Popular Posts

Thursday, January 22, 2015

Makalah Tanah Adat



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanah  tempat kita berpijak dan melangsungkan kehidupan, sejak zaman prasejarah sampai pada zaman sejarah tidak lepas dari bumi ini. Kebiasaan-kebiasaan dibangun dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan suatu budaya. Manusia yang berbudaya ini hidup berkelangsungan dalam kelompoknya sehingga menimbulkan adat istiadat yang menpunyai nilai-nilai dalam menjalani kehidupan bersama.
Wilayah – wilayah tanah adat di  Indonesia luas sekali di berbagai macam suku. Mereka beranggapan tanah itu sesuatu yang sacral , karena telah ada dan di puja sejak zaman nenek moyang dulu. Dalam berkehidupan kita tidak pernah lepas dari permasalahan. Sehingga tak jarang sengketa-sengketa mengenai tanah adat milik suatu suku ini terjadi.
Sengketa-sengketa tentang tanah adat marak-marak ini terjadi seperti antara tanah adat dan perusahaan, kepemilikan turun termurun yang diakui sampai juga kasus dimana permohonan warga suku atas tanah adatnya tentang hak-hak kepemilikannya kepada Gubernur wilayahnya.
Namun yang menjadi fokus sengketa tanah adat dalam makalah kami adalah maraknya terjadi sengketa perebutan tanah setra di Bali belakangan ini telah membuktikan Bali sekarang jauh dari rasa aman. Dalam hal penyelesaian sengketa yang terjadi, masyarakat di Bali lebih mempercayakan kepada pimpinan-pimpinan di daerahnya, baik pimpinan dari tingkat desa dan bahkan sampai pada pimpinan tingkat propinsi. Adakalanya upaya penyelesaian sengketa yang ditangani salah satu pimpinan tidak berhasil. Banyak faktor-faktor yang dapat menyebabkan berhasil maupun gagalnya penyelesaian sengketa. Namun semua faktor itu dapat di lihat dalam penegakan sistem hukum, yaitu: legal substancy, legal structure dan legal culture.
Untuk itulah diperlukan kaedah – kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah di dalam Hukum Adat


B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana upaya penyelesaian permasalahan sengketa tanah adat yang ada di Indonesia ?














BAB II
PEMBAHASAN

II.I TEORI TANAH ADAT
Teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Dalam hal ini setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.
Menurut Wignjodipoero, hak persekutuan  atas tanah ini disebut juga hak pertuanan atau hak ulayat,  sementara Van Vollenhoven menyebutnya dengan istilah bescikkingsrecht. Lebih lanjut Wignjodipoero mengatakan bahwa “hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas tanah yang didiami, sedangkan pelaksanaannya dilakukan atau oleh persekutuan itu sendiri atau oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan.”

Pengertian Hak Ulayat
Hak Ulayat adalah pengakuan bersama oleh seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai tanah di lingkungan hak ulayat tersebut. Sementara menurut Budi Harsono hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut.
Lebih jelasnya tentang hak ulayat ini, Siregar menguraikan ciri-ciri hak ulayat sebagai berikut:
1) Masyarakat hukum dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya dengan bebas, yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan menggembala ternak dan lain sebagainya.
2) Bukan anggota masyarakat hukum dapat pula mempergunakan hak-hak tersebut hanya saja harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala masyarakat hukum dan membayar uang pengakuan atau recognite (diakui setelah memenuhi kewajibannya).
3) Masyarakat hukum beratnggungjawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal.
4) Masyarakat hukum tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat untuk selama-lamanya kepada siapa saja.
5) Masyarakat hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli tanah dan sebagainya.

Pengertian Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Selanjutnya, anggota persekutuan masyarakat itu juga memiliki hak untuk membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan suatu hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan hak pertuanan. Hak membuka tanah itu menurut hukum adat adalah hanya salah satu dari pada tanda – tanda munculnya hak persekutuan atau beschikingsrecht dan hanya ada pada anggota – anggota masyarakat atau tanah – tanah di lingkungan hak pertuanan itu sendiri. Hubungan hukum seperti dapat diwariskan.

Istilah bescikkingsrecht menurut Van Vollenhoven
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa hak persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan (hak masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap tanah tersebut; misalnya hak untuk menguasai tanah, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atasnya, atau berburu binatang-binatang yang hidup di atas tanah itu. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut juga “hak ulayat” atau “hak pertuanan”. Dalam literatur oleh C. Van Vollenhoven disebut dengan istilah “beschikking”, sedangkan tanah sebagai wilayahnya disebut “beschikkingring”.
Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Siregar mengatakan bahwa hak milik bumi putera (Inlands bezitrecht) terbagi kepada dua macam yaitu:
1) Communaal bezitrecht (hak milik komunal) bila hak itu ada pada masyarakat hukum.
2) Ervelijk individueel bezitrecht (hak milik perorangan) bila hak milik itu ada pada anggota masyarakat hukum secara perorangan.
Berdasarkan teori ini maka hak-hak individual dan persekutuan terhadap tanah dan tetap diakui keberadannya yang mana hak itu diwariskan secara turun temurun terhadap anggota keturunan masyarakat persekutuan yang mengikatkan dirinya terhadap persekutuan adat tersebut.
Berlaku ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan; hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar pancang (uang pemasukan) dan kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan  untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan.
Berlaku ke dalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud dengan memetik hasil daripada tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup atasnya.

Hak membuka tanah berakibat konflik pertanahan adat
Hak membuka tanah ini tidaklah terjadi atau dilakukan begitu saja. Sering kali ini menuntut adanya dilakukan acara – acara khusus yang dihadiri oleh para tokoh adat atau masyarakat setempat dan perlunya membuat tanda – tanda tertentu yang menunjukkan bahwa lahan atau tanah tersebut telah ada perseorangan yang sedang mengolahnya. Hal – hal seperti ini akan mempertegas adanya hubungan hukum perseorangan tersebut terhadap tanah yang dibukanya. Apabila hal itu tidak ada, maka hubungan hukum antara tanah yang dibukanya dengan dirinya akan begitu lemahnya, sehingga membuka peluang bagi pihak lain (perseorangan atau individu) untuk juga mengklaim bahwa itu juga lahan yang dibukanya. Hal seperti inilah yang akan menimbulkan permasalahan tentang tanah.
Hal lain yang dapat menimbulkan konflik di bidang pertanahan adalah karena tidak jelasnya pembatasan daerah atau tanah persekutuan atau beschikkingsrecht.  Artinya, ukuran yang digunakan dalam bidang pertanahan menurut hukum adat adalah konstruksi yuridis yang abstrak. Sehingga batas – batas pertanahan antara persekutuan hukum adat yang satu dengan yang lainnya yang bertetangan dan sering kali tidaklah jelas adanya. Sehingga, ketika satu persekutuan hukum adat mengklaim batas tertentu tanahnya, bisa jadi itu sudah dianggap melampaui batas yang telah diklaim oleh persekutuan hukum adat tetangganya.
Hal lain yang membuat aspek sedemikian itu rawan konflik , adalah karena adanya prinsip bahwa tanah persekutuan atau pertuanan tersebut tidak dapat dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid). Artinya pada waktu terjadi perbedaan pendapat tentang kepemilikan hak antar persekutuan hukum tentang batas – batas tanah tersebut, masing – masing persekutuan hukum akan membela haknya dengan segala cara. Mereka tidak akan pernah mengizinkan haknya atas tanah yang telah mereka klaim, yang mungkin telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas begitu saja. Ada nilai magis-religi yang terdapat antara tanah persekutuan dengan masyarakat persekutuan yang membuat prinsip itu berlaku dengan kuat di antara mereka.
Di sinilah letak perlunya peran pemerintah atau penguasa yang lebih tinggi untuk membuat peraturan yang memiliki atau menjamin kepastian hukum dalam bidang pertanahan, menghindari konflik pertanahan di antara persekutuan hukum adat.
Keterkaitan hukum  dan tanah adat di Indonesia      
Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas tanah, antara lain yaitu:
1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut, hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan tertentu.
Hukum Tanah Adat sebelum berlakunya UUPA Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggita persekutuan berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari kepala adat. Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang.

II.II LANDASAN HUKUM
Dasar – dasar hukum yang berkaitan dengan tanah adat diantarannya adalah di Indonesia belakangan dibuatlah suatu peraturan perundang - undangan yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960). Undang – Undang ini diciptakan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional. Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat di bidang pertanahan yang ada di dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.
Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga terdapat dalam peraturan perundang – undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian – perjanjian ataupun transaksi – transaksi yang berhubungan dengan tanah. Misalnya:
1.         Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian
2.         Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian.
            Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang – undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa).
Selanjutnya  dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai – nilai agama, adat istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam masyarakat .




BAB III
ANALISIS MASALAH

Contoh Kasus Sengketa Tanah Adat dan Penyelesaiannya :
SENGKETA ADAT DI BALI (STUDI KASUS SENGKETA TANAH SETRA ANTARA DESA PAKRAMAN CEKIK DENGAN DESA PAKRAMAN GABLOGAN, KECAMATAN SELEMADEG, KABUPATEN TABANAN)
Rabu 19 Desember 2012
Sumber : http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=72598

Terjadinya sengketa dari hari ke hari semakin bertambah banyak, baik yang sifatnya sederhana maupun yang sifatnya kompleks. Sengketa yang sekarang banyak terjadi antar desa pakraman di Bali adalah sengketa mengenai perebutan tanah setra. Pentingnya peran tanah setra bagi umat hindu di Bali dan juga tingginya nilai ekonomi tanah sekarang ini merupakan salah satu pemicu terjadinya sengketa.

Sebagaimana yang kita ketahui, cara penyelesaian sengketa ada 2 (dua), yaitu secara litigasi dan non-litigasi (diluar pengadilan). Masyarakat Bali dewasa ini dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi biasanya dengan cara non-litigasi. Apalagi jika sengketa itu melibatkan antar desa pakraman. Misalnya sengketa yang terjadi antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan Kabupaten Tabanan dimana sengketa ini dipicu oleh berbagai faktor sehingga menjadi kompleks. Adakalanya proses penyelesaian sengketa secara non-litigasi ini tidak dapat langsung menuntaskan masalah.

Latar belakang sengketa  Sengketa antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan bermula dari adanya keluhan oleh beberapa warga Desa Pakraman Cekik karena merasa dirugikan dari akibat yang ditimbulkan dalam proses upacara pemakaman oleh Desa Pakraman Gablogan. Keluhan ini segera dirundingkan oleh kedua desa pakraman tersebut dan segera dicarikan jalan keluarnya. Akhirnya Desa Pakraman Gablogan mau menanggung setiap kerugian yang diderita warga Desa Pakraman Cekik dari akibat ditimbulkan dalam proses upacara pemakamannya. Namun, selang beberapa tahun Desa Pakraman Gablogan tidak lagi memberikan ganti rugi kepada warga Desa Pakraman Cekik. Dari situlah mulai gesekan-gesekan yang dulunya kecil sekarang menjadi masalah hingga menimbulkan sengketa yang sifatnya kompleks.

Upaya penyelesaian sengketa antara desa pakraman cekik dengan desa pakraman gablogan
Dalam upaya penyelesaian sengketa yang terjadi, ada 3 (tiga) upaya yang dilakukan kedua desa pakraman tersebut. Upaya penyelesaian sengketa yang pertama dilakukan oleh masing-masing perwakilan desa yang dimediasi oleh Bapak I Nyoman Gunarta yang menjabat sebagai Kepala Desa, Desa Berembeng. Upaya penyelesaian sengketa pertama ini memang menghasilkan suatu kesepakatan bersama yang pada intinya Desa Pakraman Gablogan setuju untuk pindah setra dan membuat setra baru di wilayah desa pakramannya. Berselang beberapa bulan, belum juga ada tindakan membuat setra dari Desa Pakraman Gablogan, maka Desa Pakraman Cekik memutuskan melarangnya melakukan penguburan di setra yang menjadi obyek sengketa. Sampai akhirnya ada kematian di Desa Pakraman Gablogan, dalam proses penguburan itu kedua desa pakraman hampir bentrok. Dengan adanya kejadian itu, maka dilakukan lagi upaya yang kedua juga sama seperti yang pertama. Yang menjadi mediator dalam upaya penyelesaian sengketa yang kedua ini adalah Bapak Drs. I Nengah Judiana, Msi selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Tabanan. Dalam penyelesaian kedua ini hampir sama kejadiannya dengan yang pertama tadi, dimana kesepakatan tidak dilaksanakan sampai ada kematian lagi di Desa Pakraman Gablogan.  Upaya penyelesaian sengketa yang ketiga ini dimediasi langsung oleh Bupati Kabupaten Tabanan yaitu Bapak Nyoman Adi Wiryatama, S.Sos. bersama dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Tabanan. Dengan kewenangan yang dimiliki Bupati, maka diterbitkan suatu keputusan yang menyatakan Desa Pakraman Gablogan harus pindah setra dan mempunyai setra sendiri. Setra yang menjadi sengketa berubah status menjadi tanah quo. Dengan isi keputusan seperti itu, maka Desa Pakraman Gablogan menyetujuinya, dan isi keputusan tersebut dapat diwujudkan oleh Desa Pakraman Gablogan setelah empat bulan semenjak keputusan itu dibuat. Pada akhirnya setelah setra Desa Pakraman Gablogan terwujudkan, maka sengketa yang terjadi antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan berakhir.
Secara garis besarnya ada tiga faktor yang berpengaruh dalam penyelesaian sengketa ini, yaitu: legal substancy, legal structure, dan  legal culture. Legal substancy adalah aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu. Aturan yang dipakai acuan dalam proses penyelesaian sengketa ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18 B angka (1) dan (2), dilanjutkan dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam BAB XI tentang Desa, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dalam Pasal 15 angka (1) huruf (k), dan yang terakhir PERDA Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.  Legal structure adalah berkaitan dengan seluruh institusi penegakan hukum beserta aparatnya. Sengketa adat yang terjadi awalnya diselesaikan oleh prajuru desa, namun apabila prajuru desa tidak sanggup mendamaikan, maka ia bisa dibantu oleh aparat pemerintah mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi.  Peranan aparat pemerintah dalam hal ini sangat penting, karena dengan kewenangan yang tinggi, aparat pemerintah dapat menekan dan memaksa para pihak yang bersengketa untuk tunduk dan mematuhi segala keputusannya. Dalam hal ini, kedudukan Bupati Kabupaten Tabanan sangat penting, karena ia selaku pemimpin di kabupaten juga pemegang kewenangan tertinggi di kabupaten, maka ia dapat menekan pihak yang bersengketa untuk tunduk sesuai keputusan yang diterbitkan Bupati. Legal culture adalah adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Seperti halnya kenapa warga Desa Pakraman Gablogan tidak menerapkan kesepakatan pertama dan kedua, dan mengapa keputusan yang terakhir dapat dilaksanakan. Ada dua alasan, pertama warga Desa Pakraman Gablogan dapat menerima keputusan yang dibuat oleh Bupati Kabupaten Tabanan dikarenakan masyarakat menganggap itu adalah jalan terakhir, sehingga apa yang diputuskan oleh Bupati, mau atau tidak mau, keputusan itu harus ditaati, mengingat Bupati adalah pemimpin tertinggi di wilayah kabupaten. Alasan kedua, mengingat bantuan yang diberikan oleh Bupati Kabupaten Tabanan lebih dari cukup untuk membuat tanah setra baru, maka warga Desa Pakraman Gablogan dapat menjalankan keputusan tersebut.




BAB IV
PENUTUP

A.  KESIMPULAN

Upaya penyelesaian permasalahan sengketa tanah adat yang ada di Indonesia dari salah satu dari sekian banyaknya sengketa tanah adat yang berada di Indonesia yaitu contoh sengketa tanah adat di Bali. Upaya penyelesaiannya adalah :
1.    Ada 3 upaya mediasi yang dilakukan antar dua desa pakraman,
•Mediasi pertama oleh Kepala Desa Kebendesaan Berembeng yang menghasilkan suatu kesepakatan bersama yang pada intinya Desa Pakraman Gablogan setuju untuk pindah setra dan membuat setra baru di wilayah desa pakramannya ,tetapi masih terjadi bentrok.
•Mediasi kedua oleh Sekda Kabupaten menghasilkan Tabanan diterbitkan suatu keputusan yang menyatakan Desa Pakraman Gablogan harus pindah setra dan mempunyai setra sendiri. Setra yang menjadi sengketa berubah status menjadi tanah quo, namum keputusan tidak dilaksanakan.
•Mediasi ketiga oleh Bupati Kabupaten Tabanan dan sengketa dapat diselesaikan karena kedua warga adat yang bersengketa beranggapan mediasi ke 3 adalah jalan terakir dan Bupati sebagai pemimpin tertinggi yang dihormati.
2. Faktor – factor yang paling berperan dalam menyelesaikan sengketa ini adalah
•Legal substancy adalah aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu.
•Legal structure adalah berkaitan dengan seluruh institusi penegakan hukum beserta aparatnya.  karena dengan kewenangan dan kekuasaan yang tinggi, aparat pemerintahan dapat menekan dan memaksakan para pihak untuk berdamai.
•Legal culture adalah adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum.



B. SARAN

Diperlukannya peran aktif pemerintah dalam memberikan suatu keputusan terakhir, dimana sengketa-sengketa tanah adat yang sering kali terjadi sulit untuk di putuskan secara tuntas, pemerintah dalam hal ini seperti Bupati di wilayah sengketa-sengketa tanah adat tersebut. Institusi penegakan hukum, beserta aparatnya dalam setiap penyelesaian persoalan sengketa tanah adat maupun sengketa tanah lainnya dapat memberikan suatu landasan hukum yang sangat berpengaruh terhadap sengketa-sengketa tersebut seperti dalam berbagai macam peraturan-peraturan pemerintah dan daerah serta undang-undang yang diberlakukan. Warga adat yang berkonflik tidak tersulut emosi dan berlaku anarkis dalam setiap permasalahan sengketa yang belum di putuskan.

No comments:

Post a Comment