Popular Posts

Wednesday, September 30, 2015

hubungan ekonomi politik denga demokrasi dan Kapitalisme




Pendahuluan
            Sebelum kita menganalisis, dengan pendekatan normatif,  hubungan antara partai politik dan kesejahteraan masyarakat, terlebih dulu kita mengemukakan sedikit  perdebatan ekonomi politik tentang hubungan antara demokrasi dan kapitalisme. Mungkin diskusi tentang ekonomi politik ini tidak begitu kena dengan tema di atas, tetapi saya yakin bahwa diskusi ekonomi politik itu akan membantu pembukaan cakrawala diskusi kita tentang hubungan antara partai politik (demokrasi) dan kesejahteraan masyarakat (ekonomi). Apakah demokrasi dan kapitalisme harus sejalan, atau keduanya saling mengandaikan, atau keduanya saling meniadakan?
            Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam analisis berikut ini adalah pendekatan normatif,[1] yang berbicara tentang apa yang seharusnya (das Sollen) dan bukan pendekatan deskriptif, yang berbicara tentang apa yang ada (das Sein). Tentu saja pendekatan normatif tetap bertolak dari fakta  kehidupan politik yang empiris, namun kejadian-kejadian politik itu hanyalah titik tolak untuk menemukan apa yang seharusnya dilakukan. Itu berarti, kalau sekarang kita berbicara tentang fakta kehidupan politik dari partai politik dan bagaimana perannya dalam penciptaan kesejahteraan masyarakat, maka yang menjadi sasaran adalah bagaimana seharusnya partai politik itu menjalankan tugas dan perannya sebagai organisasi politik untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera. Jadi, kita tidak sekedar menggambarkan bagaimana peran dan tugas partai politik selama ini dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, melainkan lebih pada usaha untuk menggambarkan bagaimana seharusnya partai politik berperan.
            Pendekatan normatif ini mengandaikan  prinsip dasar, bahwa manusia apriori harus (Sollen) bersikap baik dan tidak buruk terhadap siapa dan apa saja yang ada; jadi bahwa terhadap apa saja yang ada kita apriori mengambil sikap yang mendukung, membela, menyetujui, memajukan, melindungi dan tidak merusak, menyiksa, membatasi dan mematikan. Prinsip ini terwujud dalam prinsip kesejahteraan umum – yang mempunyai relevansi politik tinggi – yang berisi bahwa semua tindakan dan kebijakan, harus demi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyak orang, asal tidak melanggar hak dan keadilan. Prinsip dasar lain adalah prinsip keadilan yang mengatakan bahwa kita wajib untuk memperlakukan semua orang dengan adil, artinya untuk menghormati hak-hak mereka dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi yang sama.

2.  Sedikit tentang ekonomi politik
2. 1. Demokrasi dan kapitalisme, saudara kembar
          Demokrasi dan kapitalisme dapat dipandang sebagai  saudara kembar di erah globalisasi saat ini. Liberalisasi politik dipandang sebagai padanan yang serasi dengan liberalisasi ekonomi. Inilah yang selalu dipromosikan oleh Amerika Serikat. Mereka yakin bahwa kombinasi pemerintahan demokratis, pasar bebas, sektor swasta yang dominan serta terbuka bagi perdagangan, adalah resep bagi kemakmuran dan pertumbuhan. Francis Fukuyama dalam The End of History,[2] mengidentikkan keruntuhan tembok Berlin dengan berakhirnya suatu sistem ekonomi-politik yang sempat menguasai dunia ialah komunisme. Sebagai penggantinya adalah sistem persaingan, yaitu demokrasi liberal yang diiringi dengan ekonomi liberal atau yang kita kenal dalam sebutan ekonomi pasar bebas. Gabungan ekonomi pasar bebas dan demokrasi liberal, menurut Fukuyama, menghasilkan kemajuan dan kemakmuran tidak saja di negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang.
          Sedangkan Milton Friedman  dalam Capitalism and Freedom,[3] menghubungkan antara kebebasan politik (demokrasi) dan kebebasan ekonomi (kapitalisme). Ia mengaitkan dua jenis kebebasan, di satu pihak, kebebasan bergerak, kebebasan mengadakan tukar-menukar dan kebebasan atas hak miliki, dengan kebebasan bergerak, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan untuk berserikat di lain pihak. Kalau cara pandangan ini ditempatkan dalam kerangka perjuangan kaum berjuis, maka penggabungan itu sangat masuk akal. Kaum berjuis dianggap memperjuangkan kebebasan ekonomi dan kebebasan politik sekaligus ketika mereka berhadapan dengan penguasa politik yang absolut, atau ketika mereka berhadapan dengan kebijakan merkantilis di abad ke 18 dan ke 19. Pada waktu itu kaum berjuis sangat menentukan politik: No bourgeosie, no democracy. Begitu kaum berjuis berhasil melepaskan diri dari cengkeraman ekonomi negara, mereka juga bisa meloloskan diri dari cengkeraman politik negara. Dengan kata lain, kapitalisme mendorong demokrasi.[4]
          Akan tetapi, pandangan bahwa kapitalisme mendorong demokrasi sejak lama telah disanggah oleh kaum kiri dan kaum kanan. Dari kaum kiri itulah yang dikemukakan oleh Karl Marx dalam analisisnya tentang negara Bonapartis. Sebenarnya kebebasan ekonomi dan kebebasan politik tidak selalu seiring. Ketika kebebasan untuk berbicara dan berserikat dipakai oleh kaum tidak berpunya, maka pasti mereka akan mengancam harta milik dan keuntungan kaum kapitalis. Dengan cepat kaum kapitalis akan menelikung kebebasan politik kaum proletar demi menegakkan ketertiban dan melindungi harta milik mereka. Bahkan, mereka tidak ragu-ragu akan melindas parlemen jika langkah itu memang terpaksa harus dilakukan. Sedangkan sanggahan dari kaum kanan datang Max Weber: „Sungguh menggelikan mengaitkan kapitalisme modern yang telah maju dengan demokrasi atau kebebasan. Semua bentuk pembangunan sudah dinafikan ketika di Barat kepentingan ekonomi dari kelas yang berpunya dibuat untuk melayani kebebasan berjuis“.
          Jadi, demokrasi memang mendapat pupuk subur dari kapitalisme lewat prinsip self-regulating yang dipegangnya, tetapi berbagai sisi kapitalisme yang diunggulkan ternyata tidak niscaya mendukung demokrasi. Dari pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa kapitalisme dapat melumpuhkan demokrasi. Kapitalisme sendiri tampak tidak peduli tentang sistem politik, entah otoriter, negara satu partai atau multi partai (demokrasi). Kapitalisme dapat tumbuh subur di  tanah apa pun.

2.2  Hubungan Antara Demokrasi dan Kapitalisme

          Hubungan antara demokrasi dan kapitalisme adalah wilayah perdebatan dalam teori dan gerakan politik yang populer. Perpanjangan hak pilih universal dewasa laki-laki di Inggris abad ke-19 terjadi seiring dengan perkembangan kapitalisme industri, dan demokrasi menjadi luas pada waktu yang sama dengan kapitalisme, yang menyebabkan banyak teori untuk menempatkan hubungan kausal antara mereka, atau bahwa setiap mempengaruhi yang lain. Namun, pada abad ke-20, menurut beberapa penulis, kapitalisme juga disertai berbagai formasi politik sangat berbeda dari demokrasi liberal, termasuk rezim fasis, monarki absolut, dan negara-negara partai tunggal. 
          Sementara beberapa pemikir berpendapat bahwa perkembangan kapitalis lebih-atau-kurang pasti akhirnya mengarah pada munculnya demokrasi, yang lain membantah klaim ini. Penelitian pada teori perdamaian demokratis menunjukkan bahwa demokrasi kapitalis jarang berperang dengan satu sama lain dan memiliki kekerasan internal yang kecil. Namun, kritikus demokratis perdamaian teori catatan bahwa negara-negara kapitalis demokratis dapat melawan dan jarang atau tidak pernah dengan negara-negara kapitalis demokrasi lainnya karena kesamaan politik atau stabilitas bukan karena mereka demokratis atau kapitalis.
          Beberapa komentator berpendapat bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi di bawah kapitalisme telah menyebabkan demokratisasi di masa lalu, tidak dapat melakukannya di masa depan, seperti rezim-rezim otoriter telah mampu mengelola pertumbuhan ekonomi tanpa membuat konsesi untuk kebebasan politik yang lebih besar. Negara yang memiliki sistem ekonomi yang sangat kapitalistik telah berkembang di bawah sistem politik otoriter atau menindas. Singapura, yang mempertahankan ekonomi pasar yang sangat terbuka dan menarik banyak investasi asing, tidak melindungi kebebasan sipil seperti kebebasan berbicara dan berekspresi. Swasta (kapitalis) sektor di Republik Rakyat China telah berkembang pesat dan berkembang sejak awal, walaupun memiliki pemerintah otoriter. Aturan Augusto Pinochet di Chili menyebabkan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan sarana otoriter untuk menciptakan lingkungan yang aman untuk investasi dan kapitalisme.
          Menanggapi kritik dari sistem, beberapa pendukung kapitalisme berpendapat bahwa keuntungan didukung oleh penelitian empiris. Indeks Kebebasan Ekonomi menunjukkan korelasi antara negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih (seperti yang didefinisikan oleh indeks) dan skor yang lebih tinggi pada variabel seperti pendapatan dan harapan hidup, termasuk masyarakat miskin, di negara-Negara tersebut.
2.3  Kapitalisme Sebagai Paradigma Politik dan Ekonomi
                 Kapitalisme dalam pola pikir ekonomi dan politik sekarang tidak menjadi arus utama (mainstream). Mengapa? Karena sekarang prioritas utama bagi negara-negara di dunia adalah bagaimana mengalahkan negara lainnya di dalam persaingan teritorial. Kepentingan yang utama adalah kepentingan negara, bukan kepentingan individu (yang menjadi prioritas di dalam masyarakat kapitalistik). Kepentingan negara di dalam masa yang penuh pertempuran dan peperangan ini adalah bagaimana caranya mengungguli negara lain di dalam persenjataan dan militer.          Konsekuensinya adalah negara harus mempunyai mesin-mesin perang yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Dan untuk menyediakan mesin-mesin perang ini, dibutuhkan emas dan perak sebanyak-banyaknya (yang menjadi alat tukar pada masa itu). Bagaimana memperoleh emas dan perak sebanyak-banyaknya? Sama saja dengan bagaimana sebuah negara modern saat ini ingin memperoleh devisa, yaitu dengan menekan impor dan memperbesar ekspor. Apa konsekuensinya di dalam dunia ekonomi? Negara harus kuat di atas masyarakat, demokrasi dianggap sebagai suatu yang melemahkan kekuatan nasional dan kegiatan ekonomi harus dipimpin oleh kekuatan kelembagaan negara yang kuat untuk mengalokasikan sumberdaya-sumberdaya nasional guna kepentingan nasional (baca: memenangkan perang).

2. 4. Dua tese besar tentang demokrasi dan ekonomi
          Tese pertama mengatakan bahwa ekonomi adalah basis bagi pembangunan demokrasi. Seymour Martin Lipset mengatakan bahwa „semakin kaya suatu bangsa, semakin besar peluang negara itu untuk berdemokrasi“.[5] Menurut Lipset, sangat erat hubungan antara demokrasi dengan pembangunan sosial-ekonomi atau tingkatan modernisasi yang dicapai, karena modernisasi dan hasil pembangunan yang berujud pada kesejahteraan akan selalu disertai oleh sejumlah faktor yang kondusif bagi demokrasi, yakni meningkatnya tingkat  mutu pendidikan dan pembangunan mass media. Lagi pula kesejahteraan juga akan menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk meredakan ketegangan yang ditimbulkan oleh konflik politik.
          Jalan pemikiran Lipset dapat digambarkan demikian: Kehidupan ekonomi yang lebih baik akan memberikan kesempatan untuk memperoleh tingkat pendidikan dan akses media massa yang lebih tinggi. Jenjang yang lebih tinggi pada aspek-aspek tersebut sudah tentu merupakan salah satu faktor kondusif bagi munculnya tuntutan-tuntutan yang lebih besar akan demokrasi. Pendidikan dapat membuka cakrawala pemikiran seseorang termasuk di dalamnya tentang politik, ideologi. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi membuat seseorang menjadi lebih menyadari akan kedudukan dan martabatnya. Mereka itu tidak puas hidup di bawah rejim otoriter yang represif. Mereka menuntut partisipasi yang lebih besar dan luas dalam pembangunan.
          Akan tetapi, temuan Lipset ini seolah menjadi tidak berarti ketika banyak negara berkembang yang lepas dari penjajahan dan berdiri sebagai negara baru, serta umumnya mengukuti jejak modernisasi, pada akhirnya tidak seperti dikemukakan itu. Boleh saja modernisai melahirkan kesejahteraan yang mendorong ke arah demokratisasi dan itu terjadi di Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia, tetapi tidak demikian halnya dengan Korea Selatan, Taiwan, serta negara-negara Amerika Latin yang ternyata tidak melahirkan demokrasi tetapi melahirkan otoriterisme. Padahal negara-negara itu pembangunan ekonominya tergolong cepat disertai dengan distribusi pendapatan yang cukup merata.
          Tese kedua mengatakan bahwa demokrasi adalah basis bagi pembangunan ekonomi.  Barrington Moore berpendapat bahwa bukan kemajuan ekonomi yang mendasari pertumbuhan demokrasi melainkan suasana yang demokratis yang memungkinkan kemajuan ekonomi.[6] Dengan adanya demokrasi maka itu berarti sudah terbuka ruang kebebasan di dalam masyarakat. Dengan itu para penguasa yang  didukung oleh para pemodal atau tuan tanah tidak lagi dapat bertindak tanpa memperhatikan apa maunya masyarakat melainkan ia harus sungguh-sungguh mendengarkan mereka.
          Hanya, kalau kita bertolak dari pengalaman beberapa negara berkembang maka analisis Moore tidak kena. Beberapa negara berkembang berhasil membangun ekonomi menjadi maju, bahkan kelas-kelas sosial relatif tumbuh menjadi maju, dan masyarakat sipilnya relatif terbangun, namun demokrasi masih saja kehabisan tenaga untuk berkembang. Bagi para pendukung pendekatan otoriter yakin bahwa demokrasi justru menghambat pembangunan ekonomi. Lowenthal, misalnya, berpendapat bahwa dalam sistem demokratis yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk menuntut kebebasan dan hak-haknya secara tidak terbatas terkadang dapat menghambat hal-hal penting yang perlu dilakukan bagi pembangunan ekonomi. Korea Selatan dianggap sebagai contoh sukses negara otoriter yang mampu membangun negerinya dengan kemajuan ekonomi yang cemerlang.

‘Introduction,’ Girling menjelaskan posisi teoritisnya mengenai hubungan antara korupsi, kapitalisme, dan demokrasi. Dengan merujuk pada tesis Lord Acton, Girling menyatakan bahwa demokrasi sebenarnya dapat mengurangi kecenderungan terjadinya korupsi. Dalam kaitan dengan itu, korupsi terjadi karena juga didukung oleh prosedur-prosedur legal. Overlap yang terjadi antara kapitalisme dan demokrasi menyebabkan definisi mengenai apa yang publik dan privat menjadi kabur. Girling menekankan tesisnya bahwa korupsi dihasilkan oleh benturan antara demokrasi dan kapitalisme. ‘Power corruption’ atau ‘korupsi kekuasaan,’ misalnya, terjadi akibat disalahgunakannya kepentingan publik untuk keuntungan yang bersifat privat.
Hal tersebut hanya dimungkinkan manakala sistem ekonomi dan politik yang berlaku berjalin erat, tetapi juga saling berbenturan. Dalam hal ini, kapitalisme dan demokrasi memang memiliki raison de’etre yang berbeda satu sama lain. Raison d’être negara demokrasi adalah untuk melayani kepentingan publik, sementara basis dari kapitalisme adalah pengejaran keuntungan pribadi. Namun, keduanya harus bersekongkol untuk membuat sistem ini bekerja. Penetrasi kapitalisme, nilai-nilai pasar ke dalam sistem politik demokrasi menjadi kondisi yang kondusif bagi terjadinya korupsi. Kondisi tersebut membuat praktik politik uang, pembiayaan partai atau calon peserta Pemilu oleh perusahaan, dan tentu saja korupsi, menjadi tak bisa dihindari.

Contoh Kasus
KORUPSI
Girling mencontohkan, dalam pemilu misalnya, seseorang yang mengikuti pemilu dapat mengakumulasikan modal yang ia keluarkan ketika mengikuti pemilu, saat ia menduduki jabatan politik. Itulah yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia dan Filipina. Mahalnya biaya kontestasi elektoral sebagai salah satu penyebab potensial dari korupsi, juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Dalam buku ini, Girling menjelaskan, misalnya, pada tahun 1998, masing-masing calon Presiden AS menghabiskan sekitar 70 juta dollar AS dalam pemilu. Sementara, calon senator yang memenangkan pemilu rata-rata menghabiskan lebih dari 3 juta dollar AS.
Untuk menganalisis mengapa korupsi terjadi di banyak negara dalam skala besar, Girling menggunakan analisis sosial, yang mana analisis tersebut menunjukkan bahwa demokrasi kapitalis merupakan kondisi yang kondusif bagi terciptanya korupsi secara sistemik. Di sini, Girling kembali menekankan pentingnya penyelesaian permasalahan korupsi secara sistemik, dan bukan institusional sebagaimana yang banyak diterapkan di berbagai negara dengan demokrasi prosedural, termasuk Indonesia. Argumentasinya, korupsi inheren dalam kekuasaan yang unchecked, sementara idea mengenai kekuasaan dalam demokrasi ditumpukan pada mekanisme check and balances. Namun, di banyak negara, mekanisme check and balances tersebut diterapkan secara prosedural, sebatas pembagian di tingkat institusi, baik legislatif maupun yudikatif. Demokrasi prosedural dengan demikian telah membuat demokrasi menjadi rombeng, karena mengabaikan pencipataan ruang politik yang sebesar mungkin bagi masyarakat dalam mekanisme check and balances, sebagaimana idea demokrasi mengenai kekuasaan. Kekuasaan rakyat, dalam makna rakyat secara independen membuat keputusan mengenai apa yang merupakan kebutuhannya, dalam demokrasi prosedural diwakilkan dan pada akhirnya dibajak oleh elite. Kesenjangan kekuasaan antara rakyat dan elite inilah yang memberi peluang pada elite untuk melakukan korupsi.
Proyek neo-institusionalisme yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kapitalisme neoliberal memang menghendaki mekanisme institusional dalam menjawab berbagai permasalahan yang diciptakan oleh sistem ekonomi politik kapitalisme. Alih-alih menjawabnya secara substansial, jawaban prosedural dalam bentuk penataan institusi memang lebih dapat diakomodir oleh demokrasi ala kapitalisme. Terkait dengan hal itu, dalam tesisnya, Girling menekankan pentingnya formasi politik kelas dalam demokrasi, untuk menjamin keberlangungan check and balances secara substansial dalam demokrasi.
Girling memberikan ilustrasi terhadap berbagai tesisnya tersebut dalam bab 2 yang berjudul ‘Functional corruption: a developmental role’ dengan menggunakan Filipina, Thailand, dan Indonesia sebagai studi kasusnya. Di Filipina, kediktatoran Ferdinand Marcos yang tumbang pada tahun 1986 dan digantikan oleh demokrasi prosedural di bawah pemerintahan presiden Corazon Aquino, nyatanya tidak memberikan perubahan yang berarti. 85 persen anggota parlemen (House of Representative) Filipina pada saat itu merupakan mereka yang dulunya memiliki kedekatan dengan Marcos. Politik di Filipina dikuasai oleh para pemilik tanah, baik di tingkat lokal maupun provinsi. Pada pemilu tahun 1969, kandidat yang berasal dari kalangan kaya (dimana jumlahnya hanya 0,5 persen dari populasi) memenangkan pemilu dan dapat terus mengakumulasikan kekayaannya setelah menduduki jabatan publik. Demokrasi di Filipina, sejatinya dikuasai elit tuan tanah tradisional, dan pendukung Aquino (Ramos) disokong oleh kelas pebisnis. Kekuasaan di Filipina pun hanya berganti baju. Korupsi terus berlangsung dan demokrasi masih dikuasai para pemilik modal. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Thailand, dimana kelompok pebisnis menguasai parlemen (1986). Pada tahun 1960, terjadi boom ekonomi, dimana terjadi perluasan universitas dan populasi mahasiswa sehingga mengakibatkan terjadinya ‘blatant corruption’. Girling kembali menegaskan kritiknya terhadap penyelesaian korupsi secara institusional yang diterapkan di ketiga negara tersebut. Korupsi terjadi akibat kolaborasi bisnis serta politik dan penyelesaian korupsi secara institusional tidak akan menyelesaikan permasalahan korupsi secara mendasar.
Korupsi dan demokrasi kapitalis di Indonesia
Di Indonesia, kemunculan korupsi pada masa Orde Baru terjadi karena politik dikuasai oleh militer dan disokong kalangan pebisnis, khususnya pebisnis keturunan Tionghoa atau biasa disebut dengan cukong. Kapitalisme chronism yang menjadi pola pada masa Orde Baru juga memungkinkan terjadinya kolusi diantara kelompok pebisnis dan politisi dengan lebih kuat. Sayangnya, Soeharto berhasil mendapatkan apa yang disebut Girling dengan ‘legitimate performance’ dimana Soeharto ‘berhasil memberikan’ standar hidup yang layak untuk masyarakat. Ini merupakan penipuan yang dilakukan Soeharto dimana ‘standar hidup yang layak’ tersebut harus mengorbankan kebebasan berpikir, berkumpul, dan berpendapat, serta berpolitik masyarakat. Tapi, Girling tidak membahas pasca Soeharto, mengingat buku ini ditulis memang pada tahun 1997.
Pasca keruntuhan Orde Baru Soeharto oleh gerakan rakyat pada tahun 1998, agenda penyelesaian korupsi menjadi salah satu agenda utama yang diusung dalam reformasi. Berbagai perubahan politik (meski masih sebatas prosedural) pun terjadi. Manifestasi yang paling nyata diantaranya adalah didirikannya berbagai institusi baru termasuk institusi penganggulangan korupsi, yakni KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun, korupsi masih terus terjadi dan bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya.
Dari contoh di atas menunjukkan bahwa korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi kapitalis yang berlaku di Indonesia saat ini. Tidak adanya kontrol politik di tangan rakyat membuat korupsi menjadi keniscayaan. Girling yang menyatakan bahwa korupsi terjadi karena biaya demokrasi yang tinggi dalam sistem ekonomi politik kapitalisme juga menjadi benar. Dari data di atas, terlihat bahwa partai-partai politik (yang berkuasa saat ini) menjadi salah satu pelaku utama korupsi.




[1] Andre Brodoz & Gary S. Schaal, “Einleitung”, dalam, Bodroz, A. & S.Schaal, G, (editor), Politische Theorien der Gegenwart I, Opladen & Farmington Hills, 2006, hlm. 11-13.
[2] Francis Fukuyama, The End of History and the Las Man, London: Penguin, 1989.
[3] Milton Friedman, Capitalism and Freedom, Chicago: University of Chicago Press, 1965.
[4] Bdk. pandangan Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy (New York: Harper and Row, 1957) tentang paralelisme antara perusahaan dalam kapitalisme dengan partai politik dalam demokrasi. Keduanya memerlukan sistem kompetisi terbuka. Perusahaan bersaing untuk memperebutkan konsumen sedangkan partai politik memperebutkan pemilih. Baik perusahaan maupun partai politik bekerja dengan asumsi yang sama, yaitu kedaulatan konsumen atau pemilih.
[5] Seymour Martin Lipset, Political Man: The Social Bases of Politics, Baltimore, Maryland: The Johns Hopkins University Press, 1983, hlm. 31: “The more well-to-do a nation, the greater the chances that it will sustain democracy”.
[6] Lih. Barrington Moore, The Social Origins of Dictatorship and Democracy. Lord and Peasent in the Making of the Modern World, Boston: Beacon Press, 1966.

No comments:

Post a Comment