BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Setelah Indonesia merdeka tidak ada peraturan yang
mengatur baik pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah. Atas dasar Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945 maka peraturan yang ada dan berlaku pada saat itu
tetap dapat diberlakukan sepanjang belum dibuat yang baru dan tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945. Dengan adanya ketentuan tersebut
maka ketentuan pembebasan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang
diatur dalam Gouvernements Besluit 1927 sebagaimana telah di rubah dengan
Gouvernements Besluit 1932 dan peraturan pencabutan tanah sebagaimana diatur
dalam Stb. 1920 nomor 574 dinyatakan tetap berlaku. Pada tahun 1960 dengan
lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas mengenai pembebasan tanah. Sedangkan pencabutan
tanah secara tegas diatur dalam UUPA. Dalam Pasal 18 UUPA disebutkan bahwa
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-Undang. Dari ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut maka dapat dikatakan bahwa
pencabutan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan sepanjang tanah tersebut
diperuntukkan bagi kepentingan umum.
Kewenangan Negara dalam pengambil alihan hak atas
tanah untuk kepentingan umum di Indonesia di derivasikan dari Hak Menguasai
Negara Hak menguasai negara memberikan kewenangan pengaturan dan
penyelenggaraan bagi Negara Dan dalam perkecualian untuk kepentingan umum baru
dapat mengambil alih hak atas tanah rakyat. Berbeda dengan Hak Menguasai Negara
yang dalam UUPA menempatkan Negara sebagai personifikasi seluruh rakyat untuk
mengatur, menyelenggarakan peruntukkan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat
dan tanah, tetapi hanya bersifat hukum public. Menurut asas ini, Negara tidak
dapat memiliki tanah sebagaimana perseorangan, meskipun Negara dapat menguasai
tanah Negara Prinsip ini harus ditafsirkan sebagai peran Negara, yaitu sebagai wasit
yang adil yang menentukan aturan main yang ditaati oleh semua pihak dan bahwa
Negara juga tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri ketika turut berperan
sebagai aktor Sebaliknya dengan konsep fungsi sosial hak atas tanah yang juga
menjadi legitimasi Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk
kepentingan umum ini.
Sebagai peraturan lebih lanjut maka dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Lembaran Negara (LN) Tahun 1961 Nomor 288,
Tambagan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2324. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1961 tersebut maka ketentuan mengenai pencabutan tanah pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana diatur dalam Onteigening sordonnantie
(Stb. 1920 Nomor 574) dinyatakan tidak berlaku.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa yang
dimaksud dengan pembebasan tanah dan pencabutan hak atas tanah?
2. Bagaimana
tata cara penetapan ganti rugi terhadap pembebasan tanah?
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Pembebasan Tanah
Pembebasan Tanah adalah
onteigening yaitu pencabutan hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya oleh
pemerintah untuk dijadikan sarana kepentingan umum; pelaksanaan pencabutan hak
tersebut disertai pemberian ganti rugi kepada orang atau pihak yang mempunyai
hak atas tanah dan benda tersebut sebelumnya, dengan cara yang diatur
berdasarkan undang-undang.
B.
Pengadaan
Tanah
Berdasarkan Perpres no.
65 tahun 2006 pasal 1, Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
C.
Dasar
Hukum
1. Pasal
18 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
2. Pasal
10 huruf b Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
3. Pasal
9 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
4. Pasal
33 jo. Pasal 32 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
5. Pasal
31 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
6. Pasal
34 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
7. Peraturan
Presiden No. 36 th. 2005 ttg Pengadaan Tanah bagi Pelaksnaan Pembangunan utk
Kepentingan Umum, sebagaimana telah diubah dengan Perpres No 65 Th 2006
8. Peraturan
Kepala BPN No 3 Th 2007
9. Pasal
63 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
10. Pasal
37 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
11. Pasal
38 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
12. Peraturan
Pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian
oleh pengadilan tinggi
13. Intruksi
Presiden nomor 9 tahun 1973 pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan
benda-benda diatasnya
BAB
III
ANALISA MASALAH
A.
PENCABUTAN
HAK ATAS TANAH
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana
yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga
negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama
rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam
pasal 1UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri
agraria, kehkaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”
Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU
nomor 20 tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan
terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti
dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan seperti
yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961. Dan dasar pokok
dari UU No 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan
pasal 18 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum
negara dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA
tersebut selengkapnya sebagai berikut:
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang
Ontiegening tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:
1) Pencabutan
hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum benar-benar menghendaki.
Unsur kepentingan umum ini harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini.
2) Sesuai
dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas tanahnya dapat
dilakukan atas izin presiden.
3) Pencabuatan
hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang layak. Pencabutan hak
yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan persyaratan tersebut adalah
merupakan perbuatan melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang oleh
pemerintah.
B.
PEMBEBASAN
TANAH
Dalam prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20
tahun 1961 jarang dipergunakan, artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka
pembangunan dan kepentingan umum prosedur yang di tempuh lebih banyak prosedur
pembebasan tanah (PMDN No. 15 tahun 1975). Hal itu disebabkan proses pencabutan
(UU No. 20 tahun 1961) akan memakan waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat
memaksa bagi pemilik tanah; sedangakan prosedur pembebasan (PMDN No. 15 tahun
1975) adalah lebih cepat dan dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya keresahan
masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada musyawarah
sehingga ada kata sepakat. Sekalipun demikian PMDN No. 15 tahun 1975 itu
memberikan jalan keluar memberikanmu jalan keluar bilamana kita sepakat (yang di
haruskan itu) tidak bisa di capai dengan dalam musyawarah. Kenyataan ini
menimbulkan kesan bahwa PMDN No. 15 tahun 1975 merupakan sekedar penyederhanaan
pencabutan hak dengan paksa masalah lain yang bukan sekedar menyangkut besarnya
ganti rugi dalam musyawarah ialah menyangkut masalah pemukiman dan sumber
penghidupann khususnya bagi pemilik tanah yang hidup dari bertani.
Selain itu keluarnya PMDN No. 15 tahun1975 itu
pernah menimbulkan kontoversi di kalangan sarjana hukum. Ada yang mempersoalkan
bahwa ditinjau dari segi materinya PMDN itu di uji kepada doktrin bahwa ada
pembatasan wewenang bagi badan negara untuk membuat undang-undang dalam arti
materiil dengan anggapan bahwa pembebasan tanah sama dengan pencabutan hak
berarti bahwa PMDN itu mengantar materi undang-undang. Kebatalan itu di
sebabkan Menteri dalam negeri tidak memeiliki wewenang membuat peraturan yang
mengikat umum tanpa adanya pendelegasian wewenang, mengenai pencabutan hak
undang-undang No. 20 tahun 1961 telah menunjuk presiden sebagai instasi yang
berwenang memutuskanya (buakan wewenag menteri), serta PMDN tersebut mengatur
soal yang telah diatur dengan undang-undang yaitu UU No. 20 tahun 1961,
sedangkan isi PMDN tersebut tidak sejalan dengan undang-undang itu.
C.
TATA
CARA PENETAPAN GANTI RUGI
Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian
atas tanah tidak diterimah oleh pemegang hak atas tanah akibat pencabutan
sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No 20 tahun 1961, pengadilan berkewajiban
untuk melakukan pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini diatur dalam peraturan
pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian
oleh pengadilan tinggi sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda
yang ada di atasnya. Dalam pasal 1 PP Nomor 39 tahun 1973 dinyatakan sebagai
berikut:
“permintaan banding tersebut pada pasal 1 peraturan
pemerintah ini diajukan kepada pengadilan tinggi yang daerah kekuasanya
meliputi tanah dan benda-benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya dalam
waktu 1 (bulan) terhitung sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud dalam
pasal 5 dan 6 UU Nomor 20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang
bersangkutan”
Dalam kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di
atas, maka pemohon banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara
lisan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973
dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding disampaikan dengan surat atau
dengan lisan kepada panitera pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1 peraturan
pemerintah yang diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan
permintaan banding diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya perkara yang
di tetapkan oleh ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding tidak mampu,
maka atas pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat dibebaskan dari
pembayaran biaya perkara tersebaut pada pasal( 2) ayat ini.
Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding
tersebut, maka pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan.
Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu satu (1) bulan
setelah diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di periksa oleh
pengadilan tinggi yang berwsangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam
waktu yang sesingkat-singakatnya.
Berkaitan dengan perkara tersebut, untuk
memperlancar jalannya pemeriksaan, maka pengadilan tinggi dapat memanggil para
pihak untuak di dengar keterangannya masing masaing (pasal 5 ayat (1)).
Selanjutnya permintaan keterangan dari para pihak dapat di limpahkan oleh
pengadilan tinggi ke pengadilan negeri, di mana tanah dan benda-benda tersebut
terletak (ayat (2)).
Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada
para pemegang hak atas tanah, tidak mau menerima besarnya ganti kerugian
walaupun sudah mendapat keputusan dari presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan
pencabutan ini dilakukan secara bijak dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya
pencabutan, maka para pemegang hak atas tanah semula telah melepaskan haknya
tersebut. Prinsip kehati-hatian ini membuat Presiden mengeluarkan intruksi
nomor 9 tahun 1973 pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan
benda-benda diatasnya. Dalam intruksi tersebut di tujukan kepada kepada semua
mentri dan gubernur di seluruh indonesia, bahwa:
“Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang
ada diatasnya supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan
dilakukan dengan hati-hati serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara yang
adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
perundang-perundangan yang berlaku.”
Suatu hal yang dapat di salut dari adanaya instruksi
presiden ini menyangkut mengenai penghargaan terhadap pemegang hak atas tanah
yang akan dicabut dengan alasan demi kepentingan umum, karena alasan sangat
mendesak. Hal ini di atur dalam pasal 4 intruksi Presiden ini sebagai berikut:
Dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan, naka penguasaan atas tanah dalam keadaan yang
sangat mendesak sebagai di maksud dalam pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1961
(lembaran negara tahun 1961 nomor 288) hanya dapat dilakukan apabila
kepentingan umum menghendaki keadaan sangat mendesak, di mana penundaan
pelaksanaanya dapat menimbulkan bencana alam yang dapat menimbulkan bencana
alam yang mengancam keselamatan umum; (b) penyediaan tanah tersebut sangat di
perlukan dalam suatu suatu kegiatan pembangunan yang oleh pemerintah dan atau
pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya di anggap tidak dapat di
tunda-tunda lagi.
Menelaah ketentuan dalam intruksi Presiden di atas,
maka pencabutan hak atas tanah dengan alasan dalam keadaan yang sangat mendesak
merupakan persyaratan yang sangat berat. Sebab dengan adanya persyaratan
mengenai dapat dilakukan dengan alasan menimbulkan bencana alam akan mengancam
keselamatan umum merupakan persyaratan kedua yang mensyaratkan agar pencabutan
dapat dilakukan dengan dalih suatu pembangunan yang sangat sulit untuk di
buktikan. Oleh kerena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan yang sangat sulit di
buktikan. Oleh karena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan pencabutan hak atas
tanah meruoakan instrumen hukum yang sangat melindungi kepentingan pemegang hak
atas tanah.
Analisis Kasus
Kendala Sebagian Pembebasan Lahan Veteran
Pembebasan lahan Veteran tak kunjung
usai. Pemerintah kota Banjarmasin mengatakan Pembebasan Lahan Veteran ini
dilakukan untuk pelebaran jalan mengingat didaerah tersebut terlalu sempit
sehingga selalu menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Dalam Proses pembebasan
daerah veteran ini sebagian sudah dilakukan pembongkaran dan sebagian masih
mengalami kendala disebabkan masalah harga pembebasan lahan yang diminta warga
sangat tinggi dan tidak mau meninggalkan tempat tinggalnya karena mengaku sudah
lama tinggal disana. Pemko Banjarmasin memanggil warga untuk hadir dalam
pertemuan untuk membicarakan sisa lahan veteran yang harus diselesaikan. Namun
sebagian warga hadir sebagian warga tidak hadir memenuhi undangan tersebut,
karena itu warga yang tidak hadir akan dipanggil satu persatu hingga batas
akhir bulan ini.
Menurut Analisis berdasarkan
dasar hukum, teori yang diketahui kendala pembebasan lahan veteran ini dapat
diselesaikan dengan cara melakukan pemanggilan tiga kali berturut-turut untuk
melakukan musyawarah dan menetapkan harga bangunan yang sesuai dengan harga
pasar, jika panggilan tidak dipenuhi juga, diperlukan ketegasan pemerintah
yaitu tetap melakukan pembongkaran paksa berdasarkan 1UU nomor 20 tahun 1961
dimana Negara berhak mencabut dengan paksa hak atas milik tanah dan benda yang
berada diatasnya. Bagi warga yang tidak mau menerima ganti rugi pemerintah
memberikan uang ganti rugi ke pengadilan bagi warga terserah untuk mengambil
atau tidak uang ganti ruginya. Ganti rugi tanah berbeda bagi orang yang
memiliki sertefikat , akta dan tidak memiliki surat apapun, Untuk yang memiliki
sertefikat ganti ruginya berdasarkan harga pasar tanah dan bangunan. Untuk yang
hanya memiliki Akta itu berupa ongkos membangun dan yang tidak memiliki surat
apapun kemungkinan hanya ganti rugi berupa ongkos pembongkaran.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pembebasan Tanah
adalah onteigening yaitu pencabutan hak atas tanah dan benda yang ada di
atasnya oleh pemerintah untuk dijadikan sarana kepentingan umum; pelaksanaan
pencabutan hak tersebut disertai pemberian ganti rugi kepada orang atau pihak
yang mempunyai hak atas tanah dan benda tersebut sebelumnya, dengan cara yang
diatur berdasarkan undang-undang.
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana
yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga
negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama
rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam
pasal 1UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri
agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”
Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian
atas tanah tidak diterimah oleh pemegang hak atas tanah akibat pencabutan
sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No 20 tahun 1961, pengadilan berkewajiban
untuk melakukan pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini diatur dalam peraturan
pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian
oleh pengadilan tinggi sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda
yang ada di atasnya. Dalam pasal 1 PP Nomor 39 tahun 1973 dinyatakan
sebagai berikut:
“permintaan banding tersebut pada pasal 1 peraturan
pemerintah ini diajukan kepada pengadilan tinggi yang daerah kekuasanya
meliputi tanah dan benda-benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya dalam
waktu 1 (bulan) terhitung sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud dalam
pasal 5 dan 6 UU Nomor 20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang
bersangkutan”
Dalam kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di
atas, maka pemohon banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara
lisan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973
dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding disampaikan dengan surat atau
dengan lisan kepada panitera pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1 peraturan
pemerintah yang diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan
permintaan banding diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya perkara yang
di tetapkan oleh ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding tidak mampu,
maka atas pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat dibebaskan dari
pembayaran biaya perkara tersebaut pada pasal( 2) ayat ini. Untuk
kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut, maka
pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4
dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu satu (1) bulan setelah
diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di periksa oleh pengadilan
tinggi yang bersangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam waktu yang
sesingkat-singakatnya.
No comments:
Post a Comment