MAKALAH
Sistem Pemerintahan Desa
Dosen Pengajar : Dra.
Sandra Bhakti Mafriana, M.Si.
Disusun Oleh
Nama :
Muhammad Ridhoni
NIM :
D1B112026
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
BANJARMASIN
2015
BAB I
LATAR BELAKANG
Setiap negara pasti
terdapat korupsi. Korupsi paling banyak dijumpai di
tingkat lokal. Menurut sebuah
penelitian di Jepang, jumlah pegawai pemerintah
provinsi bahkan desa ternyata tiga kali lipat jumlah pegawai pusat.
Tetapi kasus korupsi yang dilaporkan lima belas kali lipat
dan jumlah pejabat yang ditangkap empat kali lipat. Selain
itu, Pemerintah Kota New
York menderita kerugian ratusan juta dolar akibat korupsi
dalam pembangunan gedung-gedung sekolah.
Begitu pula yang
ada di Indonesia, korupsi berkembang mulai pemerintah
pusat sampai derajat pemerintah lokal. Layaknya gurita, korupsi
semakin kuat melilit dan mencengkeram sendi-sendi negeri ini. Segala
upaya yang telah dilakukan untuk menahan dan memberantas pergerakan
korupsi belum menunjukkan tanda-tanda kemenangan.
Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam perspektif kesisteman,
desa memiliki 11 unsur yaitu desa, pemerintahan desa, musyawarah desa,
peraturan desa, pembangunan (pemberdayaan) masyarakat desa, kawasan (sumber
daya) desa, keuangan desa, aset desa, interaksi desa, pemerintah daerah dan
pemerintah pusat.
BAB II
Penulis tertarik untuk
menulis tentang keuangan desa yang ada di Desa Alang-Alang, Kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten. Pengertian keuangan desa menurut
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 1 (10) yaitu “Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai
dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.”
Unsur keuangan desa di Desa
Alang-Alang ini memiliki permasalahan yakni permasalahan korupsi di desa
seperti yang termuat dalam Fesbuk Banten News
sebagai berikut.
Terbukti
melakukan korupsi dana bantuan desa (fresh money) Desa Alang-alang,
Kecamatan Tirtayasa dari Pemprov Banten tahun 2009 sebesar Rp 50 juta. Kepala
Desa (Kades) Alang-alang, Kecamatan Tirtayasa, Sanusi oleh majelis hakim
pengadilan tipikor Pengadilan Negeri (PN) Serang,Kamis (10/11),divonis 1 tahun
potongan masa tahanan dengan jenis tahanan kota . Dalam diang yang diketuai
hakim Sumartono,dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Jonathan,selain
pidana hukuman, terdakwa yang ditahan dengan jenis tahanan kota sejak 25 April
2011 ini juga didenda sebesar Rp 50 juta dan jika tidak bisa membayar denda
dihukum kurungan selama 1 bulan. Akan tetapi, terdakwa tidak dibebani
biaya ganti rugi oleh majelis hakim dalam perkara itu. Dalam tuntutan
JPU, terdakwa dituntut 1 tahun, denda Rp 50 juta subsider 3 bulan dan harus
ditahan. Dalam amar putusannya,majelis hakim menyatakan, terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan subsider sebagaimana
tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pasal 3 jo pasal 18 UU 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hakim juga
menjelaskan, karena perkara ini disusun berdasarkan dakwaan subsideritas. Maka,
lanjutnya, jika salah satu unsur dalam dakwaan itu terbukti maka tidak perlu
lagi membuktikan dakwaan lainnya, begitu juga selanjutnya,serta semua
unsur-unsur dalam dakwaan subsider terpenuhi. Terdakwa, kata hakim, sebagai
kades Alang-alang berdasarkan SK bupati Serang diangkat sebagai ketua tim
pelaksana teknis kegiatan tida bisa mempertanggungjawabkan bantuan alokasi desa
tahun 2009 sebesar Rp 50 juta bantuan dari provinsi karena tidak sesuai dengan
proposal pengajuan. "Terdakwa tidak menyalurkan ke lembaga karang taruna
dan LPM langsung setelah dana cair, tapi disalurkan tahun 2010 setelah adanya
laporan ke polisi sehingga dapat digunakan sendiri. Dengan demikian dalam
selang waktu tersebut dapat dimanfaatkan terdakwa," kata Sumartono.
Dikatakan, dana bantuan untuk karang taruna sebesar Rp 2,5 juta, baru diserahkan
Rp 500 ribu pada 2009. Dana sebesar Rp 2 juta sisanya baru diberikan setelah
diperiksa polisi. "Sisa bantuan ke LPM juga baru diserahkan Januari
2011," katanya. Selain itu, kata Sumartono, dalam semenisasi jalan
lingkungan terdakwa juga memborongkan kepada seseorang, sehingga pengerjaannya
tidak profesional karena hanya memperkirakan jarak tiang listrik sebagai
acuannya. "Padahal setelah dihitung jaraknya hanya 210 meter, seharusnya
270 meter. Jadi ada kekurangan 60 meter. Kemudian terdakwa setelah diperiksa
polisi ditambah sehingga panjang semenisasi itu bertambah 80 meter sehingga
menjadi 290 meter," jelasnya seraya mengungkapkan bahwa bukti kuitansi
pembelian material dalam proyek itu juga palsu.
Teorisasi tentang Korupsi
Pada dasarnya tidak
ada definisi tunggal tentang korupsi. Korupsibisa berarti menggunakan jabatan
untuk keuntungan pribadi. Jabatan
adalah kedudukan kepercayaan. Korupsi bisa berarti
memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan
wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi
bisa mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi di dalam
tubuh organisasi, misalnya, penggelapan uang atau di luar organisasi,
misalnya, pemerasan.
Korupsi
kadang-kadang membawa dampak positif di bidang sosial, tetapi korupsi
menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan, dan ketimpangan. Korupsi
ada yang dilakukan secara freelance artinya pejabat secara sendiri-sendiri
atau dalam kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya
untuk meminta suap. Namun korupsi bisa mewabah dan tersusun
secara sistematis. Menurut Luis Moreno Ocampo bahwa korupsi yang
tidak menghiraukan aturan main sama sekali ini disebut hypercorruption. Sedangkan Herbert Werlin menyebutnya sebagai secondary corruption, yang dibandingkannya dengan kecanduan minuman keras.
Korupsi yang sudah
memasuki stadium hypercorruption membawa implikasi
berbahaya. Korupsi inilah yang biasanya ditemui dalam lingkup pemerintahan
daerah (desa) di berbagai negara.
Korupsi sistematis menimbulkan
kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif; kerugian politik
karena meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan; kerugian sosial
karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.
Apabila korupsi telah berkembang secara mengakar sedemikian rupa
sehingga hak milik tidak lagi dihormati, aturan hukum dianggap remeh,
dan insentif untuk investasi kacau, maka akibatnya pembangunan ekonomi
dan politikan mengalami kemandegan.
Adapun modus-modus terjadinya korupsi di tingkat desa
antara
lain:
1.
Pengurangan
alokasi Alokasi Dana Desa (ADD), misalnya, dana ADD dijadikan
“kue” pegawai desa untuk kepentingan pribadi.
2.
Pemotongan
alokasi Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya, pemotongan
tersebut karena azas pemerataan, keadilan untuk didistribusikan
keluarga miskin yang tidak terdaftar. Namun yang jamak terjadi
bahwa pemotongan BLT lebih banyak disalahgunakan pengurusnya
di tingkat desa.
3.
Pengurangan
jatah beras untuk rakyat miskin (raskin), misalnya, pemotongan
1-2 kg per Kepala Keluarga (KK). Apabila dikalkulasikan maka
akan menghasilkan jumlah yang besar yang kemudian hasilnya dimanfaatkan
untuk memperkaya diri sendiri.
4.
Penjualan
Tanah Kas Desa (Bengkok)16.
5.
Penyewaan
Tanah Kas Desa (TKD) yang bukan haknya, misalnya, TKD untuk
perumahan.
6.
Pungutan
liar suatu program padahal program tersebut seharusnya gratis,
misalnya, sertifikasi (pemutihan) tanah, Kartu Keluarga (KK), Kartu
Tanda Penduduk (KTP).
7.
Memalsukan
proposal bantuan sosial, misalnya, menyelewengkan bantuan
sapi.
Daya Rusak Korupsi
Kerusakan mental
dimulai dari mengambil atau mencuri sesuatu (uang)
yang bukan miliknya
Bagi
negara berkembang, korupsi menjadi penghambat
yang serius. Pelbagai sektor pembangunan akan terganggu bahkan
lumpuh. Menurut Gunnar Myrdal menjelaskan bahwa daya rusak korupsi
sebagai berikut:
1. Korupsi menciptakan dan memperbesar masalah-masalah
yang disebabkan oleh berkurangnya hasrat untuk terjun ke
sektor usaha dan pasar nasional yang mengalami kelesuan.
2. Permasalahan masyarakat yang majemuk semakin dipertajam
oleh korupsi dan bersamaan dengan itu kesatuan negara juga
melemah. Martabat pemerintah menurun maka korupsi juga bertendensi
turut membahayakan stabilitas politik.
3. Adanya kesenjangan di antara para pejabat untuk
menerima suap dan menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) yang
mereka miliki, maka disiplin sosial menjadi kendur sementara efisiensi akan
merosot. Implementasi rencana-rencana pembangunan yang telah
dirumuskan akan dipersulit dan diperlambat karena alasan-alasan yang
sama. Korupsi dalam hal ini sama sekali tidak berfungsi sebagai
semir atau pelicin bagi proses pembangunan. Justru sebaliknya,
korupsi dapat menjadi penghambat (bottleneck) bagi proses
pembangunan yang direncanakan.
KOMENTAR DAN ANALISIS
Dari
data di atas, bisa kita analisis bahwa keuangan di desa rawan dengan praktik
korupsi. Dan yang lebih parah, praktik ini dilakukan oleh aparatur desa.
Aparatur desa merupakan salah satu bagian terpenting dari desa yang seharusnya
memajukan masyarakatnya melalui pembangunan dan pemberdayaan, akan tetapi
karena keuangan desa maka memunculkan potensi bagi mereka untuk melakukan
korupsi di desa.
Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka potensi
korupsi menjadi semakin besar seiring dengan transfer anggaran kurang lebih 1 Milyar ke
desa. Diperkirakan tahun 2014 ini total transfer ke desa mencapai sekitar Rp 59
triliun.
Melihat
fakta ini, kita bisa membayangkan seberapa besar potensi korupsi yang akan
terjadi di desa. Berangkat dari hal ini, maka solusi yang bisa penulis berikan
adalah sebagai berikut.
·
Pemerintah harus
mempunyai konsep dan desain transfer dana ke desa.
·
Memperbanyak
sosialisasi kepada aparatur desa dan masyarakat tentang pengelolaan dana.
·
Meningkatkan pengawasan
untuk mencegah potensi korupsi di desa.
BAB III
PENUTUP
Unsur
keuangan desa di Desa Alang-Alang, Kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten menimbulkan potensi korupsi. Hal ini
terbukti dengan tertangkapnya Sanusi, Kepala Desa Alang-Alang,
Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten. Seiring
dengan berlakunya UU Nomor 6 Tahun 2014 dengan transfer dana 1 milyar ke
masing-masing desa menambah rumit permasalahan dan memperluas potensi korupsi
di desa. Solusi yang bisa dilakukan adalah pemerintah harus mempunyai konsep
dan desain transfer dana ke desa, memperbanyak
sosialisasi kepada aparatur desa dan masyarakat tentang pengelolaan dana. dan lebih
meningkatkan pengawasan untuk mencegah potensi korupsi di desa.
Daftar Pustaka
Sumber :
Widjaja, Otonomi Desa.Jakarta; PT Grafindo
Persada.2012.
Dwiyanto, Agus, Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.
Media
Online Fesbuk Banten News
izin copas min buat referensi..
ReplyDeletesukses selalu....