TEORI
DEMOKRASI KLASIK MENURUT PANDANGAN PLATO
Plato yang memiliki
nama asli Aristokles ini merupakan keturunan keluarga aristokrat, lahir di
Athena pada tahun 428 Masehi dari seorang Ayah bernama Ariston (bangsawan
keturunan raja Kodrus) dan Ibu yang bernama Periktione (keturunan Solon). Plato
memiliki Ayah tiri bernama Pyrilampes setelah Ibunya menikah lagi sepeninggal
ayahnya saat Plato masih dalam usia dini. Pyrilampes adalah Paman Plato,
seorang politikus yang sangat disegani di Athena karena kepemilikan hubungan
yang dekat dengan pemimpin dan negarawan besar Athena yang baru saja meninggal
(427 M), yakni Pericles (Rapar 2001, 38).
Plato lahir ketika
puncak kejayaan pemerintahan demokratis Athena yang berada di bawah pimpinan
Pericles baru saja berlalu. Ia tumbuh dewasa ketika sedang berkobar perang
Peloponesos yang disebabkan oleh perebutan kempemimpinan di Yunani Kuno antara
Athena dan Sparta. Bagi Plato, kekalahan Athena itu merupakan akibat dari
ketidakmampuan sistem demokratis untuk memenuhi kebutuhan rakyat di bidang
politik, moral, dan spiritual (Rapar 2001, 38). Itulah yang menyebabkan Plato
begitu krtis terhadap demokrasi. Kekalahan Athena telah merangsang semangat
Plato untuk menempuh karir politik, terlebih ketika itu terbentuk pemerintahan oligarkis
aristokratis yang dikenal dengan nama “kelompok tiga puluh Tyrannoi”. Beberapa
saudaranya yang berada dalam kelompok ini mengajak dan mendesak Plato untuk
bergabung. Namun Plato menolak setelah ia segera menyaksikan bagaimana kelompok
ini berubah menjadi pemerintah yang diktator, kejam, dan bengis yang sama
sekali tidak sesuai dengan ajaran gurunya, Socrates.
Pada zaman Plato,
doktrin teokratis tentang asal mula negara yang mempercayai bahwa negara
dicipta oleh para dewa-dewi dan yang ditetapkan menjadi raja atau kaisar adalah
juga dewa-dewi dan keturunannya mulai memudar popularitasnya dan digantikan
oleh kemunculan ajaran kaum sofis. Protagoras, seorang tokoh Sofis terkemuka
mengungkapkan bahwa negara dicipta oleh manusia itu sendiri. Pada mulanya manusia
hidup sendiri-sendiri, namun ternyata hidup sendiri mengundang banyak gangguan
dan kesulitan, terutama yang berasal dari luar dirinya sendiri, seperti
gangguan binatang buas, bencana alam dan lain-lain (Rapar 2001, 56). Ajaran
Protagoras tentang asal mula negara ini sangat memengaruhi pemikiran Plato.
Plato membenarkan ajaran tersebut, namun dia melihat bahwa gangguan yang
dihadapi manusia tidak semata dari luar dirinya, namun justru terutama berasal
dari dalam dirinya sendiri.
Bagi Plato negara dibentuk
oleh keterbatasan dan ketidakmampuan manusia untuk memenuhi banyak keinginan
dan kebutuhan. Sebagaimana Plato mengatakan dalam Rapar (2001) bahwa suatu
negara terbentuk karena tidak ada seorangpun di antara kita yang sanggup hidup
mandiri, kita membutuhkan banyak hal. Sehingga hal tersebut hanya dapat
dipenuhi apabila manusia bekerja sama untuk dapat saling menutupi keterbatasan
dan memenuhi kekurangan sekaligus kebutuhan masing-masing. Kerja sama manusia
demi kepentingan bersama, melahirkan kecakapan, keterampilan, dan spesialiasi
serta pembagian tugas yang semakin lama semakin teorganisasi dengan baik.
Persekutuan hidup dan kerja yang semakin lama semakin terorganisasi dengan baik
itu, kemudian membentuk apa yang disebut dengan negara (Rapar 2001, 57).
Sehingga negara seharusnya dilihat sebagai sarana yang mengharuskan adanya
tanggung jawab dari warganya untuk saling membantu, mengisi, bekerja sama,
menukar jasa, dan saling membangun.
Oleh karenanya bagi
Plato, ide tertinggi adalah kebaikan dan kebajikan, sehingga negara ideal
merupakan suatu komunitas etikal untuk mencapai kebajikan dan kebaikan, yaitu
negara yang bersendikan keadilan, selain kearifan, keberanian atau semangat dan
pengendalian diri dalam menjaga keselarasan dan keserasian hidup bernegara.
Pemikiran Plato tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya yang
hidup di masa 27 tahun perang Peloponesos. Sparta berhasil mengalahkan Athena
yang kala itu berdasarkan pemerintahan yang demokratis, diyakini secara kuat
oleh ningrat Athena pemerintahan Athena yang sedemikian rupa telah gagal dalam
mememunhi kebutuhan rakyat baik di bidang moral, politik, ataupun spiritual.
Tidak hanya itu, kekuasaan dan hukum menjadi sumber penyelewengan seiring
dengan penguasa yang korup sehingga dalam hal ini moralitas menjadi esensial
sebagaimana menurut Plato manusia dan negara memiliki kesamaan. Dalam hal ini,
selanjutnya Plato mengungkapkan bahwa negara ideal pada hakikatnya adalah suatu
keluarga karena dalam keluarga semua saudara. Oleh karena itu pula, menurut
Plato negara tidaklah boleh terlalu besar ataupun terlalu kecil. Ukuran suatu
negara hendaknya disesuaikan dengan kemampuan untuk menjaga dan memelihara
kesatuan dalam negara itu sendiri (Rapar 2001, 54-55).
Plato dinilai sangat
kritis terhadap pemerintahan demokratis karena dia tumbuh ketika Yunani perang
dengan Sparta dalam peperangan Peloponesos yang memakan waktu selama dua puluh
tujuh tahun dan Yunani menerima kekalahan telak kala itu. Plato beranggapan
bahwasannya bentuk pemerintahan demokratis dianggap membuat tidak efektif
sebuah kebijakan dijalankan karena mengurangi kekuasaan kaum Aristokrat dalam
penguasaan politik, yang itu dianggapnya justru tidak dapat memenuhi bidang
politik, moral, dan spritual. Akan tetapi ketika pemerintahan di Athena
dikuasai oleh kelompok yang bernama “Tiga Puluh Tyarannoi” yang isinya adalah
para tentara veteran perang Peloponesos, justu pemerintahan itu berlangsung
secara kejam dan tidak manusiawi yang membuat gagasan untuk membuat
pemerintahan Demokratis itu semakin kembali muncul yang akhirnya dapat menurunkan
kelompok “Tiga Puluh Tyarannoi”.
Namun yang disesalkan
oleh Plato pemerintahan demokrasi justru membuat dia kehilangan sosok yang
paling berpengaruh dalam hidupnya yaitu gurunya sendiri Socrates karena
dianggap menyebarkan gagasan yang sesat terhadap generasi muda saat itu. Hal
itu yang membuat Plato selalu berpikir mengenai bentuk pemerintahan dan negara
yang seperti apa yang dapat menciptakan kebahagian duniawi yang para penguasa
dan warga negara itu baik dan bertanggung jawab terhadap tugasnya
masing-masing. Selama 8 tahun menjadi murid Socrates tidak bisa kita pungkiri
segala pemikiran Plato juga sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Socrates.
Plato
mengatakan bahwa sebuah negara juga diibaratkan sebagai seorang manusia, maka
masalah yang paling disorot mengenai negara tersebut adalah masalah moralitas
yang harus diperhatikan dalam kehidupan bernegara. Untuk membuat kehidupan
bernegara Plato menekankan pada Kebajikan dan Kebaikan sebagai ide yang
tertinggi, baginya sebuah negara harus dilihat sebagai sistem pelayanan yang
mengharuskan setiap warga negara secara bertanggung jawab saling mengisi,
saling memberi dan menerima, saling menukar jasa, saling memperhatikan
kebutuhan sesama warga negara, dan saling membantu. Negara kata Plato dibentuk
karena manusia tidak mampu memenuhi kebetuhannya tersebut secara sendirian dan
oleh sebab itu mereka membentuk persekutuan yang bernama negara tersebut.
Karena negara didirikan
oleh manusia agar mereka dapat memenuhi kebutuhannya secara bersama yang
menurut Plato tujuannya haruslah mempunyai kesamaan yang diingankan masyarakat
tersebut yaitu kesenangan dan kebahagiaan warga negaranya. Dengan itu tugas
negara adalah berusaha untuk mengupayakan kebahagian dan kesenangan dan fungsi
yang paling menononjol adalah bagaimana sebuah negara menjalankan fungsi
kesejahteraan. Namun yang perlu digaris bawahi disini kebahagian dan kesenangan
bukanlah sebuah sikap Hedonisme, hal tersebut bisa menimbulkan sebuah kerakusan
karena hanya memuaskan hawa nafsu saja. Maka kesenangan dan kebahagiaan hidup
yang sesungguhnya terletak di dalam keberhasilannya untuk menghidupi suatu
kehidupan yang penuh dengan kebaikan dan
kebajikan.
Dalam buku
monumentalnya yang berjudul Republic dikatakan oleh Plato bahwa negara yang
dipenuhi oleh kebajikan dan kebaikan adalah negara yang bersendikan keadilan,
kearifan, keberanian atau semangat dan pengendalian diri dalam menjaga
keselarasan dan keserasian hidup bernegara. Hal itu akan mewujudkan kesenangan
dan kebahagiaan hidup bagi setiap warga negaranya. Untuk menciptakan keadaan
yang seperti itu seorang warga negara juga ikut berpartisipasi, jika dilihat
mengenai pemamaparan diatas bahwa hakikatnya negara tersebut dibentuk oleh
ketidakmampuan manusia dalam memenuhi kebutuhannya maka setiap warga negara
harus berkewajiban dalam menjalankan tugasnya untuk membantu sesamanya dengan bakat dan keterampilan masing-masing
dengan penuh tanggung jawab.
Untuk itu perlu ada
sebuah pembagian kerja dan spesialisasi untuk mewujudkan kesatuan dalam
berkerja sama di kehidupan negara tersebut. Disisi lain negara selain dapat
memanggil warga negara untuk melakukan kewajibannya juga harus memenuhi hak
warga negara tersebut karena adanya sebuah kewajiban pasti ada proses timbal
balik dari apa yang sudah mereka kerjakan sebagai kewajiban. Sebuah negara
ideal harus dapat menjaga hak dan kewajiban warga negara secara seimbang dengan
begitu negara dapat dikatakan sudah dapat menjalankan fungsinya untuk mencapai
tujuan yang diimpikan dan diidamkan oleh warga negara dan pembentuk negara itu
sendiri. Plato juga mengumumkan mengenai bentuk pemerintahan
yang paling ideal hingga bentuk pemerintahan yang paling buruk. Dia mengatakan
ada lima bentuk bentuk pemerintahan yang dapat memberikan gambaran tentang hal
tersebut. Yang pertama Aristokrasi,
pemerintahan negara ini dipegang oleh para Aristokrat atau para cendikiawan.
Dikatakan oleh Plato disini bahwasannya Aristokrat adalah orang-orang yang
mempunyai kebajikan dan kebaikan serta keadilan yang dapat memerintah dengan
bijaksana. Para aristokrat ini selalu berorientasi kepada kepentingan bersama
agar dengan demikian keadilan, kebajikan, dan kebaikan dapat dinikmati seluruh
warga negara.
Yang kedua adalah
pemerintahan Timokrasi, pemerintahan
ini adalah sebuah bentuk kemerosotan dari pemerintahan AristokrasiI, hal ini
terjadi karena anak-anak para Aristokrat yang mengambil alih kekuasaan secara
mudah tersebut tidak memiliki kebijaksanaan seperti pendahulu mereka. Para
generasi baru ini tidak berorientasi pada kepentingan bersama melainkan telah
menjadi orientasi untuk menyenangkan diri sendiri. Kekuasaan yang mereka miliki
digunakan untuk kesenangan, kemuliaan, kepentingan diri mereka sendiri.
Dalam kemerosotan di
bentuk pemerintahan terjadi ketika penguasaan yang awalnya digunakan untuk
kesenangan lama-kelamaan berubah menjadi keinginan untuk memperkaya diri
sendiri. Akibatnya untuk menguasai tampuk kepemimpinan haruslah mempunyai harta
sedemikan banyaknya agar dapat mempunyai kekuasaan, hal ini kata plato semakin
membuat orang ”gila harta” karena mereka memilih pemimpin bukan karena
kebijaksanaan melainkan karena berapa banyak harta yang dimiliki oleh pemimpin
tersebut. Bentuk pemerintahan seperti ini dinamakan Oligarkhi.
Bentuk pemerintahan
yang menekankan pada kekayaan material tentunya akan membuat sebuah kecemburuan
antara si miskin dengan si kaya, karena kekayaan negara tersebut sudah banyak
dimiliki oleh penguasa menyebabkan jumlah masyarakat yang miskin tambah semakin
banyak. Hal ini menyebabkan adanya keinginan untuk menurunkan pemerintahan yang
berisikan oleh orang-orang kaya tersebut dan menggantikan sebuah pemerintahan
yang penguasa dan rakyatnya sederajat karena pemerintah dipilih oleh rakyat dan
berasal dari rakyat. Inilah yang dinamakan Demokrasi,
kata plato dalam bentuk pemerintahan ini masyarakatnya mempunyai sebuah
kemerdekaan dan kebebasan dalam melakukan sebuah tindakan.
Akan tetapi karena
semakin bebasnya seseorang melakukan sebuah tindakan menyebabkan sebuah
kekacaun di masyarakat itu sendiri. Hal itu membuat masyarakat merindukan sosok
pemimpin yang tegas, keras, lugas dan juga dapat mempunyai kekuatan dalam
mengatur kekacaun tersebut. Pemimpin tersebut diberi kewenangan dan kekuasaan
sebagai pelindung masyarakat, akan tetapi karena besarnya kekuasaan dan
kewenangan yang dimiliki pemimpin tersebut menjadi berlaku sewenang-wenangnya.
Ini dinamakan Plato sebagi pemerintahan Tirani.
No comments:
Post a Comment