Studi Demokrasi (Translate Buku)
“Demokrasi Deliberatif”
Disusun Oleh :
Muhammad
Ridhoni D1B112026
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMBUNG
MANGKURAT
2015
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat
kompleks terdiri dari jaringan-jaringan aneka bentuk komunikasi yang saling
tumpang tindih dan terkait dengan berbagai kepentingan, gaya hidup dan
orientasi nilai kultural, sosial, serta religius. Identitas antara kehendak
pemerintah dan rakyatnya sulit dicapai. Kedaulatan rakyat tidak bisa
dibayangkan secara konkrit. Kedaulatan rakyat dalam masyarakat kompleks cukup
dibayangkan sebagai “kontrol atas pemerintah melalui opini publik”. Bagi Habermas, suatu negara dapat
disebut berdaulat ketika negara (pada lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif) dapat tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi
dan opini dalam ruang publik. Teori demokrasi deliberatif tidak menganjurkan
sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan melancarkan kegiatan
diskursus publik di berbagai bidang sosial-politis-kultural untuk meningkatkan
partisipasi demokratis warga negara.
Pada gagasan
teori politik demokrasi deliberatif, Habermas optimis bahwa jurang pemisah yang
ada antara lembaga pemerintah (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dan
lembaga non-pemerintah (para akademisi, pers, cendekiawan, mahasiswa, aktifis
LSM, dan sebagainya), dapat terjembatani lewat jalan komunikasi politis.
Menurut Habermas, masyaraktat kompleks dapat membendung imperatif-imperatif
kapitalisme dan desakan-desakan birokrasi negara dengan cara menyambungkan
antara sistem politik demokrasi deliberatif dengan ruang publik.
Kebijakan publik adalah segala hal
yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah
memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses
pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan
bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara
masyarakat dengan pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Masalah
kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat tidak semua
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh seluruh
masyarakat. Ketika
pemerintah membuat sebuah kebijakan terkadang mengakibatkan kebijakan dari pemerintah tersebut justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat.
Kebijakan
pemerintah yang masih mengalami masalah dapat digambarkan yaitu Kebijakan
Pemerintah tentang Pedagang Kaki Lima. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan
terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam pelaksanaanya,
Keberadaan PKL kerap dianggap illegal karena menempati ruang publik dan tidak
sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan,
keindahan dan kerapian kota atau kita kenal dengan istilah 3K. Oleh karena PKL seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan
pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi.
Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL)
telah banyak menyita perhatian pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap
mengganggu ketertiban lalu lintas, jalanan menjadi tercemar, menimbulkan
kerawanan sosial dan tata ruang kota yang kacau. Dimata pemerintah citra
negatif tersebut telah mendogma. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus bersikap
arif dalam menentukan kebijakan. Masalah keberadaan pedagang kaki lima terutama
dikota-kota besar terutama kota Banjarmasin menjadi
warna tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi Pemerintah kota Banjarmasin. Pedagang
kaki lima atau PKL adalah merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terutama kebijakan tentang
ketertiban dan keindahan kota. Dampak yang paling signifikan yang dirasakan
oleh PKL adalah seringnya PKL menjadi korban penggusuran oleh para Satpol PP
serta banyaknya kerugian yang dialami oleh PKL tersebut, baik kerugian materil
maupun kerugian non materil.
A.
Deskripsi Kasus
Kota
Banjarmasin untuk menata Pedagang Kaki Lima (PKL) diatur dalam Peraturan Daerah
Kota Banjarmasin Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang
Kaki Lima. Peraturan ini dibuat untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL) tapi, kenyataannya tidak dapat berjalan dengan lancar karena masih banyak terdapat orang
yang berjualan di kawasan yang dilarang Pemerintah kota Banjarmasin.,
Hal ini merupakan masalah yang
sangat kompleks karena akan menghadapi dua sisi dilematis. Pertentangan antara
kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat dan
menimbulkan friksi diantara keduanya. Para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang
umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka bertahan dalam suatu
kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak kendala yang harus di hadapi
diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian
ditambah dengan berbagai aturan seperti adanya Peraturan Daerah yang melarang
keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan
pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat atau ditujukan untuk kesejahteraan rakyat atau dalam hal ini harus didasarkan pada asas oportunitas.
Pemerintah Banjarmasin untuk mengatasi pedagang yang
tidak memiliki tempat dan berjualan dipinggir jalan maka pemerintah membuka ruang
publik untuk merundingkan masalah penjual yang berjualan disembarang tempat dengan mengundang para pedagang, Pemerintah kota Banjarmasin itu sendiri dan salah
satu pengusaha lokal untuk mencari solusi terhadap permasalahan tersebut. Maka
dibukalah Kawasan Wisata Kuliner untuk harga sewa dirundingkan sesuai dengan
harga standar dan kemampuan pedagang untuk membayarnya yaitu Kerja Sama Pemerintah dengan Pengusaha lokal. Untuk memberi solusi kepada Pedagang Kaki
Lima.
B. Pengertian PKL ( Pedagang Kaki
Lima )
Pedagang
Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah
tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu
kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada
umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang
dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk
pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
susunan W.J.S Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap
sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai
(tangga) dimuka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung
diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam
telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi)
dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur
dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu
tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan
telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang
kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.
Pedagang Kaki Lima menurut Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer (1991), adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir
jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah
dibongkar pasang atau dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan atau
trotoar, tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau
tempat lain yang bukan miliknya.
Manning dan Tadjudin Noer Effendi (1985) menyebutkan bahwa
pedagang kaki lima adalah salah satu pekerjaan yang paling nyata dan penting
dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin.
Menurut
Breman (1988), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat yang
berpenghasilan rendah (gaji harian) dan mempunyai modal yang terbatas. Dalam
bidang ekonomi, pedagang kecil ini termasuk dalam sektor informal, di
mana merupakan pekerjaan yang tidak tetap dan tidak terampil serta
golongan-golongan yang tidak terikat pada aturan hukum.
Ø Ciri-ciri umum Pedagang Kaki Lima yang dikemukakan oleh kartono dkk.
(1980), yaitu:
1. Merupakan pedagang yang kadang-
kadang juga sekaligus berarti produsen;
2. Ada yang menetap pada lokasi
tertentu, ada yang bergerak dari tempat satu ketempat yang lain (menggunakan
pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar
pasang);
3.Menjajakan bahan makanan, minuman,
barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran;
4.Umumnya bermodal kecil, kadang hanya
merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai
imbalan atas jerih payahnya;
5. Kualitas barang- barang yang
diperdagangkan relativ rendah dan biasanya tidak berstandar;
6. Volume peredaran uang tidak seberapa
besar, para pembeli merupakan pembeli yang berdaya beli rendah;
7. Usaha skala kecil bisa berupa family
enterprise, dimana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik
langsung maupun tidak langsung;
8. Tawar menawar antar penjual dan
pembeli merupakan relasi ciri yang khas pada usaha pedagang kaki lima;
9. Dalam melaksanakan pekerjaannya ada
yang secara penuh, sebagian lagi melaksanakan setelah kerja atau pada waktu
senggang, dan ada pula yang melaksanakan musiman.
Ø Barang yang dijual Pedagang Kaki Lima
1. Makanan yang tidak dan belum
diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan dan
sayuran.
2. Makanan yang siap saji, seperti
nasi dan lauk pauk dan minuman.
3. Barang bukan makanan mulai dari
tekstil sampai obat-obatan.
4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas misalnya tukang
potong rambut dan sebagainya.
Ø Tempat
Beroperasi Pedagang Kaki Lima
Pedagang
kaki lima biasanya menjajakan dagangannya di tempat-tempat umum yang dianggap
strategis, antara lain:
1. Trotoar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, trotoar
adalah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi dari pada jalan tersebut,
tempat orang berjalan kaki. Pedagang kaki lima biasanya beraktivitas di
trotoar, sehingga trotoar bukan lagi sebagai tempat yang nyaman untuk pejalan
kaki karena sudah beralih fungsi.
2. Bahu Jalan, yaitu bagian tepi
jalan yang dipergunakan sebagai tempat untuk kendaraan yang mengalami kerusakan
berhenti atau digunakan oleh kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam
kebakaran, polisi yang sedang menuju tempat yang memerlukan bantuan kedaruratan
dikala jalan sedang mengalami kepadatan yang tinggi. Dari pengertian di atas,
fungsi bahu jalan adalah tempat berhenti sementara dan pergerakan pejalan kaki,
namun kenyataanya sebagai tepat pedagang kaki lima beraktivitas.
3. Badan Jalan, yaitu lebar jalan
yang dipergunakan untuk pergerakan lalu lintas.
Ø Bentuk sarana perdagangan yang
digunakan pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Gerobak/kereta dorong, yang biasanya
digunakan oleh pedagang yang berjualan makanan, minuman, atau rokok.
2. Pikulan/keranjang, bentuk sarana ini
digunakan oleh pedagang keliling atau semi permanen. Bentuk ini dimaksudkan
agar barang dagangan mudah dibawa atau berpindah tempat.
3. Warung semi permanen, yaitu berupa
gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan
dilengkapi dengan meja dan kursi.
4. Kios, bentuk sarana ini
menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah
bilik, yan mana pedagang tersebut juga tinggal di dalamnya.
5. Gelaran/alas, pedagang menggunakan alas tikar, kain atau
sejenisnya untuk menjajakan dagangannya.
Contoh eksistensi PKL di Banjarmasin ( kawasan wisata kuliner )
Mencari
tempat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman di kota Banjarmasin
untuk berakhir pekan atau di saat waktu kosong saat ini mempunyai banyak sekali
pilihan tempat yang bisa di kunjungi, salah satunya adalah Kawasan Wisata
Kuliner (KWK) Kayutangi. Ditempat yang baru di resmikan
pada 8 januari 2014 lalu, KWK merupakan tempat yang lengkap untuk merasakan
berbagai kuliner yang relatif murah tetapi higinis mulai dari masakan Banjar
sampai masakan luar ditempat lahan seluas lima ribu meter persegi ini. Insiatif
pembangunan KWK berasal dari pengusaha bernama H. Aftahuddin yang ingin
mengumpulkan pedagang makanan kaki lima di kawasan jalan Kayutangi sehingga mereka mempunyai tempat khusus untuk
berjualan sehingga memudahkan masyarakat sekitar mencari pusat makanan.
KWK (Kawasan Wisata Kuliner)
terletak Gang Pengkor Jl. Kayutangi 1 RT.02 Kota Banjarmasin tepatnya di
belakang Gedung Sultan Suriansyah, sekitar tiga kilometer dari pusat kota.
Waktu jam buka mulai tengah hari hingga tengah malam setiap hari, tiap akhir
pekan hampir tiap malam sangat ramai dipenuhi pengunjung yang berdatangan dari
penjuru Banjarmasin, entah perorangan, satu keluarga dan terlebih lagi
kebanyakan pengunjung adalah anak muda dan mahasiswa UNLAM yang tempatnya
sangat dekat dengan KWK. Jadi jika anda lebih suka suasana yang sepi, sore hari
atau malam selain akhir pekan merupakan waktu yang tepat untuk kesana.
Dalam perkembangannya, KWK mempunyai
sekitar 90 kios beserta fasilitas yang memadai seperti tempat parkir luas,
WIFI, toilet yang bersih, beserta panggung hiburan yang diadakan setiap akhir
pekan, selain itu juga KWK sering mengadakan event tertentu seperti perlombaan
ataupun nonton bareng dengan proyektor khusus terletak di lahan
parkirnya.
Selain itu Wali Kota
Banjarmasin Haji Muhidin juga membuka
Kawasan Wisata Mandiri di
Jalan Lambung Mangkurat.
Lokasi
sentra kuliner tepian Sungai Martapura yang juga juga dikenal sebagai jalur
Jalan Pos sepanjang sekitar 300 meter menghubungkan Jalan Hasanudin HM dengan
jalan Sudirman dekat Jembatan Merdeka.
Menurut Wali Kota keberadaan
sentra kuliner ini akan memperkuat posisi Kota Banjarmasin sebagai kota wisata,
khususnya sebagai wilayah paiwisata perairan. Dengan adanya lokasi
tersebut akan memudahkan wisatawan yang datang ke kota berpenduduk sekitar 700
ribu jiwa tersebut untuk menikmati kuliner khas setempat, seperti laksa,
ketupat kandangan, nasi kuning, lupis, lontong, dan penganan 41 macam. Selain itu juga
tersedia makanan nasional, seperti nasi goreng, soto, masakan padang, masakan
jawa, masakan Palembang, dan aneka makanan nusantara lainnya di sejumlah kios
yang tercatat 52 buah tersebut.
Ø Dampak positif PKL
Pada umumnya makanan yang dijual PKL memiliki harga yang tidak
tinggi, tersedia di banyak tempat, serta makanan yang beraneka ragam, Sehingga
PKL banyak menjamur di sudut-sudut kota, karena memang sesungguhnya pembeli
utama adalah kalangan menengah kebawah yang memiliki daya beli rendah. Dampak positif terlihat pula dari
segi sosial dan ekonomi karena keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan
ekonomi kota karena sektor informal memiliki karakteristik efisien dan
ekonomis. Hal ini
dikarenakan usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dan modal yang
digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak
menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.
Ø Dampak negatif PKL
Akibatnya adalah kaidah-kaidah
penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat
keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan
pejalan kaki berdesak-desakan, sehingga dapat
timbul tindak kriminal (pencopetan), mengganggu kegiatan ekonomi
pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung
seperti pinggir jalan, depan toko dan
sebagian dari barang yang mereka jual tersebut mudah mengalami penurunan
mutu yang berhubungan dengan kepuasan konsumen.
Sisi Negatif, karakteristik PKL yang
menggunakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar
untuk melakukan aktivitasnya yang mengakibatkan tidak berfungsinya
sarana-sarana kepentingan umum. Tidak tertampungnya kegiatan PKL di ruang
perkotaan, menyebabkan pola dan struktur kota modern dan tradisional berbaur
menjadi satu sehingga menimbulkan suatu tampilan yang kontras. Bangunan modern
nan megah berdampingan dengan bangunan sederhana bahkan cenderung kumuh. Perlu
adanya upaya yang terpadu dari pihak terkait untuk menertibkan Pedagang Kaki
Lima ini sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi ruang publik sesuai
peruntukkannya.
Hal tersebut berakibatkan penurunan kualitas ruang kota ditunjukkan
oleh semakin tidak terkendalinya perkembangan PKL sehingga seolah-olah semua
lahan kosong yang strategis maupun tempat-tempat yang strategis merupakan hak
PKL. PKL mengambil ruang dimana-mana tidak hanya ruang kosong atau terabaikan,
tetapi juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara
ilegal berjualan hampir di seleruh jalur pelestrian, ruang terbuka, jalur hijau
dan ruang kota lainnya. Alasannya karena aksesbilitasnya yang tinggi sehingga
berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen juga. Akibatnya adalah
kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali
mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakkan, sehingga dapat menimbulkan tindak
kriminal (pencopetan). Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena
lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan
depan toko. Selain itu, pada beberapa tempat keberadaan PKL mengganggu para
pengendara kendaraan bermotor dan mengganggu kelancaran lalu
lintas.
Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan penataan
atau penertiban PKL adalah kembalinya PKL yang sudah direlokasi ke tempat
semula yang ditertibkan. PKL yang mendatangi kembali lokasi yang sudah
ditertibkan tersebut terdiri dari PKL lama yang dulu ditertibkan dan PKL baru
yang memilih lokasi tersebut dalam melaksanakan aktivitasnya.
Ø Fenomena
menjamurnya Pedagang Kaki Lima terutama dikota-kota besar terjadi karena :
1.
Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia berdampak
pada banyak perusahaan tidak beroperasi lagi seperti sedia kala oleh karena
ketidakmampuan perusahaan menutupi biaya operasionalnya sehingga timbul
kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini juga memberi kontribusi
terhadap peningkatan jumlah pengangguran yang umumnya bermukim di
wilayah perkotaan. Demi mempertahankan hidup, orang-orang yang tidak
tertampung dalam sektor formal maupun yang terkena dampak PHK tersebut kemudian
masuk ke dalam sektor salah satunya adalah menjadi pedagang Kaki Lima .
2.
Perencanaan ruang tata kota yang hanya terfokus pada
ruang-ruang formal saja yang menampung kegiatan formal. Seiring dengan
berjalannya waktu, keberadaan ruang-ruang fomal kota tersebut mendorong
munculnya kegiatan informal kota salah satunya di sektor perdagangan, yaitu
Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai kegiatan pendukung (activity support).
3.
Pertumbuhan penduduk kota yang sangat cepat di
Indonesia lebih banyak disebabkan adanya arus urbanisasi dan pembengkakan kota.
Keadaan semacam ini menyebabkan kebutuhan lapangan kerja di perkotaan semakin
tinggi. Seiring dengan hal tersebut, ternyata sektor formal tidak mampu
menyerap seluruh pertambahan angkatan kerja. Akibatnya terjadi kelebihan
tenaga kerja yang tidak tertampung, mengalir dan mempercepat tumbuhnya sektor
informal. Salah satu bentuk perdagangan informal yang penting adalah Pedagang
Kaki Lima.
C. Proses Kebijakan Pedagang Kaki
Lima (PKL)
Penataan
PKL berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2012
1. Pemerintah Daerah
mempunyai kewenangan untuk menata PKL.
2. Penataan
PKL dilakukan terhadap PKL dan Lokasi tempat kegiatan usaha PKL.
3. Penataan
dilakukan dikawasan perkotaan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang terkait dengan tata ruang.
4. Walikota
melakukan penataan PKL dengan cara:
a. pendataan
PKL;
b. pendaftaran
PKL;
c. penetapan
Lokasi PKL;
d. pemindahan
PKL dan penghapusan lokasi PKL; dan
e. peremajaan
lokasi PKL.
Penetapan Lokasi PKL berdasarkan PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN
NOMOR 26 TAHUN 2012 Pasal 21
1.
Pemerintah
Daerah menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukkannya sebagai lokasi
tempat kegiatan usaha PKL.
2.
Penetapan
lokasi atau kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan,
ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
3.
Lokasi
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan lokasi binaan.
4.
Lokasi
binaan yang telah ditetapkan untuk dilengkapi dengan rambu atau tanda yang
menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Lokasi
binaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terdiri atas:
a.
lokasi permanen; dan
b. lokasi sementara.
6.
Lokasi
permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diarahkan untuk menjadi
kawasan atau pusat-pusat bidang usaha promosi, produksi unggulan daerah.
7.
Lokasi
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b merupakan lokasi tempat
usaha PKL yang terjadwal dan terkendali sampai jangka waktu yang ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah.
8.
Lokasi
binaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
9.
Lokasi
sementara sebagai akibat dari keterbatasan lahan.
Pemerintah Kota/daerah
mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain .
1. Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan
berupa kios-kios.
2. Kios kios tersebut disediakan secara gratis.
3. Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4. Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah
keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah
kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik
bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat
dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek
promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah
merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani
keberadaan PKL.
Pemerintah Kota merasa telah
melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa
pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi
penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih
karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;
Pertama, dalam membuat agenda
kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam
menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikut sertakan
atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh
Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris
Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.
Kedua adanya perbedaan
persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah dengan
pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara
keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali menggunakan
perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses
negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua
kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah
Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan
relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi
tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah Kota
atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut
mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah,
sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.
1.2 Teori Demokrasi Deliberatif
Istilah “deliberasi” berasal dari
kata Latin deliberatio yang
lalu di dalam bahasa Inggris menjadi deliberation.
Istilah ini berarti “konsultasi,” “menimbang-imbang” atau – kita telah memiliki
kosa kata politis ini “musyawarah.” Semua arti leksikal ini harus ditempatkan
dalam konteks “publik” atau “kebersamaan secara politis” untuk memberi
pengertian yang penuh sebagai sebuah konsep dalam teori diskursus (Hardiman,
2009).
Menurut Reiner Forst, “Demokrasi Deliberatif berarti bahwa
bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi
sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu
terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif. Dengan
demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam
hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas agar
proses deliberasi (musyawarah) berjalan fair, terlebih dahulu diperlukan pengujian secara publik dan
diskursif. Habermas menekankan adanya pembentukan produk hukum dengan cara
yang fair agar dapat
mencapai legitimitas.
Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat
dikontrol melalui kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan
yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani
mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah
menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi berfungsi
untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada keberanian untuk
mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap
sistem dalam kebijakan itu sendiri.
Kebijakan deliberatif merupakan bentuk derivisi dari demokrasi
delibratif , sementara demokrasi deliberatif berakar pada konsepsi “ruang
publik sendiri” ( public sphere)
Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui
dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder). Tujuannya untuk
mencapai mufakat melalui musyawarah
berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti
dari demokrasi deliberatif. Demokrasi
deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation),
prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Demokrasi deliberatif mengutamakan kerjasama
antar-ide dan antarpihak, sedangkan kata kunci
demokrasi perwakilan adalah kompetisi antar-ide dan antar kelompok.
Pengertian demokrasi deliberatif
diuraikan Hardiman (2004) sebagai berikut:
Apa itu demokrasi deliberatif? Kata “deliberasi”
berasal dari kata latin deliberatio yang
artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang”
atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif,
jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat dalam
kosakata teoretis Habermas “diskursus
publik”. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga
negara dalam pembentukan aspirasi dan opini (oefentlicher Meinungs und Willensbildung sprozess) agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang
dihasilkan oleh pihak yang
memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah (Hardiman dalm jurnal mardiyanta 2004).
Sebagai sebuah konsep dalam teori
diskursus, istilah demokrasi deliberatif
sudah tersirat dalam diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politis,
proseduralisme atau kedaulatan rakyat sebagai prosedur. Demokrasi deliberative akan mengarahkan kita
pada proses legitimasi, karena demokrasi deliberative
tidak memusatkan pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukan
apa yang harus dilakukan oleh warga, melainkan menunjukan pada prosedur untuk
menghasilkan sebuah aturan.
Dengan kata lain, model demokrasi deliberatif
meminati persolan kesahihan dari keputusan-keputusan kolektif. Menurut Hardiman
(2009), model ini dapat secara memadai menjelaskan arti kontrol demokratis
melalui opini publik. Opini-opini publik bisa jadi merupakan opini-opini
mayoritas yang mengklaim legitimitas mereka. Opini-opini itu juga dapat
memiliki suatu bentuk logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal
dan rasional. Akan tetapi opini-opini mayoritas tidak niscaya identik dengan
opini-opini yang benar. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih
penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk
sedemikian rupa sehingga seluruh warga dapat mematuhi opini-opini itu. Dengan
begitu, demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi
secara demokratis.
Model ini
sama sekali tidak memberitahu bagaimana kita dapat menghasilkan alasan-alasan
yang bagus, melainkan hanya mengatakan bahwa alasan-alasan yang bagus untuk
sebuah keputusan politis haruslah diuji secara publik sedemikian rupa sehingga
alasan-alasan tersebut diterima secara intersubjektif oleh semua warga Negara
dan tidak menutup diri dari kritik dan revisi-revisi yang
diperlukan.
Rasionalitas
hasil deliberasi politis ini, seperti yang dikatakan Habermas, berdasarkan
“pada arti normative prosedur demokratis yang seharusnya menjamin bahwa semua
persoalan yang relevan bagi masyarakat dijadikan tema.” Di dalam demokrasi
deliberatif semua tipe diskursus praktis beroperasi di dalam formasi opini dan
aspirasi secara demokratis untuk secara publik menguji alasan-alasan bagi
peraturan politis yang diusulkan itu (Hardiman, 2009). Pengujian secara publik
ini, praktis menyiratkan bahwa segala putusan-putusan publik berlandaskan pada
keputusan bersama atau atas perjuangan warga untuk mencapai saling pengertian
ini secara intersubjektif atau sifat rasional yang dicapai tidak semata-mata
oleh seorang subjek tunggal dan bukan juga atas paksaan, karena Habermas
mengandaikan bahwa:
Sebuah
persetujuan kehilangan cirinya sebagai keyakinan bersama, begitu pihak-pihak
yang mencapai persetujuan tersebut mengetahui bahwa persetujuan itu dihasilkan
dari pemaksaan kehendak yang berasal dari luar proses itu (dikutip dari
Hardiman, 2009: 36)Dengan begitu, legitimitas tidak terletak pada hasil
komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka
terhadap pengujian publik, semakin legitim pula hasilnya. Karena itu,
keterbukaan terhadap revisi justru menambah legitimitas sebuah kebijakan atau norma publik. Sehingga akan
sampai pada tahap pengujian publik yang terus-menerus. Walaupun demikian,
pengujian ini akan mencapai konsensus karena ada hubungan antara tindakan
komunikatif dengan Lebenswelt
(dunia-kehidupan). Menurut Habermas, Lebenswelt
di satu pihak memungkinkan tindakan komunikatif dan membantu pencapaian
konsensus karena berlaku sebagai basis bersama bagi para pelaku tindakan
komunikatif. Oleh karena itu, Habermas mengandaikan bahwa legitimitas itu
terlahir dari diskursus publik. Melalui diskursus itu aspirasi politis umum
terbangun secara komunikatif di dalam suatu ruang publik politis. Maka itu, ruang publik politis tak
lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi
opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara
dapat berlangsung (Hardiman, 2009). Oleh karena itu, Habermas memahami ruang
publik politis itu sebagai prosedur komunikasi. Ruang publik itu memungkinkan
para warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu
menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warganegara untuk menggunakan
kekuatan argumentasi. Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi
komunikasi, bukanlah institusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan
tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Berarti semua orang dapat mengakses
ruang publik ini.
Habermas seperti yang diungkapkan Hardiman
memahami ruang publik politis sebagai kondisi komunikasi yang dapat menumbuhkan
kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawannya
terhadap sumber-sumber lain, yakni uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi
Negara), agar tercapai suatu keseimbangan. Ruang publik lalu dimengerti sebagi
ruang otonom yang berbeda dari Negara dan pasar. Ia berciri otonom karena tidak
hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis, melainkan dari
sumber-sumbernya sendiri. Habermas memahami ruang publik politis juga sebagai
sebuah jejaring untuk komunikasi tema-tema dan sikap-sikap, yakni opini-opini.
Jadi, ruang publik politis bukan sekedar ruang publik atau wadah pertemuan
ide-ide tetapi ruang yang dapat berfungsi secara politis.
ANALISIS
Berdasarkan teori
Demokrasi Deleberatif yang berakar pada konsepsi “ruang publik sendiri” (public sphere) Demokrasi deliberatif
mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui
dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder). Tujuannya untuk
mencapai mufakat melalui musyawarah
berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti
dari demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif
mengutamakan kerjasama antar-ide dan antar pihak, maka kebijakan pemerintah dibuat dengan pemikiran yang rasional dan
proporsional. Logikanya pemerintah mengeluarkan kebijakan relokasi setelah
melakukan pembahasan bersama para PKL dan Pengusaha yang bersedia di ajak
bekerjasama adalah untuk menemukan solusi agar pihak saling diuntungkan. Dengan
dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang
indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL melalui
relokasi tersebut ditujukan untuk menopang ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL
melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya
dengan ditempatkanya pedagang kaki lima pada kios-kios (Kawasan Wisata Kuliner)
yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga
dengan adanya legalisasi tersebut pemerintah kota Banjarmasin dapat menarik
retrebusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah daerah dan
semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.
Pemerintah kota
Banjarmasin menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang
terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya Kawasan Wisata
Kuliner yang berupa kios-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu
membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga memperhatikan aspek
promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan dan kemudahan modal usaha. Perundingan
ini solusi terbaik dan bijaksana dalam adanya keberadaan PKL.
Dalam suatu kebijakan ada yang pro dan kontra
1.
Pedagang Kaki Lima yang setuju
relokasi
Objek utama yang berkaitan
secara langsung dengan kebijakan relokasi adalah PKL tersebut. Dalam merespon
kebijakan relokasi tersebut PKL terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pedagang
yang setuju relokasi tersebut dan pedagang yang menolak relokasi tersebut.
Pedagang yang setuju dengan relokasi segera mendaftarkan diri kepada Dinas
Perindustiran dan Perdagangan kota Banjarmasin. Pedagang yang setuju dengan relokasi
adalah dengan kesediaan mereka mendapatkan tempat yang lebih baik, mendapatkan
legalitas, dan pemerintah akan melakukan pelatihan dan kemudahan modal setelah
relokasi. Selain itu, jika mereka bersikeras untuk tidak mendaftarkan diri,
dikhawatirkan nanti diadakan relokasi malah tidak mendapatkan kios.
2.
Pedagang Kaki Lima menolak
Relokasi
Pedagang yang menolak relokasi
disebabkan karena takut akan terjadi persaingan karena tempat relokasi tersebut
akan memungkinan terjadi adanya kesamaan barang jualan para pedagang yang
berjualan sejenis sehingga akan mengurangi pendapatan mereka.
Kesimpulan
Pedagang Kaki Lima menurut Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer (1991), adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir
jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah
dibongkar pasang atau dipindahkan serta mempergunakan bagian jalan atau
trotoar, tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau
tempat lain yang bukan miliknya. Keberadaan Pedagang Kaki Lima ini
tidak bisa di hindari di Kota Banjarmasin.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa untuk mengatasi para pedagang kaki lima di kota Banjarmasin
dibuat tempat untuk menampung sebagian pedagang kaki lima yaitu Kawasan Wisata
Kuliner yang berada di terletak Gang Pengkor Jl. Kayutangi 1 RT. 02 Kota
Banjarmasin tepatnya di belakang Gedung Sultan Suriansyah, sekitar tiga
kilometer dari pusat kota dan Kawasan Wisata Kuliner di
Jalan Brigjen Hasan Basri lokasi sentra kuliner
tepian Sungai Martapura yang juga juga dikenal sebagai jalur Jalan Pos
sepanjang sekitar 300 meter menghubungkan Jalan Hasanudin HM dengan jalan
Sudirman dekat Jembatan Merdeka.
Kebijakan
ini dibuat Berdasarkan teori Demokrasi Deleberatif yang berakar pada konsepsi “ruang publik
sendiri” (public sphere)
Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui
dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder). Tujuannya untuk mencapai
mufakat melalui musyawarah berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan
mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga
(citizen engagement) merupakan
inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi
deliberatif mengutamakan kerjasama antar-ide dan antar pihak, maka kebijakan pemerintah dibuat dengan pemikiran yang rasional dan
proporsional. Logikanya pemerintah mengeluarkan kebijakan relokasi setelah
melakukan pembahasan bersama para PKL dan Pengusaha yang bersedia di ajak
bekerjasama adalah untuk menemukan solusi agar pihak saling diuntungkan. Dengan
dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang
indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL melalui
relokasi tersebut ditujukan untuk menopang ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL
melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya
dengan ditempatkanya pedagang kaki lima pada kios-kios (Kawasan Wisata Kuliner)
yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga dengan
adanya legalisasi tersebut pemerintah kota Banjarmasin dapat menarik retrebusi
secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah daerah dan semakin menambah
Pendapatan Asli Daerah.
Daftar
Pustaka
Mardiyanta
Antun, 2011Kebijakan Publik Deliberatif:
Relevansi dan Tantangan lmplementasinya, di Terbitkan Universitas Departemen Ilmu Administrasi
FISIP Universitas Airlanggajurnal Vol 24 No.3.
Habermas Jurgen, 2012,
Demokrasi delibratif dan ruang publik di akses Edukasi.kompasiana.com di
akses 12/06.2013. di www. Google.com
No comments:
Post a Comment