Tugas Politik Hukum dan Agraria
Kliping Tentang Sengketa Tanah Adat
Dosen Pengajar : Drs.
H. Saifudin,M.Hum
Disusun Oleh
Muhammad Ridhoni
(D1B112026)
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014
Kasus-kasus Tanah Berkaitan dengan Adat
Senin, 12 September 2011 | 18:14 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com --
Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali I Wayan Sudirta
mengemukakan, kasus-kasus tanah di Bali berkaitan dengan adat. Jika digolongkan
maka kasus-kasus tanah terbagi empat.Pertama, tanah-tanah adat disertifikatkan. "Tanah-tanah adat menjadi tanah pribadi melalui permainan penguasa-pengusaha. Padahal, tanah adat tidak boleh disertifikatkan atas nama pribadi. Tapi saya punya bukti, banyak tanah adat jadi tanah pribadi," ungkap Wayan, Senin (12/9/2011) di Jakarta.
Kedua, tanah-tanah negara yang dirampas. Penduduk yang menguasai tanah-tanah negara diserobot dan diberikan kepada investor. "Biasanya, tanah-tanah negara menjadi lokasi upacara adat. Penduduk tidak mengerti membuat sertifikat. Berkat kongkalikong dengan pejabat, ada gejala bahwa tanah-tanah negara diserobot dan diberikan kepada investor," jelas Wayan yang juga Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD.
"Di masa Orde Baru, saya masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) karena membela tanah negara ratusan hektar yang investornya Tommy Soeharto (Hutomo Mandala Putra). Saya dikejar seperti tersangka tapi tidak sempat diperiksa. Setelah Pak Harto (Soeharto) jatuh, Pak Muladi (Menteri Kehakiman saat itu) menyatakan saya tidak bersalah. Cuma tanah yang terlanjur diserobot tidak bisa kembali sampai hari ini," paparnya.
Ketiga, tanah-tanah yang memiliki kekuatan hukum tidak dijalankan. Tanah-tanah yang memiliki keputusan pasti ternyata diabaikan jika menyangkut penguasa yang kuat dan pengusaha yang kuat. "Rakyat sudah berteriak-teriak, tapi tidak direken," ujarnya.
Keempat, tanah-tanah yang memiliki sertifikat ganda atau kembar.
Dewan Adat Dayak Segel Area Kantor Wilmar
Nabati
ANTARA/Andika Wahyu
TEMPO.CO, Balikpapan -
Puluhan orang dari Dewan Adat Dayak Paser menyegel kantor PT Wilmar Nabati
Indonesia di Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin, 13 Oktober 2014. Massa suku
Dayak mengklaim perusahaan pengolahan minyak sawit mentah (CPO) ini menguasai
42 hektare tanah adat Dayak Paser untuk pembangunan kantornya. Massa adat Dayak sudah memadati lahan PT Wilmar sejak pagi hari dengan menumpang empat perahu kecil dari Kampung Baru. Lahan pengolahan CPO perusahaan ini hanya bisa dijangkau lewat transportasi laut melewati Teluk Balikpapan.
Massa berseru agar PT Wilmar mengembalikan peruntukan tanah adat yang kini beralih fungsi menjadi kantor operasional perusahaan itu. Warga suku Dayak mengklaim berhak atas 216 hektare tanah adat yang sebagian di antaranya kini dikuasai PT Wilmar. "Kami sakit hati. Sejak dulu ini adalah tanah adat kami. Tanah ini milik 28 tetua adat Dayak yang di antaranya adalah Sabit Bindangu," kata Dedi Pelampung, anggota Pemuda Adat Dayak Paser.
Namun demikian, Dedi menolak kasus sengketa lahan ini diselesaikan lewat jalur pengadilan perdata. Dia beralasan, pihaknya tidak mengantongi bukti-bukti kepemilikan tanah adat, sehingga peluangnya kecil untuk memenangi kasus tersebut lewat jalur hukum.
"Pasti ditanya surat-surat segel atau sertifikat. Ini adalah tanah adat, sehingga tidak ada surat-suratnya," ucapnya.
Dipimpin Dedi Pelampung dan Syarifullah Pudiansyah, massa histeris menuntut PT Wilmar menghentikan seluruh aktivitas perusahaannya. Aparat kepolisian dan petugas keamanan perusahaan akhirnya mengalah dengan membiarkan massa mematikan dua generator pembangkit listrik serta mesin pengolahan CPO. "Keduanya alat generator listrik dan mesin pembakar CPO," kata Iqbal, karyawan PT Wilmar.
Warga Dayak Paser kemudian menyimpan kunci dua unit peralatan kerja PT Wilmar hingga ada kepastian penyelesaian permasalahan sengketa lahan. Mereka menuntut PT Wilmar membuktikan kepemilikan izin pembangunan kantor operasionalnya di Balikpapan. "Seperti izin prinsip, analisis dampak lingkungan, dan lain lain," ujar Syarifullah.
Belasan personel Kepolisian Sektor Balikpapan Barat kesulitan meredam aksi massa ini. Demo ini diwarnai aksi sejumlah warga Dayak yang kesurupan untuk memohon perlindungan dari para tetua adat yang sudah meninggal.
S.G. WIBISONO
Perusahaan Sawit Bantah Rusak Makam Leluhur
TEMPO.CO, Jakarta - PT Gunung Pelawan Lestari (GPL) yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit membantah tudingan warga yang menyebutkan bahwa PT GPL telah merusak makam leluhur yang dikeramatkan oleh masyarakat Dusun Air Abik, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung.
PT GPL juga membantah tudingan bahwa perusahaan mereka telah menjarah hutan adat yang dijaga kelestariannya oleh masyarakat setempat.
"Tidak benar kami merusak makam leluhur masyarakat. Memang benar ada makam di daerah operasional kita, tapi tidak ada perusakan," ujar Manager Pemitra PT GPL Guilliano Agusta saat dihubungi Tempo, Senin, 20 Januari 2014.
Ia mengakui ada laporan ke kepolisian bahwa PT GPL merusak makam leluhur masyarakat. Namun tidak ada bukti, sehingga penyidikan kasus tersebut dihentikan.
"Kalau dibilang merusak makam, kami bingung makam yang mana. Termasuk juga tudingan yang menyebutkan bahwa kami menjarah hutan adat di lokasi tersebut. Kita bekerja sesuai dengan izin lokasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bangka," ujar dia.
Sebelumnya, puluhan masyarakat Dusun Air Abik menuding PT GPL telah merusak makam yang ada di hutan adat.
"Laporan perusakan makam leluhur ini sebetulnya telah kita laporkan ke Polres Bangka pada tanggal 5 Desember 2013 lalu. Namun, hingga kini, tidak ada kelanjutan. Bahkan kepolisian hanya memeriksa pelapor saja," ujar Mat Jais, warga Dusun Air Abik, dalam pertemuan masyarakat Kecamatan Belinyu dan Riau Silip dengan wartawan, Ahad sore, 19 Januari 2014.
Mengandung
Nikel, Tanah Adat Jadi Sengketa
Bupati
membantah telah ikut campur dalam menentukan nilai ganti rugi lahan warga.
Perluasan itu akan mengambil alih lahan yang secara turun temurun sudah digunakan warga untuk tinggal dan bercocok tanam. Selain bekerja sebagai nelayan, sebagian warga menggantungkan hidup dari bertani dan berkebun di tanah yang disebut sebagai tanah adat itu. Sehingga perluasan yang dilakukan WBN akan berpengaruh signifikan terhadap kehidupan warga.
Pada intinya warga di dua desa itu tidak mempersoalkan perluasan tersebut, tapi dengan syarat warga harus diberi kompensasi yang sesuai. Salah satu warga desa Lelilef Sawai, Yosepus Burnama, mengatakan sudah terdapat tanah warga yang diratakan oleh perusahaan, padahal tanah itu belum dibebaskan. Menurutnya, sudah ada delapan warga yang tanahnya diambil alih perusahaan tanpa ganti rugi.
Yosepus melanjutkan, WBN akan membangun pabrik untuk melakukan pengolahan serta eksplorasi di atas lahan adat milik warga kedua desa itu. Sayangnya, nominal ganti rugi yang ditawarkan harganya terlalu murah, yaitu Rp8 ribu/meter persegi. Pria yang sempat bekerja di WBN itu mengatakan sebagian warga menerima penawaran itu, sebagian lagi menolak dan menuntut ganti rugi dengan nominal Rp50 ribu/meter persegi.
Tuntutan tersebut sudah disuarakan oleh warga di kedua desa itu sejak 2009, namun tidak ditanggapi dengan baik oleh WBN dan pemerintah daerah (Pemda) setempat. Bahkan, kata Yosepus, sejumlah aparat desa terlihat berpihak kepada WBN ketimbang membela warganya. Ditambah lagi Bupati Halteng, Yasin Ali, selalu mengklaim bahwa lahan yang selama ini digunakan warga adalah tanah negara.
“Padahal tanah itu tanah leluhur, tanah nenek moyang kami, tanah adat,” kata Yosepus kepada hukumonline di kantor Walhi Jakarta, Jumat (25/5).
Lantaran Pemda setempat dinilai tidak dapat menuntaskan persoalan, warga mengadu kepada Komnas HAM di Jakarta. Komnas HAM sudah melakukan investigasi secara langsung di kedua desa itu pada 19–21 Juni 2011. Sayangnya, rekomendasi yang diterbitkan Komnas HAM tidak diindahkan oleh pihak yang bersangkutan sehingga penyelesaian persoalan ini berlarut.
Tak menyerah, warga melaporkan permasalahan ini kepada DPD. Pada Kamis (24/5), Komite II DPD menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menindaklanjuti laporan warga. Rapat yang dipimpin Ketua Komite II, Bambang Susilo, dihadiri oleh perwakilan warga, WBN, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Bupati Halteng, Al Yasin Ali.
Komite II DPD akhirnya menerbitkan sejumlah kesimpulan yakni mengimbau agar pihak berkepentingan bermusyawarah untuk membahas persoalan ini. Pihak berkepentingan juga diimbau untuk tidak hanya terpaku pada besaran kompensasi, namun lebih kepada perihal yang realistis serta mempertimbangkan solusi lain seperti Community Social Responsibility (CSR) atau Community Development (CD).
Terkait status tanah, Komite II DPD akan melakukan cross check dengan Kementerian Kehutanan dan BPN, serta melakukan pengawasan agar ada kepastian yang jelas terkait lahan yang disengketakan. Selain itu, Komite II DPD meminta kepada WBN untuk tidak melakukan kegiatan di tanah warga yang belum mempunyai status pembebasan lahan. Kegiatan yang dilakukan WBN diperbolehkan jika sudah terdapat bukti status pengalihan lahan yang jelas. Komite II DPD juga berjanji turun langsung ke lokasi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Yosepus berharap pemerintah dan anggota dewan mampu membantu menyelesaikan masalah ini. Bagi Yosepus, berdirinya WBN akan berpengaruh besar terhadap kehidupan warga, terutama faktor ekonomi. Soalnya, warga yang lahannya diserobot tanpa ganti rugi sudah tidak dapat lagi bercocok tanam. “Lahan saya sendiri yang telah digunakan secara turun-temurun terancam digusur,” keluhnya.
Di kesempatan yang sama, salah satu anggota tim yang mengadvokasi warga dari LBH Projustisia, Ferry J Mainassy, mengatakan upaya penyelesaian ini akan ditempuh dengan cara litigasi dan non litigasi. Namun, upaya yang telah dilakukan sampai saat ini untuk menyelesaikan persoalan baru pada tingkat non litigasi. Bagi Ferry, tidak menutup kemungkinan jika nanti upaya litigasi dilakukan.
Secara hukum, Ferry melihat persoalan pembebasan lahan warga seharusnya mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada, salah satunya adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam ketentuan itu, ia melihat pembebasan lahan yang diperuntukkan bukan untuk kepentingan umum maka mekanisme yang dilalui adalah musyawarah–mufakat, yaitu dilakukan negosiasi antara pihak yang mau menggunakan dengan pemilik lahan.
Sayangnya, Ferry melihat pembebasan lahan yang ditawarkan kepada warga menggunakan mekanisme untuk kepentingan umum. Baginya, hal itu merugikan warga. “Pembebasan lahan itu harusnya dilakukan bukan berdasarkan pendekatan kepentingan umum,” ujarnya.
Ferry melanjutkan, tuntutan ganti rugi sebesar Rp50 ribu/meter persegi sebagaimana keinginan warga bukan tanpa sebab. Pasalnya, harga tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang oleh warga dari berbagai macam aspek. Misalnya, perusahaan akan menggunakan lahan dalam kurun waktu sangat lama, ada tanaman umur panjang milik warga yang digusur dan lainnya.
Bantah Ikut Campur
Sementara itu, Bupati Halteng, Al Yasin Ali, mengatakan kompensasi yang diberikan kepada warga di dua desa yang lahannya akan dibangun pabrik oleh WBN mengacu pada beberapa hal. Pertama, mengacu pada harga yang sudah diterapkan di desa sekitar di mana terdapat perusahaan serupa. Kedua, negosiasi antar kedua belah pihak yaitu WBN dan warga.
Jika mengacu harga sebelumnya dalam soal ganti rugi lahan yang ada di kabupaten lain, Yasin mengatakan nominal kompensasi lahan warga harganya bervariasi mulai dari Rp4–9 ribu/meter persegi. Bahkan, jika lahan itu memiliki sertifikat harganya dapat mencapai Rp15 ribu/meter persegi. Dia juga menegaskan, Pemda tidak campur tangan dalam penentuan harga tersebut.
Bagi Yasin, tugas Pemda hanya sebatas sosialisasi mengenai harga. Misalnya, jika lahan itu digunakan untuk kepentingan umum seperti pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit dan lainnya, maka nominal kompensasi berkisar diangka Rp2,5 ribu/meter persegi. Jika lahan diperuntukkan di luar kepentingan umum maka harganya lebih tinggi.
Ketika ditanya nilai kompensasi untuk tanah adat/ulayat, Yasin mengatakan di Kabupaten Halteng tidak ada tanah adat/ulayat. Namun, terdapat tanah yang berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang pengelolaannya berada di bawah wewenang Kementerian Kehutanan dan tergolong dalam tanah negara. “Di sana tidak ada tanah adat/ulayat,” kata Yasin ketika dikonfirmasi lewat telepon, Minggu (27/5).
Dia menambahkan, meski lahan warga yang menjadi sengketa termasuk tanah negara, warga sudah mengolah tanah itu secara turun-temurun. Sehingga di atas tanah itu terdapat tanaman berumur panjang seperti kelapa, pisang dan lainnya. Atas dasar itu, ia mengatakan kompensasi yang akan diberikan mengacu pada lahan yang sudah ditanami warga.
Selain itu, negosiasi harga yang dilakukan warga dapat juga mengarah pada kompensasi lainnya, seperti masyarakat mendapat bagian dari setiap bahan baku mentah yang dijual perusahaan. Menurut Yasin dana itu di luar dana CSR yang diberikan perusahaan.
Ketika ditanya soal izin WBN, Yasin mengatakan perusahaan tersebut sudah mengantongi izin. Di atas lahan yang terdapat di dua desa itu, katanya, akan digunakan untuk membangun pabrik dan fasilitas pendukung untuk mengolah bahan baku mentah Nikel. Mengacu pada potensi yang ada di Halteng, perusahaan tersebut akan beroperasi di sana dalam waktu cukup lama. “Lebih dari 50 tahun,” pungkasnya.
Konflik Tanah Adat di Sumatera Utara (Humbang Hasundutan)
masyarakat adat Desa
Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT
Toba Pulp Lestari,TBk (TPL), yang terjadi sejak Juni 2009 yang lalu, hingga
kini belum menemukan jalan penyelesaian yang pasti.
Konflik berawal saat
terbit SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005, tentang Penunjukan Kawasan
Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara disebutkan didalamnya untuk
mengharuskan kepada PT. Indorayon Utama yang berubah nama menjadi PT. Toba Pulp
Lestari, Tbk (TPL) wajib melaksanakan penataan tapal batas wilayah
kegiatan tanaman industrinya selambatnya 36 bulan sejak keputusan dikeluarkan
oleh Menteri Kehutanan RI, hingga pada saat ini pihak PT. TPL tidak
melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industri tersebut di
Kabupaten Humbang Hasundutan.
Surat Dinas Kehutanan
Sumut Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja
Tahunan (RKT) PT Toba Pulp Lestari Tahun 2009 TPL dan yang terbaru RKT TPL 2013
berlaku layaknya pemegang tunggal penguasaan hutan di wilayah eksplorasi dan
sekitarnya. Tentu peraturan itu telah mengesampingkan Hak masyarakat adat atas
pengelolahan lahan di Indonesia. Pasca keluarnya SK itu Sampai pada Tahun 2013,
PT.TPL telah menguasai areal hutan kemenyan seluas 1000 Ha.
Konflik kembali memanas
yang ditandai dengan penangkapan 16 orang masyarakat adat oleh Polres Humbang
Hasundutan. Tentu hal ini membuat masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta merasa
terpukul atas bentuk pidana yang dikenakan oleh pihak kepolisian. Sementara
masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta hanya mempertahankan tanah adat/ ulayat
yang merupakan hutan kemenyan yang telah turun-temurun menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat dalam
penyelesaian sengketa yang telah ditempuh penyelesaian sengketa diluar
pengadilan mengadukan atau menyampaikan persoalan ini di tingkat daerah maupun
pusat. Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan menampung aspirasi masyarakat
dan meneruskan aspirasi tersebut ke Kementerian Kehutanan Republik Indonesia di
Jakarta. Berulangkali Pemerintah Kabupaten melayangkan surat ke Kementerian
Kehutanan RI di Jakarta agar PT. TPL menghentikan sementara kegiatannya di
wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan sampai penetapan tapal batas antara
konsesi lahan yang dimiliki PT. TPL.
Dalam menentukan
batas-batas kepemilikan diantara mereka maupun dengan masyarakat adat di luar
desa Pandumaan-Sipituhuta dilakukan berdasarkan kebiasaan atau hukum adat.
Tapal batas kepemilikan diantara mereka maupun dengan masyarakat adat di luar
huta mereka, dilakukan berdasarkan kebiasaan atau hukum adat. Tidak seorang pun
diantara mereka yang boleh menjual areal yang mereka miliki dan usahai kepada
pihak lain di luar komunitas dua desa ini. Kalaupun ada yang akan mengalihkan
kepemilikan, harus dialihkan kepada sesama komunitas dari dua desa tersebut.
Demikian halnya dengan menentukan batas-batas areal dengan areal milik desa
lainnya, mereka memiliki kebiasaan dan ketentuan yakni perbatasan Tombak
Haminjon milik desa Pandumaan dan Sipituhuta ditentukan berdasarkan tumbuhnya
jenis rotan.
Lokasi areal hutan
kemenyan milik masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta terletak di Kecamatan
Pollung Kabupaten Humbang Hasudutan Provinsi Sumatera Utara. Areal Hutan
kemenyan diperkirakan seluas 4100 Ha dengan jumlah penduduk kira-kira 700
kepala keluarga. Hutan kemenyan atau disebut hamijon
oleh masyarakat setempat, sudah dikelola masyarakat adat beratus-ratus tahun
lamanya. Areal kemenyan itu sudah menjadi tulang punggung perekonomian sejak
nenek moyang masyarakat Pandumaan Sipituhuta membuka hutan menjadi areal
kemenyan. Kemenyan merupakan mata pencarian utama masyarakat desa
Pandumaan-Sipitu Huta dan hasil tanaman kemenyan inilah terkenal hingga keluar
negeri, oleh karena itu kemenyan harus diselamatkan dari penebangan/ pembabatan
oleh pihak PT. TPL.
Hampir 65% masyarakat
Humbang Hasundutan menggantungkan hidupnya dari hasil kemenyan. Jarak antara
rumah warga dengan hutan kemenyan bisa mencapai 3 jam perjalanan naik sepeda
motor. Masyarakat adat bisa mencapai waktu seminggu berada di tengah hutan
untuk mencari getah kemenyan. Penghasilan mereka beragam, namun rata-rata
penghasilan masyarakat adat dari hasil kemenyan dalam seminggu hanya sebesar
Rp.350.000/kepala keluarga.
Peneliti tertarik
melakukan penelitian ini karena Konflik pertanahan merupakan salah satu masalah
yang harus dijawab dan diselesaikan oleh pemerintah, perusahaan TPL dan
masyarakat desa Pandumaan Sipituhuta. Peneliti memfokuskan kepentingan pada PT.
TPL dengan Pemerintah,juga usaha untuk menangani konflik tanah adat yang
dilakukan oleh masyarakat desa dan tapal batas lahan adat yang disengketakan.
No comments:
Post a Comment