Popular Posts

Thursday, October 1, 2015

Demokrasi Deliberatif


Studi Demokrasi (Translate Buku)
“Demokrasi Deliberatif”

Disusun Oleh :






                                    Muhammad Ridhoni                                      D1B112026


JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2015

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat kompleks terdiri dari jaringan-jaringan aneka bentuk komunikasi yang saling tumpang tindih dan terkait dengan berbagai kepentingan, gaya hidup dan orientasi nilai kultural, sosial, serta religius. Identitas antara kehendak pemerintah dan rakyatnya sulit dicapai. Kedaulatan rakyat tidak bisa dibayangkan secara konkrit. Kedaulatan rakyat dalam masyarakat kompleks cukup dibayangkan sebagai “kontrol atas pemerintah melalui opini publik”. Bagi Habermas, suatu negara dapat disebut berdaulat ketika negara (pada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dapat tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Teori demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan melancarkan kegiatan diskursus publik di berbagai bidang sosial-politis-kultural untuk meningkatkan partisipasi demokratis warga negara.
Pada gagasan teori politik demokrasi deliberatif, Habermas optimis bahwa jurang pemisah yang ada antara lembaga pemerintah (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dan lembaga non-pemerintah (para akademisi, pers, cendekiawan, mahasiswa, aktifis LSM, dan sebagainya), dapat terjembatani lewat jalan komunikasi politis. Menurut Habermas, masyaraktat kompleks dapat membendung imperatif-imperatif kapitalisme dan desakan-desakan birokrasi negara dengan cara menyambungkan antara sistem politik demokrasi deliberatif dengan ruang publik.
Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Masalah kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Ketika  pemerintah membuat sebuah kebijakan terkadang mengakibatkan kebijakan dari pemerintah tersebut justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat.
Kebijakan pemerintah yang masih mengalami masalah dapat digambarkan yaitu Kebijakan Pemerintah tentang Pedagang Kaki Lima. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam pelaksanaanya, Keberadaan PKL kerap dianggap illegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan kerapian kota atau kita kenal dengan istilah 3K. Oleh karena PKL seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi.
Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak menyita perhatian pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, jalanan menjadi tercemar, menimbulkan kerawanan sosial dan tata ruang kota yang kacau. Dimata pemerintah citra negatif tersebut telah mendogma. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus bersikap arif dalam menentukan kebijakan. Masalah keberadaan pedagang kaki lima terutama dikota-kota besar  terutama kota Banjarmasin menjadi warna tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi Pemerintah kota Banjarmasin. Pedagang kaki lima atau PKL adalah merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terutama kebijakan tentang ketertiban dan keindahan kota. Dampak yang paling signifikan yang dirasakan oleh PKL adalah seringnya PKL menjadi korban penggusuran oleh para Satpol PP serta banyaknya kerugian yang dialami oleh PKL tersebut, baik kerugian materil maupun kerugian non materil.

A.    Deskripsi Kasus
Kota Banjarmasin untuk menata Pedagang Kaki Lima (PKL) diatur dalam Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Peraturan ini dibuat untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL) tapi, kenyataannya tidak dapat berjalan dengan lancar karena masih banyak terdapat orang yang berjualan di kawasan yang dilarang Pemerintah kota Banjarmasin.,
Hal ini merupakan masalah yang sangat kompleks karena akan menghadapi dua sisi dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat dan menimbulkan friksi diantara keduanya. Para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak kendala yang harus di hadapi diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah dengan berbagai aturan seperti adanya Peraturan Daerah yang melarang keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat atau ditujukan untuk kesejahteraan rakyat atau dalam hal ini harus didasarkan pada asas oportunitas.
Pemerintah Banjarmasin untuk mengatasi pedagang yang tidak memiliki tempat dan berjualan dipinggir jalan maka pemerintah membuka ruang publik untuk merundingkan masalah penjual yang berjualan disembarang tempat dengan mengundang para pedagang, Pemerintah kota Banjarmasin itu sendiri dan salah satu pengusaha lokal untuk mencari solusi terhadap permasalahan tersebut. Maka dibukalah Kawasan Wisata Kuliner untuk harga sewa dirundingkan sesuai dengan harga standar dan kemampuan pedagang untuk membayarnya yaitu Kerja Sama Pemerintah dengan Pengusaha lokal. Untuk memberi solusi kepada Pedagang Kaki Lima.

B.    Pengertian PKL ( Pedagang Kaki Lima )
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) dimuka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.
Pedagang Kaki Lima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991), adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan atau trotoar, tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya.
Manning dan Tadjudin Noer Effendi (1985) menyebutkan bahwa pedagang kaki lima adalah salah satu pekerjaan yang paling nyata dan penting dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin.
Menurut Breman (1988), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (gaji harian) dan mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan yang tidak tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada aturan hukum.

Ø   Ciri-ciri umum  Pedagang Kaki Lima yang dikemukakan oleh kartono dkk. (1980), yaitu:
1. Merupakan pedagang yang kadang- kadang juga sekaligus berarti produsen;
2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat satu ketempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang);
3.Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran;
4.Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atas jerih payahnya;
5. Kualitas barang- barang yang diperdagangkan relativ rendah dan biasanya tidak berstandar;
6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli merupakan pembeli yang berdaya beli rendah;
7. Usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, dimana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik langsung maupun tidak langsung;
8. Tawar menawar antar penjual dan pembeli merupakan relasi ciri yang khas pada usaha pedagang kaki lima;
9. Dalam melaksanakan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian lagi melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang, dan ada pula yang melaksanakan musiman.




Ø  Barang yang dijual Pedagang Kaki Lima
1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan dan sayuran.
2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauk dan minuman.
3. Barang bukan makanan mulai dari tekstil sampai obat-obatan.
4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas misalnya tukang potong rambut dan sebagainya.


Ø  Tempat Beroperasi Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima biasanya menjajakan dagangannya di tempat-tempat umum yang dianggap strategis, antara lain:
1. Trotoar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, trotoar adalah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi dari pada jalan tersebut, tempat orang berjalan kaki. Pedagang kaki lima biasanya beraktivitas di trotoar, sehingga trotoar bukan lagi sebagai tempat yang nyaman untuk pejalan kaki karena sudah beralih fungsi.

2. Bahu Jalan, yaitu bagian tepi jalan yang dipergunakan sebagai tempat untuk kendaraan yang mengalami kerusakan berhenti atau digunakan oleh kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran, polisi yang sedang menuju tempat yang memerlukan bantuan kedaruratan dikala jalan sedang mengalami kepadatan yang tinggi. Dari pengertian di atas, fungsi bahu jalan adalah tempat berhenti sementara dan pergerakan pejalan kaki, namun kenyataanya sebagai tepat pedagang kaki lima beraktivitas.
3. Badan Jalan, yaitu lebar jalan yang dipergunakan untuk pergerakan lalu lintas.

Ø  Bentuk sarana perdagangan yang digunakan pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Gerobak/kereta dorong, yang biasanya digunakan oleh pedagang yang berjualan makanan, minuman, atau rokok.
2. Pikulan/keranjang, bentuk sarana ini digunakan oleh pedagang keliling atau semi permanen. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau berpindah tempat.
3. Warung semi permanen, yaitu berupa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan meja dan kursi.
4. Kios, bentuk sarana ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah bilik, yan mana pedagang tersebut juga tinggal di dalamnya.
5. Gelaran/alas, pedagang menggunakan alas tikar, kain atau sejenisnya untuk menjajakan dagangannya.

Contoh eksistensi PKL di Banjarmasin ( kawasan wisata kuliner )
Mencari tempat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman di kota Banjarmasin untuk berakhir pekan atau di saat waktu kosong saat ini mempunyai banyak sekali pilihan tempat yang bisa di kunjungi, salah satunya adalah Kawasan Wisata Kuliner (KWK) Kayutangi. Ditempat yang baru di resmikan pada 8 januari 2014 lalu, KWK merupakan tempat yang lengkap untuk merasakan berbagai kuliner yang relatif murah tetapi higinis mulai dari masakan Banjar sampai masakan luar ditempat lahan seluas lima ribu meter persegi ini. Insiatif pembangunan KWK berasal dari pengusaha bernama H. Aftahuddin yang ingin mengumpulkan pedagang makanan kaki lima di kawasan jalan Kayutangi sehingga mereka mempunyai tempat khusus untuk berjualan sehingga memudahkan masyarakat sekitar mencari pusat makanan. 
KWK (Kawasan Wisata Kuliner) terletak Gang Pengkor Jl. Kayutangi 1 RT.02 Kota Banjarmasin tepatnya di belakang Gedung Sultan Suriansyah, sekitar tiga kilometer dari pusat kota. Waktu jam buka mulai tengah hari hingga tengah malam setiap hari, tiap akhir pekan hampir tiap malam sangat ramai dipenuhi pengunjung yang berdatangan dari penjuru Banjarmasin, entah perorangan, satu keluarga dan terlebih lagi kebanyakan pengunjung adalah anak muda dan mahasiswa UNLAM yang tempatnya sangat dekat dengan KWK. Jadi jika anda lebih suka suasana yang sepi, sore hari atau malam selain akhir pekan merupakan waktu yang tepat untuk kesana. 
Dalam perkembangannya, KWK mempunyai sekitar 90 kios beserta fasilitas yang memadai seperti tempat parkir luas, WIFI, toilet yang bersih, beserta panggung hiburan yang diadakan setiap akhir pekan, selain itu juga KWK sering mengadakan event tertentu seperti perlombaan ataupun nonton bareng dengan proyektor khusus terletak di lahan parkirnya. 
Selain itu Wali Kota Banjarmasin Haji Muhidin juga membuka Kawasan Wisata Mandiri  di Jalan Lambung Mangkurat. Lokasi sentra kuliner tepian Sungai Martapura yang juga juga dikenal sebagai jalur Jalan Pos sepanjang sekitar 300 meter menghubungkan Jalan Hasanudin HM dengan jalan Sudirman dekat Jembatan Merdeka.
Menurut Wali Kota keberadaan sentra kuliner ini akan memperkuat posisi Kota Banjarmasin sebagai kota wisata, khususnya sebagai wilayah paiwisata perairan. Dengan adanya lokasi tersebut akan memudahkan wisatawan yang datang ke kota berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa tersebut untuk menikmati kuliner khas setempat, seperti laksa, ketupat kandangan, nasi kuning, lupis, lontong, dan penganan 41 macam. Selain itu juga tersedia makanan nasional, seperti nasi goreng, soto, masakan padang, masakan jawa, masakan Palembang, dan aneka makanan nusantara lainnya di sejumlah kios yang tercatat 52 buah tersebut.

Ø  Dampak positif PKL
Pada umumnya makanan yang dijual PKL memiliki harga yang tidak tinggi, tersedia di banyak tempat, serta makanan  yang beraneka ragam, Sehingga PKL banyak menjamur di sudut-sudut kota, karena memang sesungguhnya pembeli utama adalah kalangan menengah kebawah yang memiliki daya beli rendah. Dampak positif terlihat pula dari segi sosial dan ekonomi karena keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi kota karena sektor informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis. Hal ini dikarenakan usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dan modal yang digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.

Ø  Dampak negatif PKL
Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakan,  sehingga  dapat  timbul  tindak kriminal  (pencopetan), mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan, depan toko dan  sebagian dari barang yang mereka jual tersebut mudah mengalami penurunan mutu yang berhubungan dengan kepuasan konsumen.
Sisi Negatif, karakteristik PKL yang menggunakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar untuk melakukan aktivitasnya yang mengakibatkan tidak berfungsinya sarana-sarana kepentingan umum. Tidak tertampungnya kegiatan PKL di ruang perkotaan, menyebabkan pola dan struktur kota modern dan tradisional berbaur menjadi satu sehingga menimbulkan suatu tampilan yang kontras. Bangunan modern nan megah berdampingan dengan bangunan sederhana bahkan cenderung kumuh. Perlu adanya upaya yang terpadu dari pihak terkait untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima ini sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi ruang publik sesuai peruntukkannya.
Hal tersebut berakibatkan penurunan kualitas ruang kota ditunjukkan oleh semakin tidak terkendalinya perkembangan PKL sehingga seolah-olah semua lahan kosong yang strategis maupun tempat-tempat yang strategis merupakan hak PKL. PKL mengambil ruang dimana-mana tidak hanya ruang kosong atau terabaikan, tetapi juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara ilegal berjualan hampir di seleruh jalur pelestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan ruang kota lainnya. Alasannya karena aksesbilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen juga. Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakkan, sehingga dapat menimbulkan tindak kriminal (pencopetan). Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko. Selain itu, pada beberapa tempat keberadaan PKL mengganggu para pengendara kendaraan bermotor dan mengganggu kelancaran lalu lintas.  
Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan penataan atau penertiban PKL adalah kembalinya PKL yang sudah direlokasi ke tempat semula yang ditertibkan. PKL yang mendatangi kembali lokasi yang sudah ditertibkan tersebut terdiri dari PKL lama yang dulu ditertibkan dan PKL baru yang memilih lokasi tersebut dalam melaksanakan aktivitasnya.


Ø  Fenomena menjamurnya Pedagang Kaki Lima terutama dikota-kota besar terjadi karena :
1.   Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia berdampak pada banyak perusahaan tidak beroperasi lagi seperti sedia kala oleh karena ketidakmampuan perusahaan menutupi biaya operasionalnya sehingga timbul kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini juga memberi kontribusi terhadap peningkatan jumlah pengangguran yang umumnya bermukim di wilayah perkotaan. Demi mempertahankan hidup, orang-orang yang tidak tertampung dalam sektor formal maupun yang terkena dampak PHK tersebut kemudian masuk ke dalam sektor salah satunya adalah menjadi pedagang Kaki Lima . 
2.   Perencanaan ruang tata kota yang hanya terfokus pada ruang-ruang formal saja yang menampung kegiatan formal. Seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan ruang-ruang fomal kota tersebut mendorong munculnya kegiatan informal kota salah satunya di sektor perdagangan, yaitu Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai kegiatan pendukung (activity support). 
3.   Pertumbuhan penduduk kota yang sangat cepat di Indonesia lebih banyak disebabkan adanya arus urbanisasi dan pembengkakan kota. Keadaan semacam ini menyebabkan kebutuhan lapangan kerja di perkotaan semakin tinggi. Seiring dengan hal tersebut, ternyata sektor formal tidak mampu menyerap seluruh pertambahan angkatan kerja. Akibatnya terjadi kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung, mengalir dan mempercepat tumbuhnya sektor informal. Salah satu bentuk perdagangan informal yang penting adalah Pedagang Kaki Lima.


C. Proses Kebijakan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Penataan PKL berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2012
1. Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk menata PKL.
2. Penataan PKL dilakukan terhadap PKL dan Lokasi tempat kegiatan usaha PKL.
3. Penataan dilakukan dikawasan perkotaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan tata ruang.
4. Walikota melakukan penataan PKL dengan cara:
a. pendataan PKL;
b. pendaftaran PKL;
c. penetapan Lokasi PKL;
d. pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL; dan
e. peremajaan lokasi PKL.


Penetapan Lokasi PKL berdasarkan PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN  NOMOR 26 TAHUN 2012 Pasal 21

1.   Pemerintah Daerah menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukkannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL.
2.   Penetapan lokasi atau kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3.   Lokasi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan lokasi binaan.
4.   Lokasi binaan yang telah ditetapkan untuk dilengkapi dengan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Lokasi binaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terdiri atas:
a. lokasi permanen; dan
b. lokasi sementara.
6.   Lokasi permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diarahkan untuk menjadi kawasan atau pusat-pusat bidang usaha promosi, produksi unggulan daerah.
7.   Lokasi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b merupakan lokasi tempat usaha PKL yang terjadwal dan terkendali sampai jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
8.   Lokasi binaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
9.   Lokasi sementara sebagai akibat dari keterbatasan lahan.

Pemerintah Kota/daerah mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain .
1. Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.
2. Kios kios tersebut disediakan secara gratis.
3. Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4. Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.
Pemerintah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;
Pertama, dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikut sertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.
Kedua adanya  perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.

1.2 Teori Demokrasi Deliberatif
Istilah “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang lalu di dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti “konsultasi,” “menimbang-imbang” atau – kita telah memiliki kosa kata politis ini “musyawarah.” Semua arti leksikal ini harus ditempatkan dalam konteks “publik” atau “kebersamaan secara politis” untuk memberi pengertian yang penuh sebagai sebuah konsep dalam teori diskursus (Hardiman, 2009).
Menurut Reiner Forst, “Demokrasi Deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif. Dengan demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas agar proses deliberasi (musyawarah) berjalan fair, terlebih dahulu diperlukan pengujian secara publik dan diskursif. Habermas menekankan adanya pembentukan produk hukum dengan cara yang fair agar dapat mencapai legitimitas.
Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem dalam kebijakan itu sendiri.
Kebijakan deliberatif merupakan bentuk derivisi dari demokrasi delibratif , sementara demokrasi deliberatif berakar pada konsepsi “ruang publik sendiri” ( public sphere) Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder). Tujuannya untuk mencapai mufakat melalui musyawarah berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation), prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Demokrasi deliberatif mengutamakan kerjasama antar-ide dan antar­pihak, sedangkan kata kunci demokrasi perwakilan adalah kompetisi antar-ide dan antar­ kelompok.
Pengertian demokrasi deliberatif diuraikan Hardiman (2004) sebagai berikut:
Apa itu demokrasi deliberatif? Kata “deliberasi” berasal dari kata latin deliberatio yang artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang” atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat dalam kosakata teoretis Habermas “diskursus publik”. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam pembentukan aspirasi dan opini (oefentlicher Meinungs und Willensbildung sprozess) agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah (Hardiman dalm jurnal mardiyanta 2004).
Sebagai sebuah konsep dalam teori diskursus, istilah demokrasi deliberatif sudah tersirat dalam diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politis, proseduralisme atau kedaulatan rakyat sebagai prosedur. Demokrasi deliberative akan mengarahkan kita pada proses legitimasi, karena demokrasi deliberative tidak memusatkan pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukan apa yang harus dilakukan oleh warga, melainkan menunjukan pada prosedur untuk menghasilkan sebuah aturan.
 Dengan kata lain, model demokrasi deliberatif meminati persolan kesahihan dari keputusan-keputusan kolektif. Menurut Hardiman (2009), model ini dapat secara memadai menjelaskan arti kontrol demokratis melalui opini publik. Opini-opini publik bisa jadi merupakan opini-opini mayoritas yang mengklaim legitimitas mereka. Opini-opini itu juga dapat memiliki suatu bentuk logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Akan tetapi opini-opini mayoritas tidak niscaya identik dengan opini-opini yang benar. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warga dapat mematuhi opini-opini itu. Dengan begitu, demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi secara demokratis. Model ini sama sekali tidak memberitahu bagaimana kita dapat menghasilkan alasan-alasan yang bagus, melainkan hanya mengatakan bahwa alasan-alasan yang bagus untuk sebuah keputusan politis haruslah diuji secara publik sedemikian rupa sehingga alasan-alasan tersebut diterima secara intersubjektif oleh semua warga Negara dan tidak menutup diri dari kritik dan revisi-revisi yang diperlukan.           
Rasionalitas hasil deliberasi politis ini, seperti yang dikatakan Habermas, berdasarkan “pada arti normative prosedur demokratis yang seharusnya menjamin bahwa semua persoalan yang relevan bagi masyarakat dijadikan tema.” Di dalam demokrasi deliberatif semua tipe diskursus praktis beroperasi di dalam formasi opini dan aspirasi secara demokratis untuk secara publik menguji alasan-alasan bagi peraturan politis yang diusulkan itu (Hardiman, 2009). Pengujian secara publik ini, praktis menyiratkan bahwa segala putusan-putusan publik berlandaskan pada keputusan bersama atau atas perjuangan warga untuk mencapai saling pengertian ini secara intersubjektif atau sifat rasional yang dicapai tidak semata-mata oleh seorang subjek tunggal dan bukan juga atas paksaan, karena Habermas mengandaikan bahwa: Sebuah persetujuan kehilangan cirinya sebagai keyakinan bersama, begitu pihak-pihak yang mencapai persetujuan tersebut mengetahui bahwa persetujuan itu dihasilkan dari pemaksaan kehendak yang berasal dari luar proses itu (dikutip dari Hardiman, 2009: 36)Dengan begitu, legitimitas tidak terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim pula hasilnya. Karena itu, keterbukaan terhadap revisi justru menambah legitimitas sebuah kebijakan  atau norma publik. Sehingga akan sampai pada tahap pengujian publik yang terus-menerus. Walaupun demikian, pengujian ini akan mencapai konsensus karena ada hubungan antara tindakan komunikatif dengan Lebenswelt (dunia-kehidupan). Menurut Habermas, Lebenswelt di satu pihak memungkinkan tindakan komunikatif dan membantu pencapaian konsensus karena berlaku sebagai basis bersama bagi para pelaku tindakan komunikatif. Oleh karena itu, Habermas mengandaikan bahwa legitimitas itu terlahir dari diskursus publik. Melalui diskursus itu aspirasi politis umum terbangun secara komunikatif di dalam suatu ruang publik politis. Maka itu, ruang publik politis tak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung (Hardiman, 2009). Oleh karena itu, Habermas memahami ruang publik politis itu sebagai prosedur komunikasi. Ruang publik itu memungkinkan para warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warganegara untuk menggunakan kekuatan argumentasi. Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi komunikasi, bukanlah institusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Berarti semua orang dapat mengakses ruang publik ini.           
 Habermas seperti yang diungkapkan Hardiman memahami ruang publik politis sebagai kondisi komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawannya terhadap sumber-sumber lain, yakni uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi Negara), agar tercapai suatu keseimbangan. Ruang publik lalu dimengerti sebagi ruang otonom yang berbeda dari Negara dan pasar. Ia berciri otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis, melainkan dari sumber-sumbernya sendiri. Habermas memahami ruang publik politis juga sebagai sebuah jejaring untuk komunikasi tema-tema dan sikap-sikap, yakni opini-opini. Jadi, ruang publik politis bukan sekedar ruang publik atau wadah pertemuan ide-ide tetapi ruang yang dapat berfungsi secara politis.


ANALISIS
Berdasarkan teori Demokrasi Deleberatif yang berakar pada konsepsi “ruang publik sendiri” (public sphere) Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder). Tujuannya untuk mencapai mufakat melalui musyawarah berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif mengutamakan kerjasama antar-ide dan antar­ pihak, maka kebijakan pemerintah dibuat dengan pemikiran yang rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah mengeluarkan kebijakan relokasi setelah melakukan pembahasan bersama para PKL dan Pengusaha yang bersedia di ajak bekerjasama adalah untuk menemukan solusi agar pihak saling diuntungkan. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk menopang ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkanya pedagang kaki lima pada kios-kios (Kawasan Wisata Kuliner) yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemerintah kota Banjarmasin dapat menarik retrebusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah daerah dan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.
            Pemerintah kota Banjarmasin menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya Kawasan Wisata Kuliner yang berupa kios-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan dan kemudahan modal usaha. Perundingan ini solusi terbaik dan bijaksana dalam adanya keberadaan PKL.

Dalam suatu kebijakan ada yang pro dan kontra
1.     Pedagang Kaki Lima yang setuju relokasi
Objek utama yang berkaitan secara langsung dengan kebijakan relokasi adalah PKL tersebut. Dalam merespon kebijakan relokasi tersebut PKL terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pedagang yang setuju relokasi tersebut dan pedagang yang menolak relokasi tersebut. Pedagang yang setuju dengan relokasi segera mendaftarkan diri kepada Dinas Perindustiran dan Perdagangan kota Banjarmasin. Pedagang yang setuju dengan relokasi adalah dengan kesediaan mereka mendapatkan tempat yang lebih baik, mendapatkan legalitas, dan pemerintah akan melakukan pelatihan dan kemudahan modal setelah relokasi. Selain itu, jika mereka bersikeras untuk tidak mendaftarkan diri, dikhawatirkan nanti diadakan relokasi malah tidak mendapatkan kios.
2.     Pedagang Kaki Lima menolak Relokasi
Pedagang yang menolak relokasi disebabkan karena takut akan terjadi persaingan karena tempat relokasi tersebut akan memungkinan terjadi adanya kesamaan barang jualan para pedagang yang berjualan sejenis sehingga akan mengurangi pendapatan mereka.


















Kesimpulan
Pedagang Kaki Lima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991), adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan serta mempergunakan bagian jalan atau trotoar, tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya. Keberadaan Pedagang Kaki Lima ini tidak bisa di hindari di Kota Banjarmasin.
Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi para pedagang kaki lima di kota Banjarmasin dibuat tempat untuk menampung sebagian pedagang kaki lima yaitu Kawasan Wisata Kuliner yang berada di terletak Gang Pengkor Jl. Kayutangi 1 RT. 02 Kota Banjarmasin tepatnya di belakang Gedung Sultan Suriansyah, sekitar tiga kilometer dari pusat kota dan Kawasan Wisata Kuliner  di Jalan Brigjen Hasan Basri  lokasi sentra kuliner tepian Sungai Martapura yang juga juga dikenal sebagai jalur Jalan Pos sepanjang sekitar 300 meter menghubungkan Jalan Hasanudin HM dengan jalan Sudirman dekat Jembatan Merdeka.
Kebijakan ini dibuat Berdasarkan teori Demokrasi Deleberatif yang berakar pada konsepsi “ruang publik sendiri” (public sphere) Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder). Tujuannya untuk mencapai mufakat melalui musyawarah berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif mengutamakan kerjasama antar-ide dan antar­ pihak, maka kebijakan pemerintah dibuat dengan pemikiran yang rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah mengeluarkan kebijakan relokasi setelah melakukan pembahasan bersama para PKL dan Pengusaha yang bersedia di ajak bekerjasama adalah untuk menemukan solusi agar pihak saling diuntungkan. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk menopang ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkanya pedagang kaki lima pada kios-kios (Kawasan Wisata Kuliner) yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemerintah kota Banjarmasin dapat menarik retrebusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah daerah dan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.
           



Daftar Pustaka
Mardiyanta Antun, 2011Kebijakan Publik Deliberatif: Relevansi dan Tantangan  lmplementasinya, di Terbitkan Universitas Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Airlanggajurnal Vol 24 No.3.

Habermas Jurgen, 2012,  Demokrasi delibratif dan ruang publik di akses Edukasi.kompasiana.com di akses 12/06.2013. di www. Google.com







No comments:

Post a Comment