Nama :
Muhammad Ridhoni
Nim :
D1B112026
Jurusan :
Ilmu Pemerintahan
Studi :
Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia
Menelaah Kepemimpinan
Pada Masa Soeharto : Hari Terakhir Indonesia Bersama Soeharto dari Ben Anderson
Pengantar
Dalam tulisan Ben
Anderson , ia mengemukakan pandangannya terhadap Indonesia pada pada tahun 1966-1978
era orde baru yang dipimpin oleh soeharto yaitu pada awal soeharto memimpin dan
program yang dilakukan soeharto untuk menguatkan kekuasaannya dan memikat hati rakyat.
Serta Anti- PKI oleh Soeharto, soeharto beranggapan Komunisme adalah orang yang
tidak memiliki agama yang taat dan cenderung menentang pemerintahan. Dan Hal
ini bermula pada tahun 1965 yaitu ketika terjadinya pembunuhan terhadap 6
jendral yang peristiwanya dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965.Pelaku sesungguhnya
dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh
terlibat di dalamnya. Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi
demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu
isinya meminta agar PKI dibubarkan. Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan
PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom
(Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI
kemudian melemahkan posisinya dalam politik.
Lima
bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang
ditandatangani oleh Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada
Letnan Jenderal
Soeharto
untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan
keselamatan pribadi presiden. Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto
yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan
menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua
Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP
MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai
pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden
berhalangan. Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani
Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana
Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto
menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang Istimewa maka
MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno.
Konsolidasi
Orde Baru
Pada awal Orde Baru Soeharto melakukan penghapusan
semua pengaruh PKI dengan cara menempatkan militer sebagai posisi utama
penghapusan PKI. Keberhasilan Soeharto dalam pengurangan Inflasi yang terjadi
akibat kepemimpinan soekarno menimbulkan kepercayaan dari kalangan masyarakat
pada awal itu. hal yang dilakukan soeharto adalah
a)
Stabilitas dan Rehabilitasi Ekonomi
Ekonomi yang
kacau sebagai peninggalan masa Demokrasi terpimpin, menempuh dengan cara:
-Mengeluarkan
Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang pembangunan
-MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penylematan, program
stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan.
Program
pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional terutama
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti mengendaliakan
inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Sedangkan Rehabilitasi
adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari
kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin
berlangsungnya demokrasi ekonomi kearah terwujudnya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
Langkah-langakah yang diambil pada
saat itu yang mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sbb :
1.
mendobrak kemacetan ekonomi dan
memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :
-Rendahnya
penerimaan Negara
-Tinggi dan tidak
efisiennya pengeluaran Negara
-Banyak dan
tidak produktifnya ekspansi kredit bank.
-Banyaknya tunggakan hutang luar negeri
-Penggunaan
devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2. Debirokrtisasi untuk memperlancar
kegiatan perekonomian.
3. Berorientasi pada kepentingan
produsen kecil.
Untuk
melaksanakan langkah-langkah penyelamatan
tersebut maka ditempuh cara :
- mengadakan
operasi pajak.
- cara pemungutan pajak baru bagi
pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan
menghitung pajak orang.
- penghematan pengeluaran pemerintah
(pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan
Negara.
-membatasi kredit bank dan
menghapuskan kredit impor.
Program
stabilisasi dilakukan dengan cara membendung laju inflasi.
Hasilnya bertolak belakang dengan
perbaikan inflasi sebab harga bahan kebutuhan pokok melonjak namun inflasi
berhasil dibendung (pada tahun 1967- awal 1968). Sesudah kabinet pembangunan
dibentuk pada bulan juli 1968 berdasarkan Tap MPRS NO.XLI/MPRS/1968, kebijakn
ekonomi pemerintah dialihkan pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga
barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valas. Sejak saat itu kestabilan
ekonomi nasional relatif tercapai sebab sejak 1966 kenaikan harga bahan-bahan
pokok dan valas dapat diatasi.
Program
rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selam
10 tahun mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana ekonomi dan sosial.
Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, perbankan disalahgunakan dan
dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kepentingan tertentu. Dampaknya
lembaga tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun dan perbaikan tata
hidup masyarakat.
b. Kerja Sama Luar
Negeri
Keadaan
ekonomi Indonesia paska Orde Lama sangat parah,hutangnya mencapai 2,3-2,7
miliar sehingga pemerintah Indonesia meminta Negara-negara kreditor untuk dapat
menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pemerintah mengikuti perundingan
dengan Negara-negara kreditor di Tokyo Jepang pada 19-20 September 1966 yang
menanggapi baik usaha pemerintah Indonesia bahwa devisa ekspornya akan
digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor
bahan-bahan baku. Perundingan dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai
kesepakatan sebagai berikut:
-Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda
pembayarannya hingga tahun 1972-1979
-Utang-utang
Indonesia yang seharusnya dibayar tahun1969 dab 1970 dipertimbangkan untuk ditunda
juga pembayarannya.
Perundingan dilanjutkan di
Amsterdam, Belanda pada tanggal 23-24 Februari 1967. Perundingan itu bertujuan
membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negri serta kemungkinan
pemberian bantuan dengan syarat lunak yang selanjutnya dikenal dengan IGGI
(Inter Governmental Group for Indonesia). Melalui pertemuan itu pemerintah
Indonesia berhasil mengusahakn bantuan luar negri. Indonesia mendapatkan
penangguhan dan keinginan syarat-syarat pembayaran utangnya.
c.
Pembangunan Nasional
Dilakukan
pembangunan nasional pada masa orde baru dengan tujuan terciptanya masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan
ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasional
adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua
pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam
suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi trilogi Pembangunan adalah sebagai
berikut :
- Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
- Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi.
- Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
Pelaksanannya pembanguanan nasional
dilakukan secara bertahap yaitu:
- Jangka
panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun.
-
Jangka pendek mencakup periode 5
tahun.
Golkar dan
Soeharto
Golkar ini mulai muncul
masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno dengan nama Seketariat bersama golongan karya (Sekber GOLKAR), tepatnya 1964 oleh
Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam
kehidupan politik. Dalam perkembangannya, Sekber GOLKAR berubah wujud menjadi
Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu.
Keluarga
besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru
melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur
B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar
birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap
Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis.Golkar ini awal kemunculannya mengikuti pemilu
pertamanya begitu kuat hal ini terjadi pada pemilihan umum pertama pada jaman
orde baru yaitu tahun 1971 golkar berhasil memenangkan pemilu. Hal ini
disebabkan keberhasilan ali murtopo melakukan pengunduran pemilu dan penguatan
partai golkar yang dilakukan ali murtopo dengan cara penyederhanaan
jumlah partai pemilu dengan tidak menghapus partai tertentu, tetapi melakukan penggabungan
(fusi). Dalam penggabungan tersebut, sistem kepartaian tidak lagi didasarkan
ideologi, tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan
tiga kekuatan sosial politik a) PPP, merupakan
fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan PI. Perti. b) PDI, merupakan
fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo. c) Golkar.
Pada masa ini Golkar sudah
diperkirakan bakal menang secara merata meski baru kali pertama ikut pemilu.
Sekretariat Bersama Golkar dijadikan kendaraan politik Soeharto. Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, pegawai negeri
sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta birokrasi di semua
tingkat menjadi alat untuk memobilisasi rakyat dari pusat sampai ke desa-desa
agar memilih Golkar.
Soeharto dengan berbagai cara berusaha melemahkan kekuatan parpol besar
lain sambil membesarkan Golkar. Soal nama, misalnya, tidak digunakan istilah
”partai”, tetapi ”golongan”. Padahal, dalam praktiknya, Golkar jelas-jelas partai
politik. Mulai tumbuh gagasan Dwifungsi ABRI sebagai kekuatan militer sekaligus
politik praktis penyokong Orde Baru.
Struktur panitia pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama
dari Departemen Dalam Negeri. Saat hari pencoblosan, tempat pemungutan suara
(TPS) dijaga
ketat polisi dan tentara. Saat itulah, mulai dikenal istilah ”serangan fajar”, yaitu pemberian
uang kepada warga pada pagi hari sebelum datang ke TPS agar mencoblos partai
pemerintah. Dengan semua manuver itu, walhasil Golkar pun menang telak.
Tujuan Pemilu 1971 sebenarnya baik, yaitu menciptakan kehidupan politik
bangsa Indonesia yang demokratis setelah tragedi politik 30 September 1965.
”Sayangnya, pemilu direkayasa dengan cara-cara yang justru antidemokrasi.
Berbagai aturan dan tata cara dimanipulasi untuk memenangkan Golkar sebagai
mesin politik rezim Orde Baru. Inilah pseudo democracy atau demokrasi semu yang
mengelabui rakyat.
Dalam Pemilu 1971, beberapa partai masih memperoleh suara cukup lumayan
karena mampu mempertahankan pendukung tradisionalnya. NU masih punya basis kuat
di pedesaan, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan. Parmusi, yang
seakan merupakan penjelmaan dari politik eksponen Masyumi, masih berakar di
masyarakat Islam perkotaan.
Menang pada Pemilu 1955, NI justru anjlok suaranya pada
1971. Partai ini menerima tuduhan terkait PKI—yang dikambinghitamkan dalam
Peristiwa 30 September 1965. Basis pendukung nasionalisnya, terutama di Jawa
Timur, Bali, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara, digerogoti oleh Golkar. Kemenangan Golkar
dijadikan alat untuk melegitimasi rezim Orde Baru. Manuver politik demokrasi
semu ala Pemilu 1971 lantas dikembangkan oleh Orde Baru untuk pemilu-pemilu
berikutnya.
Pada masa ini Soeharto
memunculkan dwi fungsi ABRI bukan hanya sebagai penjaga keamanan tetapi juga
sebagai aktif dalam bidang Politik. ABRI aktif dalam politik bidang eksekutif
dan legislatif. Dalam bidang eksekutif sangat nyata
terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang
bersifat
simbiosis mutualisme. ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan
Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah
tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain dalam sektor
eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor Legislatif.
Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum,
mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui
Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh
beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan
meminimalisir kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini
diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan
dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam
batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri,
ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam
formulasi kebijakan oleh MPR.
Dengan demikian militer dijadikan alat memerintah dalam sebuah partai
sendiri. Jika tidak, ada kemungkinan nyata bahwa partai-partai tradisional,
dengan akar yang dalam di masyarakat Indonesia, akan memenangkan suara untuk
menempatkan mereka dalam posisi relatif merdeka dari Suharto
Hilangya Kebebasan Pers
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan
serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut
pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan
orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek,
antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat.
Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun
semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi pers di Indonesia. Pers mendapat
berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan
berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut
akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam
penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan
pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka
media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan
orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan
kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu
sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya
adalah bebas dan bertanggungjawab”. Namun
pada kenyataanya pers tidak memiliki kebebasan.
Gerakan
Mahasiswa
Pergerakkan ini bermula sekitar pertengahan
Januari 1974. Terjadi
kerusuhan pecah di Jakarta selama kunjungan Perdana Menteri Jepang yaitu Kakuei
Tanaka, kerusuhan terjadi beberapa bulan dan kritik yang semakin tajam terhadap
pemerintah oleh para pemimpin mahasiswa dan intelektual muda, hati-hati
didukung oleh setidaknya satu faksi militer. Jepang pada saat itu dianggap
sebagai pemeras ekonomi Indonesia karena mengambil lebih dari 53% ekspor (71%
diantara nya berupa minyak) dan memasok 29% impor Indonesia. Berawal dengan
damai, protes tertib, seolah-olah melawan kapitalisme korporasi kejam Jepang,
selain itu investasi jepang yang semakin bertambah dari waktu ke waktu di Jawa
dianggap membunuh pengusaha-pengusaha kecil pribumi. Hal ini mendapat perhatian
dari masyarakat khususnya kalangan mahasiswa. Tepat pada hari kedatangan PM
Jepang Tanaka, mahasiswa se-Indonesia melakukan aksi bersama di pusat ibukota.
Aksi apel besar yang dipusatkan dihalaman Universitas Trisakti ini tadinya
merupakan aksi damai, namun tanpa disangka yang terjadi adalah perbuatan anarki
diberbagai tempat di wilayah ibukota. Mobil, motor dan produk elektronik Jepang
semuanya dibakar, bahkan gedung-gedung dan pusat perbelanjaan di Senen,
Harmoni, pun ikut dibakar.
Pemerintah
mengambil ledakan ini sebagai dalih, tidak hanya untuk menangkap jumlah yang
cukup besar dari para kritikus, tetapi untuk bersikeras bahwa mahasiswa tidak
boleh terlibat dalam politik. Mereka harus membatasi diri ke kampus-kampus
mereka. Kebebasan akademik akan dihormati, tetapi hanya selama itu terkurung
dalam ratapan universitas. Bahkan di sana, mahasiswa dan guru telah
memperingatkan bahwa kritik harus konstruktif. Kebijakan ini bagaimanapun,
memiliki efek yang tidak diinginkan dari membuat universitas tampil lebih
sebagai kebebasan relatif dalam sistem politik memperdalam otoritarianisme.
Ancaman dari Soeharto untuk Soeharto
Tak
satu pun dari perpecahan internal dalam angkatan bersenjata yang fatal, tetapi
mereka tidak dilepas. Soeharto sangat menyadari, dengan disintegrasi sisa
koalisi satu waktunya, mungkin tergoda untuk beberapa perwira militer mencoba
untuk mengumpulkan koalisi baru, dengan kudeta, pembunuhan, atau cara lain.
ketakutan itu, lebih dari apa pun, yang berada di balik tindakan 20 Januari
1978. Bahwa ketakutan itu tetap ditunjukkan oleh peristiwa setelah sukses Suharto terpilih kembali sendiri sebagai
presiden pada bulan Maret. Dengan melirik peristiwa ini menurut Ben Anderson
bahwa kita mungkin pantas menyimpulkan untuk setiap peristiwa menunjukkan
Soeharto bertekad untuk melanjutkan, kekuasaannya
untuk beberapa tahun kedepan.
Rezim
menerima sentakan tidak menyenangkan ketika Sultan Hamengku Buwono dari
Jogjakarta, lama Wakil Presiden di bawah Soeharto, mengumumkan pada bulan Maret
bahwa ia tidak akan berdiri untuk pemilihan kembali. Pengumuman, sementara
dengan alasan kesehatan dan tidak lagi bersedia untuk memikul tanggung jawab
atas kebijakan . Dalam memilih wakil presiden baru, Soeharto memiliki kurang
lebih pilihan berikut : tokoh terkenal dari salah satu partai politik, idealnya
dari Muslim UDP; seorang jenderal yang sangat senior dengan reputasi yang
relatif baik atau independen tanpa dukungan politik yang kuat dari sendiri.
Pilihan pertama akan mewakili upaya untuk merayu pengkritiknya, kedua akan
berarti bahwa ia dengan hati-hati merapikan jalan bagi penggantinya. Ketiga
yang merupakan pilihan yang benar-benar dibuat dalam pribadi,mantan Menteri
Luar Negeri Adam Malik - mengungkapkan bahwa Suharto dipercaya seorang pun
dengan berat badan politik yang nyata dalam posisi begitu strategis, dan bertekad
untuk memerintah untuk masa depan yang tak terbatas.
Selain itu mulainya keinginan untuk menentang Pemikian
Soeharto yang dianggap terlalu bersifat otokratik, Menempatkan Jendral di
Bagian-bagian menteri ketika Jenderal Ali Murtopo
itu sebagai Menteri Informasi ha; ini sangat berparuh
signifikan bagi pers. Kemudian Untuk pertama kalinya dalam sejarah
Indonesia kementerian agama (sebuah lingkungan pengetahuan Muslim tua)
diberikan kepada seorang jenderal (Jenderal Alamsjah), yang
paling mungkin”konsensus”calon suksesi presiden, Wakil Atmed Pasukan Komandan
-in-ChiefSurono telah dibawa dari hirarki militer ke dalam posting bergengsi
dan berdaya mengawasi kebijakan kesejahteraan sosial. Paling mengkhawatirkan
dari semua posisi Kepala Badan Intelijen Negara dan Kepala Staf (yaitu,
sebenarnya controller) dari Kopkamtih telah dimasukkan di tangan satu orang,
takut Yoga Umum Sugumo.(Sebuah analogi Amerika akan membuat orang yang sama
secara bersamaan kepala FBI dan CIA.)
Penetangan ini mulai terbukti pergerakannya dengan ditangkapnya seorang
mahasiswa perakit bom yang diduga ingin membunuh Presiden dan Istrinya di
Istana. Hal ini memunculkan kekhawatiran bagi soeharto.
Kesimpulan dan telaah kritik
Jika kita telaah lebih lanjut, tulisan Ben Anderson
ini merupakan kritik terhadap sistem pemerintahan Orde baru yang dipimpin oleh
Soeharto yang lebih mengedepankan kekuasaan dan cenderung mengutamakan
kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan masyarakat dapat dikatakan
Soeharto banyak menguasai aset Negara dan digunakan untuk kepentingan masyarat
tetapi juga dipersalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Salah satunya memunculkan dwifungsi ABRI yang bukan hanya sebagai penjaga
keamanan tetapi juga ikut dalam politik. Soeharto berasal dari militet yang
menyebabkan mengutamakan ABRI sebagai penggerak roda pemerintahan. Dalam
tulisannya kali ini Ben Anderson mengedepankan Anti-Komunisme soeharto.
membenci PKI karena tiga alasan mendasar.
·
Pertama, ada
semata-mata persaingan institusional :
·
Kedua, tentara telah
menjadi sangat tergantung pada Amerika Serikat dalam hampir setiap aspek
keberadaannya ; Pada tahun
itu militer tidak bisa memproduksi
senapan sendiri. Karena
kerjasama dengan Amerika ini salah satu satu faktornya karena Amerika
Anti-Komunisme sehingga mengancam mencabut kerja samanya.
· Ketiga, ketika PKI
menyerang” para jenderal telah menjadi penerima manfaat utama dari 1957-1958
nasionalisasi pemeran yang luas dari kepemilikan perusahaan Belanda di
Indonesia, sebagai perusahaan negara, perusahaan-perusahaan telah ditempatkan
di bawah kendali perwira senior angkatan darat, membuat petugas secara individu
sangat kaya dan menyediakan porsi yang cukup besar dari anggaran kelembagaan
tentara sebenarnya.
Hal ini seolah-olah memunculkan
bahwa rekayasa pembunuhan 6 Jendral itu merupakan rekayasa yang dibuat oleh
soeharto untuk menjatuhkan PKI yang pada saat itu dibawah perlindungan Soekarno
dan dengan kekacauan itu membuat angkatan senjata yang pada saat itu berada
dibawah komandonya dan fosi tidak percaya terhadap kepemimpinan soekarno
mengakibatkan penuruan jabatan soekarno dan di angkatknya soeharto sebagai
penggantinya.
Cara Suharto
menghindari potensi perpecahan dalam militer karena persaingan pemilu dengan cara memberikan penghargaan kepada pendukungnya di militer dengan menunjuk
mereka untuk menempati jabatan-jabatan
tertentu dalam kekuasaan Soeharto.
Pada kepemilihan Soeharto yang untuk kedua kalinya
dimulai pertentangan dua arah yang berlawanan dengan soeharto yang menjadikan
banyaknya pergerkan untuk mengganti Soeharto sebagai pemimpin Negara hal ini
dapat dikatakan tanda-tanda keinginan soeharto berakhir untuk Indonesia.
Poesponegoro,
Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto. (1993). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Sigit
Pamungkas.2009.Perihal Pemilu.Yogyakarta:Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan UGM
Sigit pamungkas.2011.partai politik. Yogyakarta
: institute for democracy and welfarism