun 1975) adalah lebih cepat dan dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya keresahan masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada musyawarah sehingga ada kata sepakat. Sekalipun demikian PMDN No. 15 tahun 1975 itu memberikan jalan keluar memberikanmu jalan keluar bilamana kita sepakat (yang di haruskan itu) tidak bisa di capai dengan dalam musyawarah. Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa PMDN No. 15 tahun 1975 merupakan sekedar penyederhanaan pencabutan hak dengan paksa masalah lain yang bukan sekedar menyangkut besarnya ganti rugi dalam musyawarah ialah menyangkut masalah pemukiman dan sumber penghidupann khususnya bagi pemilik tanah yang hidup dari bertani.
Selain itu keluarnya PMDN No. 15 tahun1975 itu pernah menimbulkan kontoversi di kalangan sarjana hukum. Ada yang mempersoalkan bahwa ditinjau dari segi materinya PMDN itu di uji kepada doktrin bahwa ada pembatasan wewenang bagi badan negara untuk membuat undang-undang dalam arti materiil dengan anggapan bahwa pembebasan tanah sama dengan pencabutan hak berarti bahwa PMDN itu mengantar materi undang-undang. Kebatalan itu di sebabkan Menteri dalam negeri tidak memeiliki wewenang membuat peraturan yang mengikat umum tanpa adanya pendelegasian wewenang, mengenai pencabutan hak undang-undang No. 20 tahun 1961 telah menunjuk presiden sebagai instasi yang berwenang memutuskanya (buakan wewenag menteri), serta PMDN tersebut mengatur soal yang telah diatur dengan undang-undang yaitu UU No. 20 tahun 1961, sedangkan isi PMDN tersebut tidak sejalan dengan undang-undang itu.
C.    TATA CARA PENETAPAN GANTI RUGI
Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tidak diterimah oleh pemegang hak atas tanah akibat pencabutan sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No 20 tahun 1961, pengadilan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini diatur dalam peraturan pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian oleh pengadilan tinggi sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Dalam pasal 1 PP Nomor 39  tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding tersebut pada pasal 1 peraturan pemerintah ini diajukan kepada pengadilan tinggi yang daerah kekuasanya meliputi tanah dan benda-benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (bulan) terhitung sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud dalam pasal 5 dan 6 UU Nomor 20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang bersangkutan”
Dalam kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di atas, maka pemohon banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara lisan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada panitera pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1 peraturan pemerintah yang diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan permintaan banding diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya perkara yang di tetapkan oleh ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding tidak mampu, maka atas pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara tersebaut pada pasal( 2) ayat ini. Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut, maka pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu satu (1) bulan setelah diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di periksa oleh pengadilan tinggi yang berwsangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam waktu yang sesingkat-singakatnya.
Berkaitan dengan perkara tersebut, untuk memperlancar jalannya pemeriksaan, maka pengadilan tinggi dapat memanggil para pihak untuak di dengar keterangannya masing masaing (pasal 5 ayat (1)). Selanjutnya permintaan keterangan dari para pihak dapat di limpahkan oleh pengadilan tinggi ke pengadilan negeri, di mana tanah dan benda-benda tersebut terletak (ayat (2)).
Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang hak atas tanah, tidak mau menerima besarnya ganti kerugian walaupun sudah mendapat keputusan dari presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan pencabutan ini dilakukan secara bijak dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya pencabutan, maka para pemegang hak atas tanah semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip kehati-hatian ini membuat Presiden mengeluarkan intruksi nomor 9 tahun  1973 pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya. Dalam intruksi tersebut di tujukan kepada kepada semua mentri dan gubernur di seluruh indonesia, bahwa:
“Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-perundangan yang berlaku.”
Suatu hal yang dapat di salut dari adanaya instruksi presiden ini menyangkut mengenai penghargaan terhadap pemegang hak atas tanah yang akan dicabut dengan alasan demi kepentingan umum, karena alasan sangat mendesak. Hal ini di atur dalam pasal 4 intruksi Presiden ini sebagai berikut:
Dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, naka penguasaan atas tanah dalam keadaan yang sangat mendesak sebagai di maksud dalam pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1961 (lembaran negara tahun 1961 nomor 288) hanya dapat dilakukan apabila kepentingan umum menghendaki keadaan sangat mendesak, di mana penundaan pelaksanaanya dapat menimbulkan bencana alam yang dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam keselamatan umum; (b) penyediaan tanah tersebut sangat di perlukan dalam suatu suatu kegiatan pembangunan yang oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya di anggap tidak dapat di tunda-tunda lagi.
Menelaah ketentuan dalam intruksi Presiden di atas, maka pencabutan hak atas tanah dengan alasan dalam keadaan yang sangat mendesak merupakan persyaratan yang sangat berat. Sebab dengan adanya persyaratan mengenai dapat dilakukan dengan alasan menimbulkan bencana alam akan mengancam keselamatan umum merupakan persyaratan kedua yang mensyaratkan agar pencabutan dapat dilakukan dengan dalih suatu pembangunan yang sangat sulit untuk di buktikan. Oleh kerena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan yang sangat sulit di buktikan. Oleh karena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan pencabutan hak atas tanah meruoakan instrumen hukum yang sangat melindungi kepentingan pemegang hak atas tanah.
Analisis Kasus
Kendala Sebagian Pembebasan Lahan Veteran
Pembebasan lahan Veteran tak kunjung usai. Pemerintah kota Banjarmasin mengatakan Pembebasan Lahan Veteran ini dilakukan untuk pelebaran jalan mengingat didaerah tersebut terlalu sempit sehingga selalu menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Dalam Proses pembebasan daerah veteran ini sebagian sudah dilakukan pembongkaran dan sebagian masih mengalami kendala disebabkan masalah harga pembebasan lahan yang diminta warga sangat tinggi dan tidak mau meninggalkan tempat tinggalnya karena mengaku sudah lama tinggal disana. Pemko Banjarmasin memanggil warga untuk hadir dalam pertemuan untuk membicarakan sisa lahan veteran yang harus diselesaikan. Namun sebagian warga hadir sebagian warga tidak hadir memenuhi undangan tersebut, karena itu warga yang tidak hadir akan dipanggil satu persatu hingga batas akhir bulan ini.

Menurut Analisis berdasarkan dasar hukum, teori yang diketahui kendala pembebasan lahan veteran ini dapat diselesaikan dengan cara melakukan pemanggilan tiga kali berturut-turut untuk melakukan musyawarah dan menetapkan harga bangunan yang sesuai dengan harga pasar, jika panggilan tidak dipenuhi juga, diperlukan ketegasan pemerintah yaitu tetap melakukan pembongkaran paksa berdasarkan 1UU nomor 20 tahun 1961 dimana Negara berhak mencabut dengan paksa hak atas milik tanah dan benda yang berada diatasnya. Bagi warga yang tidak mau menerima ganti rugi pemerintah memberikan uang ganti rugi ke pengadilan bagi warga terserah untuk mengambil atau tidak uang ganti ruginya. Ganti rugi tanah berbeda bagi orang yang memiliki sertefikat , akta dan tidak memiliki surat apapun, Untuk yang memiliki sertefikat ganti ruginya berdasarkan harga pasar tanah dan bangunan. Untuk yang hanya memiliki Akta itu berupa ongkos membangun dan yang tidak memiliki surat apapun kemungkinan hanya ganti rugi berupa ongkos pembongkaran.














BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pembebasan Tanah adalah onteigening yaitu pencabutan hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya oleh pemerintah untuk dijadikan sarana kepentingan umum; pelaksanaan pencabutan hak tersebut disertai pemberian ganti rugi kepada orang atau pihak yang mempunyai hak atas tanah dan benda tersebut sebelumnya, dengan cara yang diatur berdasarkan undang-undang.
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”
Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tidak diterimah oleh pemegang hak atas tanah akibat pencabutan sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No 20 tahun 1961, pengadilan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini diatur dalam peraturan pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian oleh pengadilan tinggi sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Dalam pasal 1 PP Nomor 39  tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding tersebut pada pasal 1 peraturan pemerintah ini diajukan kepada pengadilan tinggi yang daerah kekuasanya meliputi tanah dan benda-benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (bulan) terhitung sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud dalam pasal 5 dan 6 UU Nomor 20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang bersangkutan”
Dalam kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di atas, maka pemohon banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara lisan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada panitera pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1 peraturan pemerintah yang diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan permintaan banding diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya perkara yang di tetapkan oleh ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding tidak mampu, maka atas pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara tersebaut pada pasal( 2) ayat ini. Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut, maka pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu satu (1) bulan setelah diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di periksa oleh pengadilan tinggi yang bersangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam waktu yang sesingkat-singakatnya.

No comments:

Post a Comment