Pendahuluan
Sebelum kita menganalisis, dengan
pendekatan normatif, hubungan antara
partai politik dan kesejahteraan masyarakat, terlebih dulu kita mengemukakan
sedikit perdebatan ekonomi politik
tentang hubungan antara demokrasi dan kapitalisme. Mungkin diskusi tentang
ekonomi politik ini tidak begitu kena dengan tema di atas, tetapi saya yakin
bahwa diskusi ekonomi politik itu akan membantu pembukaan cakrawala diskusi
kita tentang hubungan antara partai politik (demokrasi) dan kesejahteraan
masyarakat (ekonomi). Apakah demokrasi dan kapitalisme harus sejalan, atau
keduanya saling mengandaikan, atau keduanya saling meniadakan?
Sedangkan pendekatan yang digunakan
dalam analisis berikut ini adalah pendekatan normatif,[1]
yang berbicara tentang apa yang seharusnya (das Sollen) dan bukan
pendekatan deskriptif, yang berbicara tentang apa yang ada (das Sein).
Tentu saja pendekatan normatif tetap bertolak dari fakta kehidupan politik yang empiris, namun kejadian-kejadian
politik itu hanyalah titik tolak untuk menemukan apa yang seharusnya dilakukan.
Itu berarti, kalau sekarang kita berbicara tentang fakta kehidupan politik dari
partai politik dan bagaimana perannya dalam penciptaan kesejahteraan masyarakat,
maka yang menjadi sasaran adalah bagaimana seharusnya partai politik itu
menjalankan tugas dan perannya sebagai organisasi politik untuk mewujudkan
suatu masyarakat yang sejahtera. Jadi, kita tidak sekedar menggambarkan
bagaimana peran dan tugas partai politik selama ini dalam menciptakan
kesejahteraan masyarakat, melainkan lebih pada usaha untuk menggambarkan
bagaimana seharusnya partai politik berperan.
Pendekatan normatif ini
mengandaikan prinsip dasar, bahwa
manusia apriori harus (Sollen) bersikap baik dan tidak buruk
terhadap siapa dan apa saja yang ada; jadi bahwa terhadap apa saja yang ada
kita apriori mengambil sikap yang mendukung, membela, menyetujui,
memajukan, melindungi dan tidak merusak, menyiksa, membatasi dan mematikan.
Prinsip ini terwujud dalam prinsip kesejahteraan umum – yang mempunyai
relevansi politik tinggi – yang berisi bahwa semua tindakan dan kebijakan,
harus demi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyak orang, asal
tidak melanggar hak dan keadilan. Prinsip dasar lain adalah prinsip keadilan
yang mengatakan bahwa kita wajib untuk memperlakukan semua orang dengan adil,
artinya untuk menghormati hak-hak mereka dan memberikan perlakuan yang sama
dalam situasi yang sama.
2. Sedikit tentang ekonomi politik
2. 1. Demokrasi dan kapitalisme, saudara kembar
Demokrasi
dan kapitalisme dapat dipandang sebagai
saudara kembar di erah globalisasi saat ini. Liberalisasi politik
dipandang sebagai padanan yang serasi dengan liberalisasi ekonomi. Inilah yang
selalu dipromosikan oleh Amerika Serikat. Mereka yakin bahwa kombinasi
pemerintahan demokratis, pasar bebas, sektor swasta yang dominan serta terbuka
bagi perdagangan, adalah resep bagi kemakmuran dan pertumbuhan. Francis
Fukuyama dalam The End of History,[2]
mengidentikkan keruntuhan tembok Berlin dengan berakhirnya suatu sistem
ekonomi-politik yang sempat menguasai dunia ialah komunisme. Sebagai
penggantinya adalah sistem persaingan, yaitu demokrasi liberal yang diiringi
dengan ekonomi liberal atau yang kita kenal dalam sebutan ekonomi pasar bebas.
Gabungan ekonomi pasar bebas dan demokrasi liberal, menurut Fukuyama,
menghasilkan kemajuan dan kemakmuran tidak saja di negara maju tetapi juga di
negara-negara berkembang.
Sedangkan
Milton Friedman dalam Capitalism and
Freedom,[3] menghubungkan
antara kebebasan politik (demokrasi) dan kebebasan ekonomi (kapitalisme). Ia
mengaitkan dua jenis kebebasan, di satu pihak, kebebasan bergerak, kebebasan
mengadakan tukar-menukar dan kebebasan atas hak miliki, dengan kebebasan
bergerak, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan untuk berserikat di
lain pihak. Kalau cara pandangan ini ditempatkan dalam kerangka perjuangan kaum
berjuis, maka penggabungan itu sangat masuk akal. Kaum berjuis dianggap
memperjuangkan kebebasan ekonomi dan kebebasan politik sekaligus ketika mereka
berhadapan dengan penguasa politik yang absolut, atau ketika mereka berhadapan
dengan kebijakan merkantilis di abad ke 18 dan ke 19. Pada waktu itu kaum
berjuis sangat menentukan politik: No bourgeosie, no democracy. Begitu kaum
berjuis berhasil melepaskan diri dari cengkeraman ekonomi negara, mereka juga
bisa meloloskan diri dari cengkeraman politik negara. Dengan kata lain,
kapitalisme mendorong demokrasi.[4]
Akan tetapi,
pandangan bahwa kapitalisme mendorong demokrasi sejak lama telah disanggah oleh
kaum kiri dan kaum kanan. Dari kaum kiri itulah yang
dikemukakan oleh Karl Marx dalam analisisnya tentang negara Bonapartis.
Sebenarnya kebebasan ekonomi dan kebebasan politik tidak selalu seiring. Ketika
kebebasan untuk berbicara dan berserikat dipakai oleh kaum tidak berpunya, maka
pasti mereka akan mengancam harta milik dan keuntungan kaum kapitalis. Dengan
cepat kaum kapitalis akan menelikung kebebasan politik kaum proletar demi
menegakkan ketertiban dan melindungi harta milik mereka. Bahkan, mereka tidak
ragu-ragu akan melindas parlemen jika langkah itu memang terpaksa harus
dilakukan. Sedangkan sanggahan dari kaum kanan datang Max Weber: „Sungguh
menggelikan mengaitkan kapitalisme modern yang telah maju dengan demokrasi atau
kebebasan. Semua bentuk pembangunan sudah dinafikan ketika di Barat kepentingan
ekonomi dari kelas yang berpunya dibuat untuk melayani kebebasan berjuis“.
Jadi,
demokrasi memang mendapat pupuk subur dari kapitalisme lewat prinsip self-regulating
yang dipegangnya, tetapi berbagai sisi kapitalisme yang diunggulkan ternyata
tidak niscaya mendukung demokrasi. Dari pengalaman di lapangan menunjukkan
bahwa kapitalisme dapat melumpuhkan demokrasi. Kapitalisme sendiri tampak tidak
peduli tentang sistem politik, entah otoriter, negara satu partai atau multi
partai (demokrasi). Kapitalisme dapat tumbuh subur di tanah apa pun.
2.2 Hubungan Antara Demokrasi dan Kapitalisme
Hubungan antara demokrasi dan kapitalisme adalah wilayah perdebatan
dalam teori dan gerakan politik yang populer. Perpanjangan hak pilih universal
dewasa laki-laki di Inggris abad ke-19 terjadi seiring dengan perkembangan
kapitalisme industri, dan demokrasi menjadi luas pada waktu yang sama dengan
kapitalisme, yang menyebabkan banyak teori untuk menempatkan hubungan kausal
antara mereka, atau bahwa setiap mempengaruhi yang lain. Namun, pada abad
ke-20, menurut beberapa penulis, kapitalisme juga disertai berbagai formasi
politik sangat berbeda dari demokrasi liberal, termasuk rezim fasis, monarki
absolut, dan negara-negara partai tunggal.
Sementara beberapa pemikir berpendapat bahwa perkembangan kapitalis lebih-atau-kurang pasti akhirnya mengarah pada munculnya demokrasi, yang lain membantah klaim ini. Penelitian pada teori perdamaian demokratis menunjukkan bahwa demokrasi kapitalis jarang berperang dengan satu sama lain dan memiliki kekerasan internal yang kecil. Namun, kritikus demokratis perdamaian teori catatan bahwa negara-negara kapitalis demokratis dapat melawan dan jarang atau tidak pernah dengan negara-negara kapitalis demokrasi lainnya karena kesamaan politik atau stabilitas bukan karena mereka demokratis atau kapitalis.
Beberapa komentator berpendapat bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi di bawah kapitalisme telah menyebabkan demokratisasi di masa lalu, tidak dapat melakukannya di masa depan, seperti rezim-rezim otoriter telah mampu mengelola pertumbuhan ekonomi tanpa membuat konsesi untuk kebebasan politik yang lebih besar. Negara yang memiliki sistem ekonomi yang sangat kapitalistik telah berkembang di bawah sistem politik otoriter atau menindas. Singapura, yang mempertahankan ekonomi pasar yang sangat terbuka dan menarik banyak investasi asing, tidak melindungi kebebasan sipil seperti kebebasan berbicara dan berekspresi. Swasta (kapitalis) sektor di Republik Rakyat China telah berkembang pesat dan berkembang sejak awal, walaupun memiliki pemerintah otoriter. Aturan Augusto Pinochet di Chili menyebabkan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan sarana otoriter untuk menciptakan lingkungan yang aman untuk investasi dan kapitalisme.
Menanggapi kritik dari sistem, beberapa pendukung kapitalisme berpendapat bahwa keuntungan didukung oleh penelitian empiris. Indeks Kebebasan Ekonomi menunjukkan korelasi antara negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih (seperti yang didefinisikan oleh indeks) dan skor yang lebih tinggi pada variabel seperti pendapatan dan harapan hidup, termasuk masyarakat miskin, di negara-Negara tersebut.
Sementara beberapa pemikir berpendapat bahwa perkembangan kapitalis lebih-atau-kurang pasti akhirnya mengarah pada munculnya demokrasi, yang lain membantah klaim ini. Penelitian pada teori perdamaian demokratis menunjukkan bahwa demokrasi kapitalis jarang berperang dengan satu sama lain dan memiliki kekerasan internal yang kecil. Namun, kritikus demokratis perdamaian teori catatan bahwa negara-negara kapitalis demokratis dapat melawan dan jarang atau tidak pernah dengan negara-negara kapitalis demokrasi lainnya karena kesamaan politik atau stabilitas bukan karena mereka demokratis atau kapitalis.
Beberapa komentator berpendapat bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi di bawah kapitalisme telah menyebabkan demokratisasi di masa lalu, tidak dapat melakukannya di masa depan, seperti rezim-rezim otoriter telah mampu mengelola pertumbuhan ekonomi tanpa membuat konsesi untuk kebebasan politik yang lebih besar. Negara yang memiliki sistem ekonomi yang sangat kapitalistik telah berkembang di bawah sistem politik otoriter atau menindas. Singapura, yang mempertahankan ekonomi pasar yang sangat terbuka dan menarik banyak investasi asing, tidak melindungi kebebasan sipil seperti kebebasan berbicara dan berekspresi. Swasta (kapitalis) sektor di Republik Rakyat China telah berkembang pesat dan berkembang sejak awal, walaupun memiliki pemerintah otoriter. Aturan Augusto Pinochet di Chili menyebabkan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan sarana otoriter untuk menciptakan lingkungan yang aman untuk investasi dan kapitalisme.
Menanggapi kritik dari sistem, beberapa pendukung kapitalisme berpendapat bahwa keuntungan didukung oleh penelitian empiris. Indeks Kebebasan Ekonomi menunjukkan korelasi antara negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih (seperti yang didefinisikan oleh indeks) dan skor yang lebih tinggi pada variabel seperti pendapatan dan harapan hidup, termasuk masyarakat miskin, di negara-Negara tersebut.
2.3 Kapitalisme Sebagai Paradigma Politik dan
Ekonomi
Kapitalisme
dalam pola pikir ekonomi dan politik sekarang tidak menjadi arus utama
(mainstream). Mengapa? Karena sekarang prioritas utama bagi negara-negara di
dunia adalah bagaimana mengalahkan negara lainnya di dalam persaingan
teritorial. Kepentingan yang utama adalah kepentingan negara, bukan kepentingan
individu (yang menjadi prioritas di dalam masyarakat kapitalistik). Kepentingan
negara di dalam masa yang penuh pertempuran dan peperangan ini adalah bagaimana
caranya mengungguli negara lain di dalam persenjataan dan militer. Konsekuensinya adalah negara harus mempunyai mesin-mesin perang yang lebih
unggul dibandingkan dengan yang lain. Dan untuk menyediakan mesin-mesin perang
ini, dibutuhkan emas dan perak sebanyak-banyaknya (yang menjadi alat tukar pada
masa itu). Bagaimana memperoleh emas dan perak sebanyak-banyaknya? Sama saja
dengan bagaimana sebuah negara modern saat ini ingin memperoleh devisa, yaitu
dengan menekan impor dan memperbesar ekspor. Apa konsekuensinya di dalam dunia
ekonomi? Negara harus kuat di atas masyarakat, demokrasi dianggap sebagai suatu
yang melemahkan kekuatan nasional dan kegiatan ekonomi harus dipimpin oleh
kekuatan kelembagaan negara yang kuat untuk mengalokasikan
sumberdaya-sumberdaya nasional guna kepentingan nasional (baca: memenangkan
perang).
2. 4. Dua tese besar tentang demokrasi dan ekonomi
Tese
pertama mengatakan bahwa ekonomi adalah basis bagi pembangunan demokrasi.
Seymour Martin Lipset mengatakan bahwa „semakin kaya suatu bangsa, semakin
besar peluang negara itu untuk berdemokrasi“.[5]
Menurut Lipset, sangat erat hubungan antara demokrasi dengan pembangunan
sosial-ekonomi atau tingkatan modernisasi yang dicapai, karena modernisasi dan
hasil pembangunan yang berujud pada kesejahteraan akan selalu disertai oleh
sejumlah faktor yang kondusif bagi demokrasi, yakni meningkatnya tingkat mutu pendidikan dan pembangunan mass media.
Lagi pula kesejahteraan juga akan menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk
meredakan ketegangan yang ditimbulkan oleh konflik politik.
Jalan
pemikiran Lipset dapat digambarkan demikian: Kehidupan ekonomi yang lebih baik
akan memberikan kesempatan untuk memperoleh tingkat pendidikan dan akses media
massa yang lebih tinggi. Jenjang yang lebih tinggi pada aspek-aspek tersebut
sudah tentu merupakan salah satu faktor kondusif bagi munculnya
tuntutan-tuntutan yang lebih besar akan demokrasi. Pendidikan dapat membuka
cakrawala pemikiran seseorang termasuk di dalamnya tentang politik, ideologi.
Tingkat pendidikan yang semakin tinggi membuat seseorang menjadi lebih
menyadari akan kedudukan dan martabatnya. Mereka itu tidak puas hidup di bawah rejim
otoriter yang represif. Mereka menuntut partisipasi yang lebih besar dan luas
dalam pembangunan.
Akan tetapi, temuan Lipset ini seolah menjadi tidak berarti
ketika banyak negara berkembang yang lepas dari penjajahan dan berdiri sebagai
negara baru, serta umumnya mengukuti jejak modernisasi, pada akhirnya tidak
seperti dikemukakan itu. Boleh saja modernisai melahirkan kesejahteraan yang
mendorong ke arah demokratisasi dan itu terjadi di Eropa Barat, Amerika Utara
dan Australia, tetapi tidak demikian halnya dengan Korea Selatan, Taiwan, serta
negara-negara Amerika Latin yang ternyata tidak melahirkan demokrasi tetapi
melahirkan otoriterisme. Padahal negara-negara itu pembangunan ekonominya
tergolong cepat disertai dengan distribusi pendapatan yang cukup merata.
Tese kedua mengatakan bahwa demokrasi adalah basis bagi
pembangunan ekonomi. Barrington Moore
berpendapat bahwa bukan kemajuan ekonomi yang mendasari pertumbuhan demokrasi
melainkan suasana yang demokratis yang memungkinkan kemajuan ekonomi.[6]
Dengan adanya demokrasi maka itu berarti sudah terbuka ruang kebebasan di dalam
masyarakat. Dengan itu para penguasa yang
didukung oleh para pemodal atau tuan tanah tidak lagi dapat bertindak
tanpa memperhatikan apa maunya masyarakat melainkan ia harus sungguh-sungguh
mendengarkan mereka.
Hanya, kalau kita bertolak dari pengalaman beberapa negara
berkembang maka analisis Moore tidak kena. Beberapa negara berkembang berhasil
membangun ekonomi menjadi maju, bahkan kelas-kelas sosial relatif tumbuh
menjadi maju, dan masyarakat sipilnya relatif terbangun, namun demokrasi masih
saja kehabisan tenaga untuk berkembang. Bagi para pendukung pendekatan otoriter
yakin bahwa demokrasi justru menghambat pembangunan ekonomi. Lowenthal,
misalnya, berpendapat bahwa dalam sistem demokratis yang memberikan ruang bagi
masyarakat untuk menuntut kebebasan dan hak-haknya secara tidak terbatas
terkadang dapat menghambat hal-hal penting yang perlu dilakukan bagi
pembangunan ekonomi. Korea Selatan dianggap sebagai contoh sukses negara
otoriter yang mampu membangun negerinya dengan kemajuan ekonomi yang cemerlang.
‘Introduction,’ Girling menjelaskan posisi teoritisnya mengenai
hubungan antara korupsi, kapitalisme, dan demokrasi. Dengan merujuk pada tesis
Lord Acton, Girling menyatakan bahwa demokrasi sebenarnya dapat mengurangi
kecenderungan terjadinya korupsi. Dalam kaitan dengan itu, korupsi terjadi
karena juga didukung oleh prosedur-prosedur legal. Overlap yang terjadi
antara kapitalisme dan demokrasi menyebabkan definisi mengenai apa yang publik
dan privat menjadi kabur. Girling menekankan tesisnya bahwa korupsi dihasilkan
oleh benturan antara demokrasi dan kapitalisme. ‘Power corruption’ atau
‘korupsi kekuasaan,’ misalnya, terjadi akibat disalahgunakannya kepentingan
publik untuk keuntungan yang bersifat privat.
Hal tersebut hanya dimungkinkan manakala sistem ekonomi dan politik
yang berlaku berjalin erat, tetapi juga saling berbenturan. Dalam hal ini, kapitalisme
dan demokrasi memang memiliki raison de’etre yang berbeda satu sama
lain. Raison d’être negara demokrasi adalah untuk melayani kepentingan
publik, sementara basis dari kapitalisme adalah pengejaran keuntungan pribadi.
Namun, keduanya harus bersekongkol untuk membuat sistem ini bekerja. Penetrasi
kapitalisme, nilai-nilai pasar ke dalam sistem politik demokrasi menjadi
kondisi yang kondusif bagi terjadinya korupsi. Kondisi tersebut membuat praktik
politik uang, pembiayaan partai atau calon peserta Pemilu oleh perusahaan, dan
tentu saja korupsi, menjadi tak bisa dihindari.
Contoh Kasus
KORUPSI
Girling
mencontohkan, dalam pemilu misalnya, seseorang yang mengikuti pemilu dapat
mengakumulasikan modal yang ia keluarkan ketika mengikuti pemilu, saat ia menduduki
jabatan politik. Itulah yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia dan
Filipina. Mahalnya biaya kontestasi elektoral sebagai salah satu penyebab
potensial dari korupsi, juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Dalam buku ini,
Girling menjelaskan, misalnya, pada tahun 1998, masing-masing calon Presiden AS
menghabiskan sekitar 70 juta dollar AS dalam pemilu. Sementara, calon senator
yang memenangkan pemilu rata-rata menghabiskan lebih dari 3 juta dollar AS.
Untuk menganalisis
mengapa korupsi terjadi di banyak negara dalam skala besar, Girling menggunakan
analisis sosial, yang mana analisis tersebut menunjukkan bahwa demokrasi
kapitalis merupakan kondisi yang kondusif bagi terciptanya korupsi secara
sistemik. Di sini, Girling kembali menekankan pentingnya penyelesaian
permasalahan korupsi secara sistemik, dan bukan institusional sebagaimana
yang banyak diterapkan di berbagai negara dengan demokrasi prosedural, termasuk
Indonesia. Argumentasinya, korupsi inheren dalam kekuasaan yang unchecked,
sementara idea mengenai kekuasaan dalam demokrasi ditumpukan pada
mekanisme check and balances. Namun, di banyak negara, mekanisme check
and balances tersebut diterapkan secara prosedural, sebatas pembagian di
tingkat institusi, baik legislatif maupun yudikatif. Demokrasi prosedural
dengan demikian telah membuat demokrasi menjadi rombeng, karena mengabaikan
pencipataan ruang politik yang sebesar mungkin bagi masyarakat dalam mekanisme check
and balances, sebagaimana idea demokrasi mengenai kekuasaan.
Kekuasaan rakyat, dalam makna rakyat secara independen membuat keputusan
mengenai apa yang merupakan kebutuhannya, dalam demokrasi prosedural diwakilkan
dan pada akhirnya dibajak oleh elite. Kesenjangan kekuasaan antara rakyat dan
elite inilah yang memberi peluang pada elite untuk melakukan korupsi.
Proyek
neo-institusionalisme yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kapitalisme
neoliberal memang menghendaki mekanisme institusional dalam menjawab berbagai
permasalahan yang diciptakan oleh sistem ekonomi politik kapitalisme. Alih-alih
menjawabnya secara substansial, jawaban prosedural dalam bentuk penataan
institusi memang lebih dapat diakomodir oleh demokrasi ala kapitalisme.
Terkait dengan hal itu, dalam tesisnya, Girling menekankan pentingnya formasi
politik kelas dalam demokrasi, untuk menjamin keberlangungan check and balances
secara substansial dalam demokrasi.
Girling memberikan
ilustrasi terhadap berbagai tesisnya tersebut dalam bab 2 yang berjudul
‘Functional corruption: a developmental role’ dengan menggunakan Filipina,
Thailand, dan Indonesia sebagai studi kasusnya. Di Filipina, kediktatoran
Ferdinand Marcos yang tumbang pada tahun 1986 dan digantikan oleh demokrasi
prosedural di bawah pemerintahan presiden Corazon Aquino, nyatanya tidak
memberikan perubahan yang berarti. 85 persen anggota parlemen (House of
Representative) Filipina pada saat itu merupakan mereka yang dulunya
memiliki kedekatan dengan Marcos. Politik di Filipina dikuasai oleh para
pemilik tanah, baik di tingkat lokal maupun provinsi. Pada pemilu tahun 1969,
kandidat yang berasal dari kalangan kaya (dimana jumlahnya hanya 0,5 persen
dari populasi) memenangkan pemilu dan dapat terus mengakumulasikan kekayaannya
setelah menduduki jabatan publik. Demokrasi di Filipina, sejatinya dikuasai
elit tuan tanah tradisional, dan pendukung Aquino (Ramos) disokong oleh kelas
pebisnis. Kekuasaan di Filipina pun hanya berganti baju. Korupsi terus
berlangsung dan demokrasi masih dikuasai para pemilik modal. Hal yang tidak
jauh berbeda juga terjadi di Thailand, dimana kelompok pebisnis menguasai
parlemen (1986). Pada tahun 1960, terjadi boom ekonomi, dimana terjadi
perluasan universitas dan populasi mahasiswa sehingga mengakibatkan terjadinya
‘blatant corruption’. Girling kembali menegaskan kritiknya terhadap
penyelesaian korupsi secara institusional yang diterapkan di ketiga negara
tersebut. Korupsi terjadi akibat kolaborasi bisnis serta politik dan
penyelesaian korupsi secara institusional tidak akan menyelesaikan permasalahan
korupsi secara mendasar.
Korupsi dan
demokrasi kapitalis di Indonesia
Di Indonesia,
kemunculan korupsi pada masa Orde Baru terjadi karena politik dikuasai oleh
militer dan disokong kalangan pebisnis, khususnya pebisnis keturunan Tionghoa
atau biasa disebut dengan cukong. Kapitalisme chronism yang
menjadi pola pada masa Orde Baru juga memungkinkan terjadinya kolusi diantara
kelompok pebisnis dan politisi dengan lebih kuat. Sayangnya, Soeharto berhasil
mendapatkan apa yang disebut Girling dengan ‘legitimate performance’
dimana Soeharto ‘berhasil memberikan’ standar hidup yang layak untuk
masyarakat. Ini merupakan penipuan yang dilakukan Soeharto dimana ‘standar
hidup yang layak’ tersebut harus mengorbankan kebebasan berpikir, berkumpul,
dan berpendapat, serta berpolitik masyarakat. Tapi, Girling tidak membahas
pasca Soeharto, mengingat buku ini ditulis memang pada tahun 1997.
Pasca keruntuhan
Orde Baru Soeharto oleh gerakan rakyat pada tahun 1998, agenda penyelesaian
korupsi menjadi salah satu agenda utama yang diusung dalam reformasi. Berbagai
perubahan politik (meski masih sebatas prosedural) pun terjadi. Manifestasi
yang paling nyata diantaranya adalah didirikannya berbagai institusi baru
termasuk institusi penganggulangan korupsi, yakni KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi). Namun, korupsi masih terus terjadi dan bahkan cenderung meningkat
setiap tahunnya.
Dari contoh di atas menunjukkan bahwa korupsi adalah
bagian tak terpisahkan dari demokrasi kapitalis yang berlaku di Indonesia saat
ini. Tidak adanya kontrol politik di tangan rakyat membuat korupsi menjadi
keniscayaan. Girling yang menyatakan bahwa korupsi terjadi karena biaya
demokrasi yang tinggi dalam sistem ekonomi politik kapitalisme juga menjadi
benar. Dari data di atas, terlihat bahwa partai-partai politik (yang berkuasa
saat ini) menjadi salah satu pelaku utama korupsi.
[1] Andre Brodoz & Gary S. Schaal,
“Einleitung”, dalam, Bodroz, A. & S.Schaal, G, (editor), Politische
Theorien der Gegenwart I, Opladen & Farmington Hills, 2006, hlm. 11-13.
[2] Francis Fukuyama, The End of
History and the Las Man, London: Penguin, 1989.
[3] Milton Friedman, Capitalism and
Freedom, Chicago: University of Chicago Press, 1965.
[4] Bdk. pandangan Anthony Downs dalam An
Economic Theory of Democracy (New York: Harper and Row, 1957) tentang
paralelisme antara perusahaan dalam kapitalisme dengan partai politik dalam
demokrasi. Keduanya memerlukan sistem kompetisi terbuka.
Perusahaan bersaing untuk memperebutkan konsumen sedangkan partai politik
memperebutkan pemilih. Baik perusahaan maupun partai politik bekerja dengan
asumsi yang sama, yaitu kedaulatan konsumen atau pemilih.
[5] Seymour Martin
Lipset, Political Man: The Social Bases of Politics, Baltimore, Maryland:
The Johns Hopkins University Press, 1983, hlm. 31: “The more well-to-do a
nation, the greater the chances that it will sustain democracy”.
[6] Lih. Barrington Moore, The Social
Origins of Dictatorship and Democracy. Lord and Peasent in the Making of the
Modern World, Boston:
Beacon Press, 1966.
No comments:
Post a Comment