Tugas Politik Hukum dan Agraria
Kliping
Tentang Lajunya Alih Fungsi Lahan Pertanian untuk
Kepentingan
Pembangunan
Dosen Pengajar : Drs. H. Saifudin,M.Hum
Disusun Oleh
Muhammad Ridhoni (D1B112026)
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014
Pertanian
(Tak lagi) menjanjikan
Kamis, 26 Juni 2014 00:59 WITA Banjarmasin Post
SATU dekade silam kita masih bisa melihat hamparan
tumbuhan padi menghijau di kanan kiri Jalan A Yani, selepas pintu masuk Kota
Banjarmasin. Pandangan alami itu kini sudah tidak lagi memanjakan kedua bola
mata kita. Yang hadir saat ini adalah suguhan monoton dari kecongkakan jejeran
beton hampir di sepanjang jalan nasional tersebut.
Ya, lahan-lahan hijau pertanian itu sudah tidak lagi tersisa. Kawasan pertanian itu sudah beralih fungsi menjadi area perdagangan, industri, dan permukiman. Kawasan Kertakhanyar dan Gambut yang dulu menjadi lumbung padi di daerah ini, telah berubah rupa menjadi sebuah metropolis baru.
Terjadinya alih konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian tidak bisa dilepaskan dari perubahan perilaku masyarakat kita. Gambut dan Kertakhanyar yang merupakan daerah terdekat dari Kota Banjarmasin sebagai ibu kota Kalsel, jelas sangat rentan dari gerusan budaya kosmopolit. Kehidupan yang kosmopolitan terbentuk melalui realitas budaya urban yang semakin massif dan sulit terhindarkan.
Tidak heran kalau kemudian Gambut dan Kertakhanyar menjadi area istimewa terbentuknya entitas-entitas baru dengan tipikal budaya yang beragam. Nah, konsekuensi ini pula yang mau tidak mau ditanggung kedua wilayah itu. Suka tidak suka, situasi itu menjadi sebuah peluang bagi mereka yang memiliki kepentingan mengais keuntungan.
Tengok saja bagaimana kompleks-kompleks permukiman, industri dan pusat-pusat perdagangan yang akhirnya mengalahkan budaya tani yang selama ini menjadi bagian dari helaan nafas saudara-saudara kita daerah tersebut. Mengapa itu bisa terjadi? Selain imbas dari perubahan perilaku, juga realitas bahwa budaya tani yang tidak lagi menjanjikan perbaikan penghidupan di mata saudara-daerah kita.
Jika itu yang terjadi, berarti telah terjadi proses pembangunan regresif. Apa yang dikhawatirkan setengah abad lalu dengan involusi pertanian benar-benar menjadi kenyataan. Pertanian yang involutif tentu tidak akan mampu bersaing di kancah regional dan global.
Itu sebabnya sedemikian cepatnya alih konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian karena lahan pertanian sangat mudah dan murah. Dengan kata lain, penyusutan lahan pertanian sedemikian cepat di kawasan lumbung padi di Gambut dan Kertak Hanyar, tidak bisa dilepaskan dari motif ekonomi. Wajar kalau para pembakal (kepala desa, Red) yang kebingungan dengan fenomena ramainya masyarakat petani di kedua wilayah itu melepas lahan pertanian mereka kepada pengembang atau investor.
Celakanya, kondisi itu diperparah dengan terbitnya Perda No 3 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banjar 2013-2032. Materi dalam beleid ini justru sengaja memutilasi lahan pertanian di daerah itu dari 66 ribu hektare hingga hanya menyisakan 15.000 hektare. Payung hukum itu jelas semakin memberi peluang bagi mereka yang memiliki uang untuk menguasai lahan-lahan pertanian.
Padahal, jika menilik UU No 4 tahun 2012 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), Perda No 3/2013 itu sangat bertolak belakang. Roh dalam UU No 4/2012 itu jelas bagi daerah untuk melindungi lahan-lahan pertanian secara konsisten guna menjaga ketahanan pangan di daerah. Hanya saja, memang harus diakui UU No 4/2012 itu dirasa kurang implementatif karena menurut amanah konstitusi, negara bukanlah pemilik lahan. Namun, setidaknya kehadiran UU itu juga menekan nafsu serakah para investor yang ingin menguasai lahan-lahan pertanian.
Kita khawatir konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan terbangun bakal sulit dibendung lantaran adanya kepentingan. Sudah saatnya para pengampu kebijakan di daerah memiliki komitmen tegas memberikan perlindungan terhadap lahan-lahan pertanian produktif.
Setidaknya, para pengampu kebijakan di daerah mempunyai rencana strategis pembangunan pertanian yang jelas. Mana yang wajib dipertahankan untuk lahan pertanian dan pangan, mana yang untuk permukiman dan industri. Bagaimana pun negeri ini dibangun dari sebuah pondasi alami yakni pertanian, dan bangsa kita dikenal sebagai negara agraris! (*)
HKTI: Kendalikan Alih Fungsi Lahan Sawah
Ya, lahan-lahan hijau pertanian itu sudah tidak lagi tersisa. Kawasan pertanian itu sudah beralih fungsi menjadi area perdagangan, industri, dan permukiman. Kawasan Kertakhanyar dan Gambut yang dulu menjadi lumbung padi di daerah ini, telah berubah rupa menjadi sebuah metropolis baru.
Terjadinya alih konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian tidak bisa dilepaskan dari perubahan perilaku masyarakat kita. Gambut dan Kertakhanyar yang merupakan daerah terdekat dari Kota Banjarmasin sebagai ibu kota Kalsel, jelas sangat rentan dari gerusan budaya kosmopolit. Kehidupan yang kosmopolitan terbentuk melalui realitas budaya urban yang semakin massif dan sulit terhindarkan.
Tidak heran kalau kemudian Gambut dan Kertakhanyar menjadi area istimewa terbentuknya entitas-entitas baru dengan tipikal budaya yang beragam. Nah, konsekuensi ini pula yang mau tidak mau ditanggung kedua wilayah itu. Suka tidak suka, situasi itu menjadi sebuah peluang bagi mereka yang memiliki kepentingan mengais keuntungan.
Tengok saja bagaimana kompleks-kompleks permukiman, industri dan pusat-pusat perdagangan yang akhirnya mengalahkan budaya tani yang selama ini menjadi bagian dari helaan nafas saudara-saudara kita daerah tersebut. Mengapa itu bisa terjadi? Selain imbas dari perubahan perilaku, juga realitas bahwa budaya tani yang tidak lagi menjanjikan perbaikan penghidupan di mata saudara-daerah kita.
Jika itu yang terjadi, berarti telah terjadi proses pembangunan regresif. Apa yang dikhawatirkan setengah abad lalu dengan involusi pertanian benar-benar menjadi kenyataan. Pertanian yang involutif tentu tidak akan mampu bersaing di kancah regional dan global.
Itu sebabnya sedemikian cepatnya alih konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian karena lahan pertanian sangat mudah dan murah. Dengan kata lain, penyusutan lahan pertanian sedemikian cepat di kawasan lumbung padi di Gambut dan Kertak Hanyar, tidak bisa dilepaskan dari motif ekonomi. Wajar kalau para pembakal (kepala desa, Red) yang kebingungan dengan fenomena ramainya masyarakat petani di kedua wilayah itu melepas lahan pertanian mereka kepada pengembang atau investor.
Celakanya, kondisi itu diperparah dengan terbitnya Perda No 3 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banjar 2013-2032. Materi dalam beleid ini justru sengaja memutilasi lahan pertanian di daerah itu dari 66 ribu hektare hingga hanya menyisakan 15.000 hektare. Payung hukum itu jelas semakin memberi peluang bagi mereka yang memiliki uang untuk menguasai lahan-lahan pertanian.
Padahal, jika menilik UU No 4 tahun 2012 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), Perda No 3/2013 itu sangat bertolak belakang. Roh dalam UU No 4/2012 itu jelas bagi daerah untuk melindungi lahan-lahan pertanian secara konsisten guna menjaga ketahanan pangan di daerah. Hanya saja, memang harus diakui UU No 4/2012 itu dirasa kurang implementatif karena menurut amanah konstitusi, negara bukanlah pemilik lahan. Namun, setidaknya kehadiran UU itu juga menekan nafsu serakah para investor yang ingin menguasai lahan-lahan pertanian.
Kita khawatir konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan terbangun bakal sulit dibendung lantaran adanya kepentingan. Sudah saatnya para pengampu kebijakan di daerah memiliki komitmen tegas memberikan perlindungan terhadap lahan-lahan pertanian produktif.
Setidaknya, para pengampu kebijakan di daerah mempunyai rencana strategis pembangunan pertanian yang jelas. Mana yang wajib dipertahankan untuk lahan pertanian dan pangan, mana yang untuk permukiman dan industri. Bagaimana pun negeri ini dibangun dari sebuah pondasi alami yakni pertanian, dan bangsa kita dikenal sebagai negara agraris! (*)
HKTI: Kendalikan Alih Fungsi Lahan Sawah
Oleh: Dadi Haryadi
Ekbis - Selasa, 14 Oktober 2014 |
09:42 WIB
ilustrasi - inilah.com/syamsuddin
nasoetion
INILAHCOM, Bandung - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat
merasa khawatir karena terjadi penyusutan lahan sawah akibat pembangunan
proyek. Melihat kondisi tersebut, pemerintah dituntut aktif mengendalikan alih
fungsi lahan.
"Kami harap pemerintah membuat regulasi untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian guna menghindari krisis pangan," kata Ketua HKTI Jabar Entang Sastraatmaja, Senin (13/10/2014).
Menurutnya, pengendalian alih fungsi lahan pertanian harus tertuang dalam peraturan bupati/peraturan wali kota yang merupakan turunan dari Peraturan Daerah soal Rencana Tata Ruang dan Wilayah atau Undang-undang mengenai Perlindungan Sawah.
Perbup ataupun perwalkot dinilai berisi aturan teknis dari Peraturan Daerah soal Rencana Tata Ruang dan Wilayah atau Undang-undang mengenai Perlindungan Sawah.
"Jika tidak ada regulasi khusus mengenai pengendalian ini, maka alih fungsi akan tetap terjadi," katanya.
Dia menilai lahan pesawahan makin menyempit dan membuat usaha pertanian menjadi terhambat. Hal ini akibat perkembangan sektor industri dan perumahan.
Alih fungsi lahan marak terjadi di sentra produksi padi seperti Karawang, Subang, dan Bekasi. Tidak hanya itu, pembebasan lahan di wilayah Majalengka yang dijadikan bandara serta kawasan industri yang nantinya ikut memperparah penyusutan lahan pertanian.
"Pembangunan Waduk Jatigede yang berada di kawasan Sumedang untuk mengairi area pesawahan di Majalengka dan sekitarnya belum tentu menjanjikan jika alih fungsi lahan tidak dikendalikan," tuturnya. (jul)
"Kami harap pemerintah membuat regulasi untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian guna menghindari krisis pangan," kata Ketua HKTI Jabar Entang Sastraatmaja, Senin (13/10/2014).
Menurutnya, pengendalian alih fungsi lahan pertanian harus tertuang dalam peraturan bupati/peraturan wali kota yang merupakan turunan dari Peraturan Daerah soal Rencana Tata Ruang dan Wilayah atau Undang-undang mengenai Perlindungan Sawah.
Perbup ataupun perwalkot dinilai berisi aturan teknis dari Peraturan Daerah soal Rencana Tata Ruang dan Wilayah atau Undang-undang mengenai Perlindungan Sawah.
"Jika tidak ada regulasi khusus mengenai pengendalian ini, maka alih fungsi akan tetap terjadi," katanya.
Dia menilai lahan pesawahan makin menyempit dan membuat usaha pertanian menjadi terhambat. Hal ini akibat perkembangan sektor industri dan perumahan.
Alih fungsi lahan marak terjadi di sentra produksi padi seperti Karawang, Subang, dan Bekasi. Tidak hanya itu, pembebasan lahan di wilayah Majalengka yang dijadikan bandara serta kawasan industri yang nantinya ikut memperparah penyusutan lahan pertanian.
"Pembangunan Waduk Jatigede yang berada di kawasan Sumedang untuk mengairi area pesawahan di Majalengka dan sekitarnya belum tentu menjanjikan jika alih fungsi lahan tidak dikendalikan," tuturnya. (jul)
Alih Fungsi Lahan Jadi Perumahan Hambat Pertanian
KonsPro (2/5) MANADO - ALIH fungsi lahan produktif menjadi kawasan perumahan rakyat mulai menghambat pengembangan sektor pertanian di Sulawesi Utara (Sulut)."Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) menemukan maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi proyek perumahan. Alih Fungsi ini telah mengurangi luas areal pertanian," kata Pemimpin Bank Indonesia (BI) Manado, Ramlan Ginting, di Manado, Minggu.
Karena itu, TPID mememinta pemerintah daerah lebih selektif terkait kebijakan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian karena dikhawatirkan berdampak negatif pada pengembangan pertanian.
Perhatian terhadap sektor pertanian saat ini sangat penting dilakukan oleh berbagai pihak karena sektor inilah yang mampu menghasilkan bahan kebutuhan pokok utama masyarakat.
"TPID diberikan tugas untuk mengambil kebijakan mengatasi permasalahan terkait meningkatnya harga pangan akibat penurunan produksi pertanian sebagai dampak perubahan cuaca atau cuaca ekstrim yang terjadi di berbagai belahan dunia," kata Ramlan.
Meningkatnya harga pangan strategis disebabkan berbagai faktor, di antaranya distribusi, produksi, struktur pasar, serta ekspektasi, dan perilaku konsumen.
Penurunan jumlah areal pertanian, kata Ramlan, akan berdampak terjadinya gangguan produksi bahan kebutuhan pokok masyarakat. Karena itu, penurunan areal pertanian harus disikapi secara cermat.
Pemerintah Provinsi Sulut sendiri sudah mengambil langkah antisipasi untuk mengatasi penurunan produksi pertanian dengan program mari menanam.
Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Sulut, Frets Kaunang, mengatakan, program mari menanam ini ditujukan kepada seluruh masyarakat dan dimaksud meningkatkan ketahanan pangan.
"Program mari menanam selain mendorong produksi beras sebagai bahan pangan utama masyarakat juga mengajak masyarakat untuk menanam komoditi alternatif pangan, seperti umbi-umbian, jagung, pisang, kedelai, dan lainnya," kata Kaunang. (Ant.)
Lahan Pertanian di Jateng Menyusut 400 Hektar Per Tahun
Selasa, 14 Oktober 2014 01:00 WIB
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Tengah
mencatat adanya penyusutan lahan akibat alih fungsi lahan produktif seluas 350
hingga 400 hektar di Jawa Tengah per tahun. Lahan pertanian produktif rata-rata
dialih fungsikan sebagai lahan industri dan perumahan.
“Yang memang
harus dikendalikan oleh Bupati dan Walikota adalah adanya alih fungsi lahan
produktif ini. Karena untuk menunjang ketahanan pangan,” jelas Kepala BKP
Provinsi Jateng, Gayatri Indah Cahyani, kemarin.
Berdasarkan
data yang dimilikinya, dalam 10 tahun terakhir, lahan pertanian produktif di
Jawa Tengah, telah berkurang sebanyak 6.484 hektar. Dari sebelumnya terdata
998.008 hektar, dalam jangka waktu 10 tahun, luasan lahan pertanian produktif
di Jawa Tengah kini tinggal tersisa 991.524 hektar.
Dia
menuturkan, alih fungsi lahan pertanian produktif itu tentu saja membuat
komoditas panenan dan hasil bumi warga di Jawa Tengah menjadi berkurang. Dari
jumlah tersebut, rata-rata alih fungsi lahan pertanian ini dipergunakan untuk
kepentingan bisnis.
“Banyak yang
dialihfungsikan sebagai industri rumah tangga, pabrik, perumahan. Namun, yang
lebih banyak dipergunakan untuk sektor industri,” kata Gayatri.
Dia berharap
dengan adanya pengendalian alih fungsi lahan oleh para Bupati dan Wali Kota di
Jawa Tengah mampu tetap menjaga ketahanan pangan. Dia juga meminta agar pelaku
industri atau pengusaha properti tetap memperhatikan lahan-lahan pertanian.
“Misalnya
harus ada kompensasi atau lahan pengganti yang dipergunakan untuk lahan
pertanian. Semua itu sudah diatur dalam Pergub dan ada Undang-Undangnya yang
mengatur terkait itu, maka Bupati dan Wali Kota harus memperhatikan itu,”
paparnya.
Disinggung
daerah mana saja yang mengalami alih fungsi lahan secara ekstrim, Gayatri
mengaku tidak mengetahui secara detil. Namun demikian, dia mengaku lahan di
daerah Boyolali atau Sukoharjo wajib dipertahankan sebagai salah satu daerah
potensi cadangan pangan.
Menanggapi
alih fungsi lahan tersebut, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta kepada
para Bupati dan Wali Kota untuk memperhatikan Peraturan Daerah (Perda) Tata
Ruang. Termasuk, Perda RT RW itu disusun dengan melibatkan ahli, pakar, dan
akademisi.
“Kami memang
meminta secara benar-benar agar para Bupati atau Wali Kota memperhatikan lahan
subur dengan Perda RT RW itu. Kami juga sudah ada Pergub dan UU Pangan
berkelanjutan yang mengatur dan mengendalikan alih fungsi lahan tersebut,”
ulasnya.
Ganjar
menyebutkan, di tengah lahan yang semakin sempit dan ditambah dengan ledakan
penduduk, maka perlu ada pengendalian penggunaan lahan subur serta pengendalian
jumlah penduduk. Misalnya, ujarnya, dengan menggalakkan kembali program
Keluarga Berencana (KB).
“Untuk lahan
yang semakin sempit perlu ada modernisasi dan mekanisasi pertanian,” ujar
Ganjar.
Kepala Dinas
Pertanian Kabupaten Magelang, Wijayanti menjelaskan, pihaknya terus melakukan
pengendalian alih fungsi lahan. Karena, alih fungsi di lahan produktif
Kabupaten Magelang tidak diperkenankan apalagi di wilayah yang cepat tumbuh ada
batasan.
“Ada juga
pedoman tidak tertulis misalnya 200 meter dari jalan utama tidak boleh ada alih
fungsi. Sejauh ini Magelang tetap terkendali dan kami tetap berupaya
mengendalikan karena sanksinya cukup berat,” tandasnya.
Dia juga
mengaku pihaknya kerap kali menerima pertanyaan terkait lahan pertanian, dari
pengembang yang ingin membangun perumahan di Kabupaten Magelang. Menurutnya,
para pengembang biasanya bertanya apakah lahan yang dibeli bisa dikembangkan
menjadi perumahan atau tidak.
“Ada yang
mematuhi keterangan dari kami, namun tak jarang ada pula pengembang yang tetap
nekat membangun di areal yang semestinya diperuntukkan sebagai lahan
pertanian,” tandasnya. (*)
Alih fungsi ke perumahan, lahan
pertanian di Lampung berkurang
"Banyak lahan pertanian di daerah ini beralih fungsi menjadi tempat usaha sarang burung walet, perumahan, dan pembangunan infrastruktur lainnya," kata Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Lampung, Lana Rekyanti, Selasa (8/4).
Ia menyebutkan secara nasional alih fungsi lahan pertanian produktif setiap tahunnya mencapai 100.000 hektare. Angka itu didasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Lampung beberapa waktu lalu. Luas lahan pertanian saat ini, mencapai di atas 300 ribu ha lebih.
Menurutnya, untuk mengatasi itu diperlukan penegakan aturan dan pengawasan. Pada 2013 pihaknya telah menerapkan pemberian insentif kepada petani. Termasuk cetak sawah baru seluas 2.500 ha dan sosialisasi undang-undang pertanian.
Ia menambahkan alih fungsi lahan pertanian tersebut menyebabkan produktivitas padi hanya 5--7 ton per hektare.
Sementara itu, Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA IPB) menyatakan kurangnya perhatian berbagai pihak terhadap peningkatan kesejahteraan petani, ditambah praktik impor pangan yang berlebihan menjadikan pertanian semakin termarjinalkan.
"Produktivitas beras nasional yang tidak juga mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional dipicu persoalan klasik yang sampai sekarang belum bisa diselesaikan, diantaranya, alih fungsi lahan pertanian produktif yang setiap tahunnya mencapai 100.000 hektare," kata Ketua Umum HA IPB Bambang Hendroyono, beberapa waktu lalu.
Kemudian, adanya kecenderungan perilaku generasi muda di pedesaan yang tidak lagi tertarik dalam kegiatan pertanian padi karena dianggap tidak menarik. Ia mengatakan bahwa data BPS menyebutkan pada 2004, ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian, sementara pada tahun 2013, angkanya menyusut menjadi 39,96 juta orang.
"Persoalan berikutnya adalah dukungan infrastruktur pertanian seperti bendungan, irigasi, saluran pertanian primer sampai tersier yang masih sangat minim. Kerusakan saluran irigasi di berbagai wilayah kurang mendapat perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah," tambahnya.
Sawah banyak jadi perumahan, produksi padi terancam
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan, dalam kurun waktu 2005-2010 terjadi penurunan produksi padi cukup signifikan. Angka penurunan tersebut berada pada kisaran 0,3 persen setiap tahun dan diperkirakan semakin membesar.
"Penurunan tersebut karena lahan produktif dialihfungsikan untuk kegiatan non-pertanian," ujar Rusman di hotel le Meridien, Jakarta, Sabtu (25/1).
Namun demikian, Rusman menerangkan, di luar Jawa justru terjadi perluasan lahan persawahan. Menurut dia, rata-rata peningkatan perluasan lahan sawah ini mencapai 1,1 persen setiap tahunnya.
"Dan secara nasional terjadi peningkatan luas lahan sawah sebesar 0,6 persen per tahun," kata Rusman.
Melihat hal itu, Rusman menilai, upaya untuk menekan semakin membesarnya konversi lahan perlu ditingkatkan. Di samping itu, perluasan lahan sawah di luar Jawa juga perlu mendapat perhatian.
"Berbagai upaya sangat diperlukan untuk menekan konversi lahan sawah di Jawa dan meningkatkan lahan sawah di luar Jawa," pungkas dia.
Lahan Pertanian Habis untuk Perumahan
Rabu, 26 Maret 2014 21:44 WITA
banjarmasinpost.co.id/elhami
Seorang petani membersihkan tanaman liar di
sawahnya, sementara di belakangnya berderet perumahan yang makin meluas dan
menyusutkan lahan pertanian.
BANJARMASINBPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Di Banjarmasin lahan pertanian semakin berkurang setiap tahunnya untuk
pembangunan perumahan yang tak terkendali. Semakin berkurangnya lahan pertanian
itu dikeluhkan oleh beberapa petani Jalan Greliya Rt 17 Kecamatan Banjarmasin
Selatan.Rahmadi (50) yang sudah puluhan tahun bertani sangat merasakan sekali dampak perubahan hingga sekarang. Dia mengatakan pertanian di wilayahnya dulu sangat asri dan nyaman.
"Ya susah juga siapa yang salah, tanah berkurang karena pembangunan perumahan juga kehendak petani menjualnya. Saya ingin pemerintah menjadi penengah, artinya wilayah mana yang diperbolehkan dan wilayah mana yang tidak diperbolehkan. Kalau di lahan pertanian di sini kan akan mengganggu juga, bagusnya misalnya lahan ini khusus pertanian," katanya, Rabu (26/3/2014).
Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Banjarmasin Doyo Purdjadi mengatakan secara kuantitatif lahan pertanian nasional bahkan di Banjarmasin selalu berkurang.
Hal itu dikarenakan banyak alih fungsi lahan menjadi perumahan. "Saya juga menyesalkan ini, semestinya para pengembang itu harus melalui Dinas Pertanian untuk membangun perumahan, jangan asal bangun saja dapat lahan langsung dikerjakan," jelasnya.
Saat ini Dinas Pertanian dan Perikanan Kota terus berupaya agar para pengembang berkoordinasi dan berkomunikasi dengan dinas terkait.
Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
ReplyDeleteTerima kasih, Busarakham.